Foto: Kampanye "Orang Baik" Berujung "Reformasi Dikorupsi"
Joko Widodo, presiden pertama pascareformasi dari kalangan sipil yang mampu bertahan sebagai satu presiden selama satu periode dan kembali terpilih di periode keduanya. Sebelumnya, mulai dari B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, hingga Megawati Soekarnopoetri rata-rata hanya mampu berkuasa kurang dari tiga tahun.
Pada kampanye periode pertama, Jokowi cukup diuntungkan dengan label tokoh merakyat dan tak punya noda hitam terkait kasus HAM. Tak heran jika ia diharapkan membawa perubahan, apalagi dalam kampanyenya ia sempat memasukkan penuntasan kasus HAM masa lalu dan reforma agraria sebagai janji yang ia bawa.
Hampir semua kalangan aktivis, baik itu pegiat antikorupsi, aktivis lingkungan, maupun HAM turut serta mendukung pencalonannya. Sebut saja misalnya mantan Ketua Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki, mantan Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan, Ketua KNTI Riza Damanik, mantan Sekretaris Jenderal KPA Usep Setiawan, dan mantan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim. Nama-nama tersebut kemudian menduduki berbagai jabatan baik di Kantor Staf Presiden maupun di kementerian.
Tapi apa daya, kekuatan civil society di dalam lingkar kekuasaan Istana masih tergolong minoritas bila dibandingkan kelompok dari kalangan partai politik, tentara atau polisi, dan pengusaha. Sejumlah kasus HAM, konflik lingkungan yang melibatkan pengusaha, hingga korupsi tak sekejap mata bisa selesai.
Di penghujung periode pertamanya, kekecewaan publik kian menyala melalui demonstrasi bertajuk Reformasi Dikorupsi. Niat pengesahan sejumlah rancangan undang-undang hingga Revisi Undang-undang KPK di DPR, dan kasus-kasus lingkungan serta HAM yang tak juga tuntas membuat masyarakat berang.
Di periode keduanya kini, Jokowi berani menggandeng lawan, Prabowo Subianto, duduk sebagai menteri. Sementara harapan akan penuntasan kasus HAM, korupsi, dan lingkungan dinilai kian jauh panggang dari api.