Gabungan Organisasi Advokat Kritisi Bab Contempt of Court di RUU KUHP

4 September 2019 22:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Para pengacara yang tergabung dalam Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) menyoroti adanya bab khusus yang membahas soal contempt of court di RUU KUHP. Mereka merasa ada beberapa masalah dalam rancangan regulasi dikabarkan bakal disahkan jelang berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah soal besarnya kewenangan yang diberikan hakim dalam aturan itu. Para advokat menganggap hakim di Indonesia tidak cocok diberi kekuasaan yang besar karena berpotensi menyalahgunakan kekuasaan.
"Besarnya kewenangan hakim di Indonesia, membuat kekuasaan kehakiman di Indonesia rentan disalahgunakan sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru," tertulis dalam penyataan gabungan organisasi advokat, Rabu (4/9).
"Harusnya, pemerintah dan DPR mengatur pembatasan kekuasaan dari potensi penyalagunaan kekuasaan kehakiman (contempt of power) bukan mengatur pemidanaan terhadap profesi advokat (contempt of court),".
Rancangan aturan itu juga dianggap bertentangan undang-undang lain yang bersifat pengaturan khusus (lex spesialis). Semisal dengan UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
ADVERTISEMENT
Dalam Pasal 281 poin C RUU KUHP tertulis: "Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan,". Pelanggaran aturan ini diancam penjara satu tahun.
Sejumlah aturan dalam RUU KUHP dipandang gabungan asosiasi advokat bukan solusi dari masalah hukum di Indonesia. Terlebih jika tidak merujuk ke aturan lain yang terkait.
"Pemerintah dan DPR perlu merujuk juga sejumlah regulasi lain seperti RUU Jabatan Hakim, UU Advokat, dan undang-undang terkait lainnya, sebagai panduan merumuskan kebijakan pemidanaan dan peradilan di Indonesia," tertulis dalam pernyataan itu.
Para advokat juga menyoroti proses penyusunan RUU KUHP yang kurang melibatkan para pemangku kepentingan. Mereka merasa kurang dilibatkan dalam perumusan aturan ini.
ADVERTISEMENT