Presiden Rusia Vladimir Putin

Gaya Rusia Lawan Corona: Bikin Vaksin Sputnik V dengan Terobos Prosedur

12 Agustus 2020 7:47 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Rusia Vladimir Putin. Foto: Sputnik/Aleksey Nikolskyi/Kremlin via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Rusia Vladimir Putin. Foto: Sputnik/Aleksey Nikolskyi/Kremlin via REUTERS
Rusia memang beda. Di saat negara-negara lain masih menggelar uji coba berlapis-lapis terhadap kandidat-kandidat vaksin corona, ia sudah mengumumkan persetujuan atas penggunaan vaksin corona bernama Sputnik V—yang bahkan belum melalui uji klinis kepada masyarakat luas.
Yang lebih mencengangkan: uji klinis berskala besar atas Sputnik V baru akan digelar berbarengan dengan dimulainya vaksinasi corona terhadap rakyat Rusia di sedikitnya 10 wilayah negeri itu.
Dengan kata lain: vaksinasi = uji coba tahap final. Itulah yang terjadi di Rusia—dan menuai kecaman dari berbagai kalangan yang berpendapat bahwa Rusia nyata-nyata menyalahi prosedur uji coba vaksin sehingga menempatkan rakyatnya sendiri dalam risiko.
Ilmuwan menyiapkan sampel di laboratorium perusahaan bioteknologi BIOCAD di Saint Petersburg, Rusia. Foto: Anton Vaganov/REUTERS
The New York Times memaparkan, terdapat empat tahap uji coba kandidat vaksin yang berlaku di dunia selama ini. Mula-mula, uji praklinis dengan memberikan vaksin kepada binatang seperti tikus atau monyet untuk melihat respons imun yang dihasilkan.
Berlanjut ke fase 1 yakni uji keselamatan, ketika ilmuwan memberikan vaksin kepada sejumlah kecil orang untuk menguji keamanan dan dosisnya, serta untuk memastikan bahwa vaksin itu dapat merangsang pembentukan sistem kekebalan dari dalam tubuh.
Berikutnya fase 2 yakni uji coba ke ratusan orang yang dibagi dalam beberapa kelompok seperti anak-anak dan orang tua. Uji ini untuk melihat apakah vaksin bekerja dengan cara berbeda terhadap mereka. Ini penting untuk mengetahui keamanan vaksin dan mengecek lebih lanjut kemampuannya dalam membentuk sistem kekebalan tubuh.
Akhirnya fase 3 yang merupakan tahap final, yakni pemberian vaksin kepada ribuan orang. Fase ini biasanya melibatkan upaya lintas negara dan akan menentukan apakah vaksin benar-benar efektif dapat melindungi masyarakat dari virus corona.
Bila vaksin sukses bekerja pada sedikitnya 50 persen dari relawan yang berpartisipasi, maka ia dianggap efektif. Selain itu, uji klinis tahap final ini dapat menunjukkan efek samping vaksin yang belum terlalu terlihat pada fase-fase sebelumnya.
Barulah setelah vaksin lolos uji coba tahap 3, pemerintah suatu negara mengevaluasinya untuk memutuskan apakah akan menyetujui penggunaannya atau tidak. Namun di masa pandemi, vaksin bisa digunakan secara darurat sebelum mendapat persetujuan resmi.
Di Rusia: vaksin langsung mendapat lisensi resmi dari pemerintah tanpa pernyataan “digunakan lebih cepat karena kondisi darurat”.
Padahal, WHO mengharuskan vaksin melalui tahapan pengujian penuh (uji praklinis dan tiga fase berikutnya) sebelum diluncurkan untuk khalayak luas.
Rusia dengan “efisien” menyatukan fase final uji vaksin—pemberian vaksin ke ribuan orang—dengan vaksinasi massal untuk rakyatnya.
Dalam catatan WHO, vaksin Rusia itu masih berada di fase 1.
Kanal Griboyedov di Saint Petersburg. Foto: Anton Vaganov/REUTERS
Rusia saat ini merupakan negara dengan jumlah kasus virus corona terbanyak keempat di dunia. Sudah lebih dari 15.000 ribu warganya meninggal akibat corona, dan Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa yang terpenting bagi pemerintahnya adalah “memastikan keamanan mutlak dan efektivitas dari penggunaan vaksin (Sputnik V).”
Putin yakin dengan keampuhan vaksin itu. “Ia bekerja dengan cukup efektif, membentuk kekebalan yang kuat, dan—saya ulangi—telah melewati semua pengecekan yang diperlukan.”
Putin mengatakan, salah seorang putrinya bahkan telah disuntik Sputnik V—yang mencakup dua kali suntikan. Pada hari pertama divaksin, sang putri demam 38 derajat Celcius. Namun hari berikutnya, suhunya telah turun jadi 37 derajat.
Ia kembali mengalami peningkatan suhu pada suntikan kedua, tapi lalu semua baik-baik saja.
“Dia merasa sehat dan memiliki jumlah antibodi tinggi,” ujar Putin seperti dilansir kantor berita Rusia, Tass.
Putin tak menyebut berapa lama jeda antara pemberian suntikan pertama dan kedua. Ia juga tak merinci nama putrinya yang telah divaksin, apakah Maria Vorontsova (35 tahun) atau Katerina Tikhonova (33 tahun).
Maria Vorontsova, putri Putin yang terlibat pengembangan teknologi genetik di Rusia. Foto: TV Doctor/YouTube
Maria adalah dokter spesialis endokrin. Ia juga pemegang saham perusahaan medis Nameko yang berbasis di Saint Petersburg. Ia mengambil studi biologi saat masih di bangku kuliah, lalu lanjut belajar ke sekolah medis. Kini ia tinggal di Moskow dan terlibat dalam penentuan arah pengembangan teknologi genetik di Rusia.
Sementara Katerina ialah penari akrobatik ulung dan ahli bioteknologi. Ia memegang jabatan wakil direktur di Institute of Complex Systems Mathematical Research Moscow State University. Semasa kuliah, ia mengambil jurusan Studi Asia, lalu merampungkan gelar magister di bidang fisika dan matematika.

Vaksin Rusia Baru Diuji Dua Bulan

Sputnik V, vaksin corona buatan Rusia. Foto: REUTERS
Sputnik V mengambil nama satelit orbital pertama yang diluncurkan Uni Soviet di masa Perang Dingin dan memicu perlombaan antariksa global. Vaksin Sputnik V dikembangkan oleh Gamelaya Research Institute of Epidemiology and Mikrobiology di Moskow.
Ia mulai diuji coba terhadap manusia pada 17 Juni 2020 dengan melibatkan 76 relawan yang dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama disuntik vaksin dalam bentuk cair, sedangkan kelompok kedua diberi vaksin berupa larutan bubuk.
Hasil uji coba itu diklaim aman, efektif, dan sukses membentuk level antibodi yang tinggi di antara relawan. “Tidak ada dari mereka yang mengalami komplikasi serius akibat vaksinasi itu,” kata Menteri Kesehatan Rusia Mikhail Murashko seperti dikutip dari The Guardian.
Ia juga mengklaim imunitas dari Sputnik V dapat bertahan hingga dua tahun—rentang waktu yang luar biasa karena kandidat vaksin-vaksin corona lain hanya dapat memberikan kekebalan kurang dari setahun.
Maka, Sputnik V yang baru diuji coba klinis dalam skala terbatas selama dua bulan diklaim Rusia memiliki durabilitas selama dua tahun. Ini, tentu saja, ditanggapi WHO dengan hati-hati.
“Kami berkomunikasi intens dengan otoritas kesehatan Rusia. Diskusi tengah berlangsung … prakualifikasi vaksin apa pun mencakup evaluasi dan penilaian ketat atas seluruh data keamanan dan kemanjuran yang diperlukan,” ujar Juru Bicara WHO Tarik Jasarevic di Jenewa, Swiss, seperti dilansir AFP.
Secara terpisah, para ahli dunia sebelumnya mengisyaratkan bahwa vaksin-vaksin corona yang tengah dikembangkan bisa jadi hanya efektif sebagian, dan kemungkinan tak akan memberikan perlindungan yang sama untuk semua orang.
Sampel penelitian vaksin corona di lab perusahaan bioteknologi BIOCAD di Saint Petersburg. Foto: Anton Vaganov/REUTERS
Para analis hubungan internasional kepada The Washington Post mengatakan bahwa Rusia tak sekadar mencari pengaruh geopolitik dengan meresmikan penggunaan Sputnik V. Ia juga hendak menghindari ketergantungan pada Barat—yang secara historis memang memiliki relasi buruk dengannya.
Drama vaksin corona ini dibumbui pula oleh protes Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada bulan lalu. Pejabat keamanan ketiga negara menuding peretas yang terkait dinas intelijen Rusia mencoba membobol sistem keamanan mereka dan berniat mencuri informasi dari para peneliti yang terlibat pengembangan vaksin di negara-negara itu.
Rusia membantah tuduhan itu. Kirill Dmitriev, Kepala Dana Investasi Langsung Rusia yang terlibat pendanaan vaksinasi di negara itu, juga menolak pengawasan internasional terhadap vaksin buatan Rusia.
“Bagi beberapa negara, sulit mengakui bahwa Rusia yang ‘otoriter dan terbelakang’ ini dapat melakukannya,” sindir Dmitriev.
Ia mengklaim Rusia telah menerima permintaan dari 20 negara untuk memproduksi 1 miliar dosis vaksin, dan kini tengah bersiap memproduksi 500 juta dosis vaksin per tahun.
Sementara kritik soal transparansi pembuatan vaksin corona di Rusia dijawab Dmitriev dengan santai. Menurutnya, Rusia secara tradisional memang kerap merahasiakan upaya-upaya ilmiahnya. Hasil dari uji fase 1 dan 2 Sputnik V, misalnya, baru akan dipublikasikan akhir Agustus 2020—sesudah vaksin tersebut resmi digunakan Rusia.
“Anda harus berpikir sedikit lebih Rusia tentang ini. (Dulu satelit) Sputnik telah terbang selama lima hari ketika Rusia (Uni Soviet) baru mengatakan pada dunia ada satelitnya yang terbang,” ujar Dmitriev.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten