Ghufron & Johanis Tanak Daftar Capim KPK, ICW Minta Pansel Cek Etiknya ke Dewas

15 Juli 2024 18:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Johanis Tanak melambaikan tangan sebelum dilantik sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (28/10/2022).  Foto: Sigid Kurniawan/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Johanis Tanak melambaikan tangan sebelum dilantik sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (28/10/2022). Foto: Sigid Kurniawan/Antara Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dua pimpinan KPK Nurul Ghufron (49 tahun) dan Johanis Tanak (63 tahun) mendaftarkan diri sebagai calon pimpinan lembaga antirasuah lagi. Mereka mendaftar untuk jadi pimpinan periode 2024-2029.
ADVERTISEMENT
"Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya mendaftarkan diri untuk menjadi Capim KPK untuk periode 2024-2029," kata Ghufron dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (15/7).
Hal yang sama disampaikan oleh Tanak.
"Saya ikut daftar," kata Tanak saat dihubungi terpisah.
Ghufron yang merupakan akademisi di Universitas Jember, terpilih menjadi salah satu pimpinan KPK melalui seleksi pansel dan fit and proper test di DPR RI pada 2019.
Sementara, Tanak menjadi pimpinan KPK menggantikan Lili Pintauli Siregar yang mundur dari jabatannya saat berhadapan dengan sidang etik di Dewas KPK. Tanak adalah pensiunan jaksa.
Pansel Diminta Cek Rekam Jejak ke Dewas KPK
Terkait dengan dua pimpinan yang daftar menjadi capim KPK ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta rekam jejaknya dicek betul-betul oleh Pansel Capim KPK.
ADVERTISEMENT
"Jika ada internal KPK yang mendaftar, maka Pansel harus benar-benar melakukan penelusuran rekam jejak mereka. Salah satunya, Pansel dapat secara aktif menjalin komunikasi dengan Dewan Pengawas untuk menanyakan apakah mereka pernah dilaporkan masyarakat terkait dugaan pelanggaran kode etik atau tidak," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya.
Jika pernah, lanjut Kurnia, maka harus ditelusuri fakta-fakta yang muncul dalam persidangan tersebut.
"Jangan hanya bersandar pada ada atau tidaknya administrasi putusan. Sebab, bisa jadi, putusannya tidak ada, akan tetapi fakta persidangan sudah terang benderang mengatakan bahwa orang tersebut terbukti melanggar kode etik," sambungnya.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan sambutan pada acara Paku Integritas KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/1/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Kasus Etik Ghufron

Terkait Ghufron, kasus etiknya saat ini masih belum diputus di Dewas KPK.
Kasus etik Ghufron di Dewas KPK adalah terkait dugaan penyalahgunaan wewenangnya sebagai pimpinan KPK dalam proses mutasi jabatan ASN di Kementerian Pertanian.
ADVERTISEMENT
Ghufron menyebut apa yang dilakukannya bukan intervensi, melainkan hanya meneruskan keluhan saja terkait mutasi ASN itu dari Jakarta ke Malang, yang tak kunjung disetujui.
Ia pun menilai kasus etik yang ditangani Dewas itu sudah kedaluwarsa karena sudah berlangsung lebih dari setahun. Peristiwanya sudah terjadi sejak 2022.
Imbasnya, kasus pelanggaran etik ini dilawan Ghufron dengan melaporkan Dewas ke PTUN Jakarta atas dugaan tindakan melampaui wewenang.
Sedianya, vonis etik Ghufron dibacakan pada Selasa (21/5) lalu. Namun, sidang ditunda karena ada putusan sela PTUN Jakarta. Putusan sela itu memerintahkan Dewas KPK menunda proses etik terhadap Ghufron.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, saat ditemui wartawan di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Selasa (30/4/2024) Foto: Fadhil Pramudya/kumparan

Kasus Etik Tanak

Sementara terkait Tanak, dia pernah disidang terkait dengan berkomunikasi dengan pihak berperkara.
Tanak dilaporkan ke Dewas KPK terkait chat dengan Idris Sihite selaku Kabiro Hukum Ditjen Minerba. Berdasarkan laporan, komunikasi itu terjadi pada 27 Maret 2023.
ADVERTISEMENT
Ada sembilan buah chat antara Johanis Tanak dengan Idris Sihite yang merupakan saksi kasus di ESDM itu. Namun dua chat pertama dari Tanak ke Idris dihapus, dan tidak terungkap apa isinya di persidangan.
Dalam putusannya, Dewas menilai bahwa dengan terhapusnya chat itu maka tidak terjadi komunikasi. Sebab, pesan jadi tidak tersampaikan. Sehingga Johanis Tanak dinilai tak terbukti berkomunikasi.
Alhasil, dia lolos dari sanksi etik. Dia tidak terbukti melanggar etik.