Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Gita Savitri Devi, Lulusan Freie Universität Berlin yang Vokal dengan Isu Sosial
2 Maret 2022 10:36 WIB
·
waktu baca 8 menitADVERTISEMENT
Mungkin bagi sebagian orang nama Gita Savitri Devi tak asing bagi para pengguna sosial media. Gita Savitri Devi merupakan influencer terkenal yang memiliki akun instagram dengan nama pengguna @gitasav dan sudah memiliki pengikut sebanyak 1 Juta orang. Selain dikenal sebagai influencer yang aktif di Instagram dan Youtube, Gita juga memiliki bakat sebagai seorang penulis dan penyanyi. Saat ini ia juga bekerja di salah satu industri untuk kosmetik bernama Cosmacon GMBH, berprofesi sebagai cosmetic chemist di Jerman.
ADVERTISEMENT
Perempuan asal Palembang, kelahiran 27 Juli 1992 itu, sudah mengeluarkan 2 buku yang menceritakan tentang dirinya. Pertama, Rentang Kisah (2017), kemudian A Cup of Tea (2022). Sebelum mengeluarkan buku, kesukaan Gita terhadap dunia menulis sudah ia salurkan melalui blog pribadinya gitasav.com sejak tahun 2017. Blog itu, banyak berbicara tentang isu sosial-masyarakat hingga hobinya soal travelling, sama seperti konten di akun YouTube-nya Gita Savitri Devi.
Gita sudah pindah dan tinggal di Jerman sejak umurnya masih berusia 18 tahun, ia menimba ilmu untuk gelar S1 di Freie Universität Berlin mengambil disiplin Kimia Murni. Hal ini cukup luar biasa, mengingat, Gita Savitri Devi termasuk anak yang tidak passionate dalam sekolah maupun berkuliah. Bukan tanpa alasan, sebenarnya Gita adalah orang yang cukup kritis dan hobi belajar. Namun, beberapa sistem penilaian dalam institusi pendidikan membuat Gita sangat tidak nyaman.
ADVERTISEMENT
"Saya gak suka kuliah. aku tuh suka belajar, saya suka banget belajar, cari tahu, baca berjam-jam, cuma saya gak suka ketika belajar itu saya harus dites dan dikasih pressure, harus lulus. Hal ini yang digunakan untuk mentakar sebisa dan setahu apa saya, karena dari saya kecil dulu, SD atau SMP, saya udah despising sistem penilaian kognitif atau kepintaran manusia yang seperti itu, karena saya pikir semua manusia itu, they learn differently, cara mereka berpikir itu differently. Di mana kita tidak bisa nilai seseorang manusia pintar atau tidak cuma dari nilai saja," jelas Gita saat dihubungi oleh kumparan melalui Google Meet (26/2).
Jerman dan Pelajaran Hidupnya
Bagi seorang perempuan yang cukup lama tinggal di Jakarta bersama orang tuanya, tak mudah bagi Gita untuk pindah ke Jerman dan mengharuskan ia hidup mandiri sejak usianya masih 18 tahun. Harapan dari orang tua Gita agar anaknya bisa melanjutkan studi S1 di Jerman, memang diiyakan oleh Gita sendiri. Namun, hal itu sempat menimbulkan dilema di hati Gita, lantaran dirinya tak siap memasuki kehidupan pendewasaan yang begitu cepat.
ADVERTISEMENT
Setelah mempersiapkan diri dengan kursus belajar bahasa Jerman di Goethe-Institut Jakarta, Gita pun merealisasikan keinginannya dengan berkuliah selama 5 tahun di Freie Universität Berlin mengambil jurusan Kimia Murni.
Saat mulai mengawali hidup di Jerman, Gita merasakan berbagai macam tantangan. Ia dipaksa oleh kehidupan, harus mampu mengambil keputusan sendiri. Di saat dia belum memiliki kemampuan kontrol otoritas atas hidupnya, karena usia yang masih sangat muda. Mulai dari memikirkan urusan rumah tangga sendiri, bayar tagihan, mengurus asuransi. Hal-hal kecil seperti ini lah yang membuat Gita di usia 18 tahunnya terasa berat.
"Sama yang sulit juga misalnya ada sesuatu hal, sesuatu dalam hidup saya dan saya gak bisa nanya sama siapa-siapa. Orang tua saya jauh gitu. Sebenarnya bisa saja, tanya lewat whatsapp atau apapun itu, tapi karena di otak, kita physically jauh, jadi di otak saya for some reason mikirnya saya sendirian. Gua harus ngelakuin itu dan ngadepin itu sendirian. Lebih kesitu sih, kaya part of adulting itu yang buat saya sulit," tutur Gita.
Meski begitu, Gita mensyukuri prosesnya belajar selama di Jerman, karena turut memperkaya pengetahuannya. Banyak hal yang berhasil mengubah pola pikir Gita menjadi lebih kritis dan aware terhadap isu global yang berkembang.
ADVERTISEMENT
Gita memberi contoh, misalnya, persoalan sosial masyarakat Indonesia yang lebih banyak konservatif. Gita mengakui bahwa dirinya cukup 'leaning to words less conservative' atau condong ke arah yang kurang konservatif dalam menilai dunia, mulai dari kultur, sosial-ekonomi, gender, hingga seksualitas. Kesukaannya dalam mencari tahu dan giat menjadi seorang pengamat tersebut, yang membuat Gita tak segan membagikan pandangannya yang cukup sensitif ini kepada kumparan.
"Aku gak tahu ini menurut aku aja apa gimana, kaya di Indonesia banyak orang yang transphobic atau homophobic. Saya pikir gimana ya, karena saya konteksnya di luar negeri, saya ini adalah minoritas juga, orang-orang LBTQIA+ juga mereka minoritas di dunia heteronormatif ini. Kalau saya against them itu ibaratnya saya against my own family, I would say, karena kita sama-sama having hard, dianggapnya kita tuh ya bisa dibilang di kasta bawah (karena minoritas). Kenapa kita rakyat-rakyat di bawah ini perlu saling protect satu sama lain, kenapa kita gak get along, lalu kita attacking sistem yang gak adil buat kita gitu kan," jelas Gita Savitri Devi.
Gita sudah menelan banyak kritik dari masyarakat Indonesia melalui akun sosial medianya. Bukan main-main, efeknya ia pernah hingga melakukan percobaan bunuh diri. Sampai saat ini, ia masih rutin melakukan konsultasi kesehatan mental kepada tenaga profesional. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan niat Gita untuk turut mengedukasi dan memanfaatkan privilege-nya sebagai influencer dengan terus menyampaikan opini-opini kritisnya.
ADVERTISEMENT
"Cuma kalau saya ngomongin ini ke beberapa orang-orang Indonesia yang konservatif, mereka gak ngerti. Mereka bilangnya kaya itu kan against agama gua. Kalau saya kebetulan, karena saya di Jerman, saya sudah punya pandangan kalau agama itu prinsip pribadi dan buat saya itu spiritualitas. Dan spiritualitas buat saya, has nothing to do with how other people live their life," jelas Gita.
Gita kembali menambahkan soal pandangannya tentang eksistensi perempuan di dunia, yang sampai saat ini kerap mendapatkan ketidakadilan dalam sebuah sistem yang amat patriarkis.
Tanggung Jawab Moral sebagai Influencer, Gita: Ada Banget!
Sebagai content creator , Gita sangat konsisten memproduksi konten-konten opini kritis yang sifatnya mengedukasi para penonton Gita Savitri Devi di YouTube. Konsistensinya itu tumbuh, lantaran ia memiliki alasan kuat, sekaligus kekhawatiran bahwa dirinya akan terus berkutat pada rutinitas berulang ketika hanya memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan.
ADVERTISEMENT
"Alasan saya gak ingin kerja, rutinitas itu. Karena biasanya yang saya dengar-dengar dari teman-teman juga. Once, kita kerja di korporat, hidup kita akan gitu-gitu aja, kaya robot. We do the same thing over and over and over again. Itu yang saya takutkan pada saat itu, takut gak bisa belajar lagi, atau gimana kalau stuck gini-gini aja. Kalau otak gua gak berkembang, nanti jadi gimana. Makanya kenapa saya tetap rutin bikin YouTube Beropini, karena saya ingin terus belajar. At the same time, saya juga sharing informasi ke teman-teman saya, audience saya," jelas Gita.
Gita sangat menikmati proses meleburkan dirinya dalam dinamika riset, saat mencari informasi untuk kepentingan konten opini kritis. Ia sangat suka proses observasi atau pengamatan, ketika ia memutuskan untuk mengangkat sebuah isu tertentu untuk konten YouTube-nya.
ADVERTISEMENT
Tanggung jawab moral sebagai influencer untuk selalu menghadirkan konten bermanfaat bagi para penontonnya pun diakui Gita sangatlah besar. Menurutnya, keberadaan Gita di luar negeri punya kontribusi untuk membukakan mata terkait persoalan-persoalan global yang terjadi. Ia aktif bersosialisasi, tidak hanya dengan teman-temannya yang berada di Jerman, tetapi juga yang tersebar di Eropa hingga Amerika hanya untuk sekadar mengetahui apa yang sedang terjadi saat ini.
Gita menyadari bahwa tinggal di luar negeri sebagai seorang diaspora adalah suatu hak istimewa yang ia miliki. Dia menyadari tak semua orang bisa merasakan kesempatan ini. Ketika ia berhasil menyerap informasi yang tidak diketahui banyak orang, ia merasa punya tanggung jawab moral untuk mencerdaskan penontonnya melalui informasi tersebut.
ADVERTISEMENT
"Waktu itu saya diundang webinar buat anak-anak SMA di Lampung, sebenarnya cuma ngomongin kultur kebudayaan. Tapi, saya juga cerita soal ya kultur sama budaya, kalau konteksnya global ada hubungannya sama regime, ada hubungannya sama kolonialisme, ada hubungannya sama supremacy orang kulit putih. Ini gak semua orang tahu, unless dia baca berita atau buku. Jadi ada tanggung jawab secara moral untuk memberi tahu ke orang-orang itu ada banget, this is actually what happening in the world gitu," jelas Gita.
Kebanggaan Gita dan Harapan ke Depan
Saat ditanyai tentang achievement terbesar yang paling dibanggakan Gita selama 12 tahun hidup menjadi diaspora di Jerman , dengan sederhana ia mengapresiasi dirinya sendiri karena sudah berhasil bertahan hingga sejauh ini.
ADVERTISEMENT
Ketika ditanyai soal apakah Gita bersedia kembali ke Indonesia suatu saat nanti, ia menjawab kemungkinan besar akan tetap tinggal di Jerman. Dia membeberkan beberapa alasannya, seperti macet dan penggunaan waktu yang tidak efisien. Dari situ, ia pikir lebih banyak yang akan membuatnya stres, ketika harus berhadapan dengan hiruk pikuk Ibu Kota Jakarta.
Namun, ia menyebut tidak ada yang mengetahui ke depannya. Gita menjelaskan, untuk saat ini, dirinya belum ada dorongan secara psikologis yang bisa membulatkan tekadnya kembali ke Indonesia.
"Saya pun belum pernah merasakan berada di posisi itu (diminta kembali oleh pemerintah), jadi saya gak tau how I want react in psychologically dan apa yang bakal lewat di pikiran saya, sampai akhirnya saya berubah pikiran oke kembali ke Indonesia," tutup Gita.
ADVERTISEMENT