Hadapi Krisis, Sri Lanka Minta Warganya di Luar Negeri Kirim Uang Tunai

13 April 2022 17:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi uang dolar. Foto: Aditia Noviansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi uang dolar. Foto: Aditia Noviansyah
ADVERTISEMENT
Gubernur Bank Sentral Sri Lanka, Nandalal Weerasinghe meminta warganya yang saat ini berada di luar negeri untuk mengirim uang tunai mereka.
ADVERTISEMENT
Weerasinghe meyakinkan, uang itu akan digunakan sebagai cadangan devisa untuk membantu pemerintah membeli pasokan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.
"[Bank] menjamin transfer mata uang asing tersebut hanya akan digunakan untuk impor kebutuhan pokok, termasuk makanan, bahan bakar dan obat-obatan," kata Weerasinghe, seperti dikutip dari AFP.
Untuk mewujudkan rencananya itu, Weerasinghe telah menyiapkan rekening bank. Rekening itu akan menampung sumbangan dari Amerika Serikat, Inggris dan Jerman.
Orang-orang memegang poster menentang Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa setelah pemerintah memberlakukan jam malam di dekat kediaman Presiden di Kolombo, Sri Lanka, Minggu (3/4/2022). Foto: Dinuka Liyanawatte/REUTERS
Dia berjanji kepada ekspatriat Sri Lanka, uang itu akan dibelanjakan sepenuhnya untuk barang-barang yang saat ini paling dibutuhkan. Namun, seruan Weerasinghe disambut dengan skeptisisme dari orang-orang Sri Lanka di luar negeri.
"Kami tidak keberatan membantu, tetapi kami tidak dapat mempercayai pemerintah dengan uang tunai kami," kata seorang dokter Sri Lanka di Australia yang meminta namanya tidak disebutkan.
ADVERTISEMENT
Seorang insinyur perangkat lunak Sri Lanka di Kanada juga mengatakan hal serupa. Dia tidak yakin uang itu akan dihabiskan untuk orang-orang yang membutuhkan.
"Ini bisa berakhir dengan cara yang sama seperti dana tsunami," kata insinyur itu, mengacu pada jutaan dolar yang disumbangkan ke Sri Lanka sebagai bantuan bencana Desember 2004 lalu.
Sebagian besar sumbangan uang asing itu dikabarkan telah berakhir di kantong para politisi. Perdana Menteri Sri Lanka, Mahinda Rajapaksa, juga disebut turut mengambil dana sumbangan itu.
Seorang wanita bekerja di dalam sebuah toko yang terhubung dengan rumahnya selama pemadaman listrik di Kolombo, Sri Lanka, Kamis (31/3/2022). Foto: Dinuka Liyanawatte/REUTERS
Weerasinghe menyampaikan desakan itu usai pemerintah mengumumkan default (gagal bayar) atas utang luar negeri sebesar USD 51 miliar.
Pemerintah lantas menangguhkan pembayaran seluruh utang tersebut. Penangguhan itu dilakukan agar uang yang masih tersisa dapat digunakan terlebih dulu untuk mengisi persediaan bensin, obat-obatan dan kebutuhan lainnya.
ADVERTISEMENT
Pengumuman default itu disebut akan menghemat biaya hingga sekitar USD 200 juta dalam pembayaran bunga yang jatuh tempo pada Senin (11/4).
Seorang demonstran berjalan di dekat sebuah bus yang dibakar dekat kediaman Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa selama protes krisis ekonomi di Kolombo, Sri Lanka pada Kamis (31/3/2022). Foto: Dinuka Liyanawatte/REUTERS
Negara kepulauan itu tengah bergulat dalam cengkeraman krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaan pada 1948. Sri Lanka menghadapi kekurangan barang-barang penting dan pemadaman listrik nasional secara teratur.
Pemerintah mengatakan akan menggelar negosiasi pinjaman dana dari Dana Moneter Internasional (IMF). Negosiasi itu dilakukan setelah pemerintah menghadapi gelombang protes warga dan pengunduran diri massal para menteri.
Kelangkaan yang terjadi telah memicu kebencian publik. Masyarakat bahkan menyerbu rumah para pemimpin pemerintah.
Demonstran merobohkan pagar besi saat mereka mencoba memasuki jalan utama menuju gedung parlemen di Kolombo, Sri Lanka, Jumat (8/4/2022). Foto: Dinuka Liyanawatte/REUTERS
Krisis ekonomi Sri Lanka mulai terasa setelah pandemi virus corona melumpuhkan pendapatan vital dari pariwisata dan pengiriman uang.
Pemerintah memberlakukan larangan impor yang luas untuk menghemat cadangan mata uang asing yang semakin menipis. Sri Lanka lalu menggunakannya untuk membayar utang yang sekarang telah gagal bayar.
ADVERTISEMENT
Para ekonom mengatakan, krisis itu diperburuk oleh salah urus pemerintah, akumulasi pinjaman selama bertahun-tahun, dan pemotongan pajak yang keliru.
Penulis: Sekar Ayu