Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Artikel seutuhnya berasal dari www.historia.id dengan judul “Resolusi Membatasi Haji"
ADVERTISEMENT
Penulis: Budi Setiyono /historia.id
Historia yang merupakan majalah sejarah online di Indonesia, ialah partner kumparan.
Proklamasi kemerdekaan disambut hangat para mukim di Makkah. Mereka mengembalikan –bahkan ada yang membuang– paspor kepada perwakilan Belanda di Jedah dan menolak tawaran bantuan keuangan. Dikeluarkan pula fatwa bahwa setiap orang Indonesia yang mengunjungi perwakilan Belanda di Makkah sebagai kafir.
Pada 21 Juli 1946, mereka membentuk perkumpulan dengan nama Komite Pertolongan Indonesia dengan ketua Noeroedin, asal Padang. Tujuannya memecahkan masalah sosial dan keuangan serta melakukan propaganda anti-Belanda. Selain Kopindo, ada Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia di Medinah dan Sarikat Dagang Indonesia di Jedah.
Menurut Ismail Hakki Goksoy, profesor dan dosen sejarah Islam di Fakultas Teologi Suleyman Demirel University, Turki, dalam “Dutch Policy towards the Indonesian Haj, 1946-1949”, dimuat jurnal studi Islam di Turki Islam Arastirmalari Dergisi, pemerintah Arab Saudi bersikap netral terhadap perkembangan politik di Indonesia. Meski hanya mengakui kekuasaan Belanda atas Indonesia, mereka bersikap toleran terhadap aktivitas politik para mukim di Makkah.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Belanda memutuskan untuk memulangkan mereka dengan asumsi lebih mudah dikontrol di Indonesia. Namun sebagian besar menolak, menyebutnya sebagai “pemulangan NICA” atau “pemulangan Belanda”. Yang bersedia pulang dicap “mukim NICA”. Praktis, pada 1946, hanya sembilan mukim yang dipulangkan; enam dari Banjarmasin dan tiga dari Pontianak.
Boikot Haji
Pada Juni 1946, Kementerian Agama di bawah H. Rasjidi mengumumkan sudah tiba waktunya bagi pemerintah untuk mengusahakan perjalanan haji. Namun rencana itu ternyata terlalu ambisius. Sarana pengangkutan belum tersedia. Situasi keamanan juga tak mendukung. “Republik tak bisa mengirimkan haji karena blokade dari Belanda,” ujar Goksoy dalam wawancara via email.
Penggantinya, Kiai Fathurrahman Kafrawi, akhirnya mengeluarkan kebijakan penghentian pelaksanaan haji. Kebijakan ini seirama dengan fatwa haram haji di masa perang yang dikeluarkan KH Hasjim Asjari, tokoh Nahdaltul Ulama. Di kalangan Republik, muncul istilah “haji NICA” untuk orang-orang yang naik haji dengan kapal Belanda.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Republik menjadi santapan empuk pers yang pro-Belanda. Pelita Rakjat menyebut tak satu pun kekuasaan di dunia bisa menghalangi kewajiban setiap orang untuk menunaikan ibadah haji. Sementara Pelita Rakjat menyentil, “…lebih baik jemaah-jemaah calon ‘H’ itu pergi ke Yogya aja. Tentu enggak berabe-rabe ame perkara paspor, duit, kapal, dsb. Dan sepulangnya dari Yogya boleh pake ‘K’ di depan nama!” K merujuk pada Kiblik.
Hingga 1950, praktis pemerintah Republik tak menangani urusan haji. Namun Republik tak mengabaikan pentingnya dukungan negara-negara Arab dengan mengirim delegasi. Terlebih Liga Arab pada 1946 sudah menganjurkan semua negara anggotanya untuk mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat.
“Misi Republik ke Mesir dan Arab Saudi dipimpin H. Agus Salim, H. Muhammad Rasjidi, dan anggota lain dalam tahun-tahun berikutnya,” ujar Goksoy.
ADVERTISEMENT
Misi Haji
Belanda sendiri mengambil kebijakan membuka kesempatan ibadah haji. Kedatangan jemaah haji dari wilayah-wilayah pendudukan diharapkan bukan saja mempengaruhi para mukim tapi juga mengkonsolidasikan negara-negara boneka ciptaan Belanda.
Pengumuman pelaksanaan haji muncul di koran-koran. Belanda juga berupaya membujuk orang, juga tokoh-tokoh Islam, agar naik haji. Namun, jumlah jemaah haji hanya berkisar 100 orang.
“Pada 1946 terjadi kegiatan militer yang sangat kuat di Indonesia dan situasinya tak mendukung untuk mengirim banyak jemaah haji. Lagipula awalnya sebagian besar wilayah Indonesia berada di bawah kontrol Inggris dan Belanda, terutama di lepas pantai,” ujar Goksoy.
Belanda lalu memperbaiki tata kelola haji. Perjalanan haji diorganisasi Departemen Dalam Negeri bersama Kongsi Tiga. Dibentuk pula badan-badan lokal untuk membagi kuota: Badan Pengoeroes Keselamatan Hadji di Indonesia Timur, Madjelis Oelama Islam di Kalimantan, sementara di Surabaya diserahkan kepada sebuah panitia beranggotakan lima orang. Pada September 1947, jumlah jemaah haji melesat jadi sekira 4.000 orang.
ADVERTISEMENT
Lonjakan ini, menurut Goksoy, disebabkan Belanda sudah mengendalikan wilayah-wilayah pedalaman. Situasi ekonomi dan politik juga lebih kondusif. “Tentu saja ada kalangan garis keras, terutama militer Belanda, yang tak senang dengan pengiriman banyak jemaah ke Makkah. Namun secara politis hal itu dilihat otoritas politik dan sipil masuk akal untuk tujuan propaganda, merengkuh hati rakyat di daerah pendudukan melawan Republik,” ujarnya.
Belanda juga mengirim misi kehormatan (Emir Al-Hadj) untuk menemui Raja Ibnu Saud; dari Indonesia Timur dipimpin Menteri Agama Bachdim dan Kalimantan Barat dipimpin Sultan Pontianak Hamid II Alkadrie.
Dalam Pelita Rakjat 19 Februari 1948, Boediman, pemimpin Radio Resmi Bandung, menceritakan pengalamannya selama di Saudi. Bendera Kesultanan Pontianak berkibar di mobil dan depan tenda Sultan. Esoknya, dia melihat bendera Merah-Putih di dekat tenda Rasjidi, wakil Republik. Boediman juga membaca selebaran anti-Belanda. Dengan nada sinis, dia menulis, “…siapa juga boleh menggonggong, namun Kafilah Negara Indonesia Serikat terus berjalan met of zonder Republik yang sekarang.”
ADVERTISEMENT
Misi kehormatan Belanda gagal dengan keberadaan Rasjidi. Raja Ibnu Saud menjamin pemerintah Saudi tak akan menunda pengakuan kepada Indonesia, yang akhirnya diberikan pada 22 November 1947. Sementara Bachdim dan Hamid hanya mendapat kehormatan berupa hadiah pedang dari Raja Ibnu Saud.
Politik Haji
Sekalipun mengakui Republik, Saudi tak mengabaikan kepentingan ekonomi dari ibadah haji. Saudi tak memboikot kapal-kapal yang membawa 9.000 jemaah haji dari wilayah Indonesia pada 1948. “Jumlah yang terbesar semenjak tahun 1940! Semuanya dari daerah Federal! 7 kapal dari Kongsi Tiga akan mengangkutnya!” tulis Pelita Rakjat, 10 Agustus 1948. “Kapankan kiranya kaum muslimin yang berada di daerah-daerah Republik yang sekarang dapat kebebasan menjalankan kewajiban haji…?”
Tahun berikutnya Saudi mulai bersikap tak ramah. Belanda membatalkan pemberangkatan haji untuk orang-orang terkemuka dengan pesawat karena Saudi melarang pendaratan pesawat-pesawat Belanda. Namun toh, jumlah jemaah haji laut melebihi kuota, 8.600 orang, mayoritas dari Indonesia Timur dan Kalimantan. Di Kalimantan Selatan, pasukan gerilya di bawah Letjen Hasan Basri mengancam siapapun yang ingin naik haji, kecuali benar-benar perlu. Akibatnya, 540 calon jemaah haji memilih tak jadi berangkat. Perang gerilya juga menyebabkan jemaah haji dari Jawa dan Sumatra minim.
ADVERTISEMENT
Penyerahan kedaulatan pada 1949 menyebabkan pemerintah Belanda menyerahkan konsulatnya di Jedah kepada pemerintah Indonesia. Poliitk haji Belanda gagal.