Hakim MK Sebut Presiden Boleh Kampanye Tak Dapat Diterima Nalar, PAN: Itu Keliru

23 April 2024 15:38 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Waketum PAN Yandri Susanto tiba di DPP Golkar, Jakarta, Rabu (20/9/2023).  Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Waketum PAN Yandri Susanto tiba di DPP Golkar, Jakarta, Rabu (20/9/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Waketum PAN Yandri Susanto menanggapi dissenting opinion dari Hakim MK, Prof. Dr. Arief Hidayat, dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024 pada Senin (22/4).
ADVERTISEMENT
Arif menyebut, anggapan presiden boleh kampanye tidak dapat diterima oleh nalar yang sehat dan etika yang peka, sepanjang presiden dan wakil presiden tersebut tidak mencalonkan diri kedua kalinya sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
"Ya kalau menurut saya keliru Pak Arief Hidayat menyatakan di luar nalar, karena itu undang-undang, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 [tentang Pemilu]," kata Yandri kepada wartawan di sela halalbihalal di kantor DPP PAN, Jalan Amil Buncit Raya, Jakarta Selatan, Selasa (23/4).
Sebagai pimpinan Pansus UU Pemilu, Yandri menjelaskan presiden boleh kampanye, terutama presiden incumbent. Hal tersebut diatur dalam undang-undang selagi tidak menggunakan fasilitas negara.
"Nah, yang incumbent boleh, diatur tidak boleh menggunakan fasilitas negara, kemudian tidak boleh.. dia harus mengajukan cuti, artinya sudah detail di dalam undang-undang, itu boleh. Jadi menurut saya kalau ada pernyataan MK begitu ya keliru karena itu memang ada di undang-undang, diatur," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua MPR RI itu tidak melihat Presiden Jokowi berkampanye untuk salah satunya paslon saat kontestasi Pilpres 2024.
"[PAN lihat Presiden Jokowi kampanye] Enggak. Selama proses pilpres kemarin atau kontestasi pemilu kemarin Pak Jokowi tidak secara langsung menyatakan saya mendukung si A, si B, enggak ada kan, jejak digitalnya bisa dilihat dan kegiatan-kegiatan Pak Jokowi bisa dipantau langsung," argumennya.
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (tengah), Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Arief Hidayat saat sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Sebelumnya, Arief Hidayat menyampaikan dissenting opinion dalam sidang putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 yang diajukan oleh Pemohon 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Arief menilai, pernyataan Presiden boleh berkampanye tidak dapat diterima oleh nalar yang sehat dan etika yang peka, sepanjang presiden dan wakil presiden tersebut tidak mencalonkan diri kedua kalinya sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
ADVERTISEMENT
"Anggapan bahwa presiden boleh berkampanye merupakan justifikasi yang tidak dapat diterima oleh nalar yang sehat dan etika yang peka," kata Arief di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Selasa (22/4).
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengikuti sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Pernyataan Jokowi bahwa presiden boleh memihak calon tertentu dan boleh berkampanye disampaikan pada 26 Januari 2024. Jokowi juga membawa karton besar.
"UU Nomor 7 tahun 2017 jelas menyampaikan di Pasal 299 bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye, jelas," ujar Jokowi dalam tayangan di YouTube Sekretariat Presiden.
Penjelasan Jokowi oleh pakar Hukum Tata Negara dianggap misleading karena Jokowi hanya menyitir ayat 1, padahal Pasal 299 ada 3 ayat dan ketiga ayat saling berkaitan.