Hakim MK soal Gugatan First Travel: Kalau Dikabulkan, Apa Tidak Chaos?

10 Desember 2019 19:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Mk Arief Hidayat pada saat sidang lanjutan Sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Mk Arief Hidayat pada saat sidang lanjutan Sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Sebanyak 4 orang menggugat ketentuan pasal yang mengatur penyitaan aset First Travel untuk negara. Pasal yang dimaksud ialah Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP.
ADVERTISEMENT
Empat penggugat ialah Pitra Romadoni Nasution, David M. Agung Aruan, Julianta Sembiring, dan Yudha Adhi Oetomo. Mereka mengaku sebagai kuasa hukum korban First Travel.
Para penggugat menilai penerapan pasal tersebut telah merugikan korban First Travel dan berpotensi terulang lagi di kemudian hari jika tak diubah. Untuk itu, Pitra meminta agar MK mengubah frasa Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP dan mengatur klausul tentang pengembalian aset kepada korban.
"(Calon) jemaah yang menjadi korban First Travel jumlahnya mencapai ribuan, terkait dalam permohonan uji materiil ini para pemohon merupakan perseorangan yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat penerapan pasal tersebut. Dikarenakan di kemudian hari dengan pemberlakuan pasal tersebut bisa menimbulkan kerugian kepada warga negara lainnya apabila hartanya diambil oleh negara, padahal posisinya adalah sebagai korban," kata Pitra dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Selasa (10/12).
Pengacara Pitra Romadoni di Kejaksaan Agung, Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim MK Arief Hidayat menyatakan gugatan tersebut secara tidak langsung menyatakan putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai perampasan aset First Travel untuk negara, tidak adil.
ADVERTISEMENT
Tetapi jika MK mengabulkan gugatan para pemohon, kata Arief, justru berpotensi menimbulkan kegaduhan.
"Ini kan seolah-olah disimpulkan putusan MA tidak penuhi rasa keadilan, sehingga pasal harus diubah. Sekarang, kalau kita laksanakan permintaan anda, apakah tidak menimbulkan chaos (kekacauan)?" kata Arief.
Sebab menurut Arief, jumlah pasti berapa korban First Travel tidak diketahui. Selain itu, kemungkinan kerugian korban dan aset yang disita tak sesuai.
Sehingga Arief berpendapat perubahan pasal yang diminta belum tentu memberikan rasa keadilan dan menimbulkan kepastian hukum. Justru sebaliknya, Arief khawatir jika gugatan dikabulkan, rasa keadilan yang diharapkan tak terjadi dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (kanan) berbincang dengan Saldi Isra saat sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilu Legislatif 2019 di Jakarta, Selasa (6/8). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Bayangannya sulit dilakukan. Padahal membuat hukum untuk memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum, tapi kalau kita kabulkan bisa sebaliknya, tidak menimbulkan keadilan dan tidak hadirkan kepastian hukum karena sulit diimplementasi, ini perlu dipikirkan," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Arief pun mencontohkan gugatan pemohon terkait Pasal 39 ayat (2) KUHP yang meminta agar kerugian korban bisa diganti negara. Arief memandang permintaan tersebut berpotensi merugikan warga negara lain.
"Kalau duitnya (untuk mengganti kerugian korban) tidak cukup, apakah negara harus sediakan lagi? Kalau negara punya duit untuk melengkapi, apakah warga negara lain tidak dirugikan? Itu yang harus Anda pikirkan," ucapnya.
Terhadap masukan tersebut, pemohon diminta memperbaiki gugatannya dengan batas waktu hingga 23 Desember.