Hamas Potong Gaji Karyawan Akibat Krisis Ekonomi di Gaza

26 Juli 2022 12:19 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota Brigade Ezz-Al Din Al-Qassam, sayap bersenjata gerakan Hamas Palestina, ambil bagian dalam parade militer di Rafah di Jalur Gaza Foto: Said Khatib / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Brigade Ezz-Al Din Al-Qassam, sayap bersenjata gerakan Hamas Palestina, ambil bagian dalam parade militer di Rafah di Jalur Gaza Foto: Said Khatib / AFP
ADVERTISEMENT
Penguasa Gaza, Hamas, mengumumkan pada Senin (25/7/2022), pihaknya akan mengurangi gaji karyawannya mulai Agustus mendatang. Keputusan diambil lantaran tengah bergelut dengan krisis ekonomi.
ADVERTISEMENT
Wakil Menteri Keuangan Gaza, Awni al-Basha, mengungkap kabar tersebut. Pemerintah mengharapkan, pemotongan gaji dapat meringankan beban mereka.
"Pengurangan gaji akan dimulai pada Agustus, dan itu akan berlangsung selama beberapa bulan. Kami akan menambahkan gaji yang dipotong ke hak keuangan karyawan," jelas Basha, dikutip dari The New Arab, Selasa (26/7/2022).
Basha tidak menyebutkan besaran pemotongan tersebut. Namun, seorang pejabat kementerian lain mengatakan, karyawan akan menerima sekitar 40 persen dari gaji mereka.
Nelayan Palestina menurunkan hasil tangkapan mereka dari perahu, sekembalinya mereka ke garis pantai Kota Gaza. Foto: Mahmud Hams/AFP
Hamas membendung krisis keuangan sejak invasi Rusia di Ukraina pada 24 Februari. Pihaknya berjuang mengimbangi kenaikan harga komoditas untuk meringankan beban keuangan warga.
Untuk mencairkan gaji tepat waktu, Hamas meminjam dari bank-bank di Gaza. Tetapi, Kemenkeu Gaza tak dapat menanggung utang tambahan dalam beberapa bulan mendatang. Para karyawan lantas mengungkapkan amarah.
ADVERTISEMENT
"Kami hampir tidak bisa menjaga keluarga kami tetap bertahan hidup di tengah krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya," ujar salah satu karyawan yang tidak menyebutkan namanya.
Ayah lima anak itu menerangkan, dia menerima sekitar USD 350 (Rp 5,2 juta) per bulan. Bank lokal kemudian memotong pendapatannya sekitar USD 100 (Rp 1,4 juta) untuk pinjaman.
Pria berusia 42 tahun itu harus membayar listrik pula senilai USD 50 (Rp 749 ribu). Alhasil, dia hanya mengantongi USD 200 (Rp 3 juta).
"Ini tidak cukup untuk menghidupi keluarga saya selama dua pekan," sambung dia.
Menurutnya, situasi semakin memburuk seiring waktu berjalan. Sebagian besar pegawai lantas mencari pekerjaan tambahan, seperti bekerja sebagai sopir taksi.
Seorang warga Palestina menggendong anak saat hujan di Khan Younis, Jalur Gaza selatan 16 Januari 2022. Foto: REUTERS/Ibraheem Abu Mustafa
Kemenkeu Gaza mengaku telah menyiapkan rencana untuk mengatasi defisit keuangan. Mereka mempertimbangkan pengurangan anggaran operasionalnya. Pihaknya menjanjikan, krisis itu akan segera tuntas.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah yang dikelola Hamas menderita akibat salah urus ekonomi dan kurangnya perencanaan strategis," terang seorang ekonom di Gaza, Khalil Naser.
"Sayangnya, tindakan pemerintah Gaza tidak berhasil mengendalikan harga dan gagal mencegah kenaikan harga menyentuh Jalur Gaza," imbuhnya.
Pada 2007, Hamas menguasai daerah Gaza setelah rentetan pertempuran dengan pasukan keamanan Pemerintah Palestina.
Otoritas Palestina menolak untuk melibatkan Hamas dalam pemerintahan setelah memenangkan pemilihan legislatif pada 2006. Sejak itu, Hamas mempekerjakan sekitar 50.000 karyawan untuk mengoperasikan kementeriannya.
Setiap bulan, Hamas bertanggung jawab membayar gaji karyawannya di Gaza. Hamas turut menutupi anggaran operasional kementerian-kementerian. Sementara itu, Pemerintah Palestina membantu biaya yang berkaitan dengan listrik, pasokan medis, dan pendidikan.
Pemerintah Hamas sangat bergantung pada pendapatan bea cukai, pajak, izin impor dan ekspor untuk pengeluarannya. Mereka juga mengandalkan hibah, terutama dari Qatar.
ADVERTISEMENT
Karyawan mereka mulai menerima hanya 40 persen dari gajinya sejak 2013. Jumlah gaji karyawan kemudian kembali merayap naik menjadi 60 persen pada 2021. Kini, upah itu akan turun kembali.
"Untuk mengendalikan harga bahan bakar dan sejumlah komoditas untuk sementara waktu beberapa bulan, ini akan menyebabkan krisis ekonomi besar ketika gaji karyawannya dikurangi," lanjut Naser.