HNW: Apa Definisi Radikalisme Pemerintah? Jangan Dipolitisasi, Like dan Dislike

19 April 2021 14:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid, saat kunjungan silaturahmi ke pimpinan MUI, Selasa (3/12).
 Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid, saat kunjungan silaturahmi ke pimpinan MUI, Selasa (3/12). Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
MenPANRB Tjahjo Kumolo mengungkapkan banyak kehilangan ASN yang pintar karena terpapar radikalisme. Padahal, para ASN tersebut jika memanfaatkan kepintarannya bisa menduduki posisi strategis di eselon satu, dua, hingga kepala badan atau lembaga.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid, meminta pemerintah dalam hal ini Tjahjo, menjelaskan definisi radikalisme yang menjadi patokan pemerintah selama ini.
"Agar tidak memunculkan kecurigaan bahwa di balik isu radikalisme adalah politisasi untuk menghambat atau membungkam pihak yang secara politik tidak satu kubu dengan pemerintah. Maka sebaiknya soal radikalisme dan definisi serta parameternya dibuka saja secara transparan. Sampai hari ini kan enggak jelas apa sesungguhnya radikalisme yang dimaksudkan oleh pemerintah dan bertentangan dengan UU,” kata Hidayat, Senin (19/4).
Hidayat berharap radikalisme tidak dibaca pemerintah dengan kacamata politik. Tapi pendekatan konstitusi dan peraturan perundangan, seperti ideologi seseorang bertentangan dengan Pancasila dan UUD atau tidak.
Dalam hal ideologi, jelas Pancasila maupun UUD jelas melarang Terorisme juga melarang komunisme, dan separatisme juga.
ADVERTISEMENT
Dia mengungkit saat eks Menag Fachrul Razi mengidentifikasi bibit radikalisme dengan seseorang anak muda yang rajin ke masjid, bisa bahasa Arab, hafal al-Quran dan ‘good looking'.
Penilaian seperti itu menurutnya jelas bias, tidak ilmiah, tidak berbasiskan legalitas UU, tapi bisa hadirkan pecah belah dan saling curiga di antara warga. Baginya,  hal itu sebagai bentuk lain dari tidak adanya definisi atau parameter yang jelas soal radikalisme yang dipakai oleh pemerintah.
"Terbukti malah anak muda yang pintar Bahasa Arab, aktif ke masjid, hafal Al-Quran, dan good looking malah menjadi korban teror, ditusuk di masjid, saat lagi memberikan pengajian Itulah yang terjadi dengan (almarhum)  Syekh Ali Jaber," ucap politikus asal DKI Jakarta itu.
ADVERTISEMENT
"Kita menolak radikalisme dalam segala bentuknya. Tapi agar fair dan adil, seharusnya pemerintah berlaku yang transparan dan menyampaikan secara terbuka dan bertanggung jawab, apa itu radikalisme dan apa itu ukuran terpapar dengan radikalisme yang bisa dianggap melanggar hukum dan karenanya layak diberi sanksi dan dihambat karienya," jelasnya.
"Pemerintah juga perlu sampaikan secara bertanggung jawab apa rujukan konstitusional dari definisi soal radikalisme dan terpapar radikalisme itu. Karena dalam UU yang berlaku di Indonesia, tidak disebut radikalisme yang merupakan pelanggaran hukum. Yang ada itu terorisme," tegasnya.
Menpan RB Tjahjo Kumolo menghadiri peluncuran Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) Nasional Tahap 1 di Gedung NTMC Korlantas Polri, Jakarta, Selasa (23/3). Foto: Instagram/@ntmc_polri
Sebelumnya, Tjahjo Kumolo menyebut orang pintar di lingkungan pemerintahan yang terpapar radikalisme. Hal itu disampaikan Tjahjo saat menjadi penanggap rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) bertajuk 'Tantangan Reformasi Birokrasi: Persepsi Korupsi, Demokrasi dan Intoleransi di Kalangan PNS', Minggu (18/4).
ADVERTISEMENT
"Kami banyak kehilangan orang-orang pintar yang seharusnya bisa duduk di eselon 1, yang dia seharusnya bisa duduk di eselon 2, yang seharusnya dia bisa Jadi Kepala Badan atau lembaga, tapi dalam TPA (Tes Potensi Akademik), dia terpapar dalam masalah radikalisme terorisme, ini tanpa ampun," kata Tjahjo.
"Kami sudah ada datanya semua lewat medsosnya yang dia pegang, kedua lewat PPATK dan sebagainya, saya kira ini kita harus cermati secara bersama-sama," sambung dia.