Hukuman Pejabat yang Korupsi Masih Ringan, UU Tipikor Perlu Direvisi

20 Januari 2020 17:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Gedung KPK. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gedung KPK. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak awal menentang revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut ICW, ada yang lebih penting untuk direvisi namun terkesan diabaikan, yakni hukum materiil dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
ADVERTISEMENT
Poin pertama yakni Pasal 2 dan Pasal 3 terkait korupsi yang menimbulkan kerugian negara.
ICW menilai pasal tersebut tidak adil karena ada perbedaan antara masyarakat yang korupsi dengan pejabat publik yang korupsi.
“Kalau masyarakat masuk dalam klausula pasal 2 UU Tipikor, minimal hukuman 4 tahun, tapi kalau kita pindah ke pasal 3, di mana subjek hukumnya adalah seseorang yang memiliki jabatan atau pejabat publik, hukumannya paling ringan minimal 1 tahun,” kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, saat menggelar diskusi dengan tema ‘Menakar Legislasi Anti Korupsi di 2020’ di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Senin (20/1).
Anggota ICW, Kurnia. Foto: Dwi Herlambang Ade Putra/kumparan
Adapun Pasal 2 berbunyi:
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."
ADVERTISEMENT
Sementara Pasal 3 berbunyi:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta."
Kurnia lalu membandingkannya dengan aturan di KUHP. Mengacu Pasal 52 KUHP, jika pejabat publik melakukan tindak pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, memakai kekuasaan, memanfaatkan kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya, hukuman pidananya bisa ditambah sebanyak sepertiga masa jabatannya.
Ilustrasi KPK. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
“Yang harusnya pejabat publik diperberat hukumannya, tapi justru diringankan dalam UU Nomor 31 juncto 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor,” sambung Kurnia.
ADVERTISEMENT
Poin kedua yakni soal putusan MK yang menghapus kata ‘dapat’ pada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Konsekuensi penghapusan kata ‘dapat’ membuat seseorang harus terbukti merugikan negara terlebih dahulu baru bisa dilimpahkan ke pengadilan.
“Pada pasal 2 dan 3 disebutkan ... ‘Seseorang yang melakukan tindak pidana, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau korporasi yang 'dapat' merugikan keuangan negara. Kata 'dapat' itu [sekarang] dihapus. Konsekuensinya adalah penghitungan kerugian keuangan negara harus dilakukan terlebih dahulu sebelum orang itu case-nya dilimpahkan berkasnya ke pengadilan,” kata Kurnia.
“Lebih baik konsep kerugian keuangan negara itu bersifat formil saja. Jadi penegak hukum memproyeksikan bahwa perbuatan Tipikor, kerugian negara sekian itu bisa ditindaklanjuti,” sambungnya.
Poin selanjutnya yang harus direvisi adalah hukuman mati bagi koruptor. Kurnia berpendapat, hukuman mati, selain melanggar HAM, juga tidak terbukti menimbulkan efek jera bagi koruptor. Ancaman hukuman mati tertuang dalam UU No 31 Tahun 1999 juncto UU No 20 Tahun 2001 Pasal 2 Ayat 2.
ADVERTISEMENT
“Persoalan pidana mati ICW dalam posisi tidak sepakat dalam hukuman mati, karena pada dasarnya kalau kita mengacu pada deklarasi HAM yang bisa mencabut nyawa itu, tidak ada satu otoritas yang bisa mencabut hidup seseorang, yang kedua, tidak ada satupun penelitian yang bisa membuktikan pidana mati itu memberikan efek jera yang maksimal terhadap indeks persepsi korupsi suatu negara,” ujar Kurnia.
Menurut Kurnia, revisi UU Tipikor tidak menjalankan kesepakatan dalam United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC). Yakni, tidak mengatur penegakan hukum terhadap kasus perdagangan pengaruh pejabat publik (trading influence) dan suap antar pihak swasta. Padahal, Indonesia telah menunjukkan komitmennya dengan meratifikasi UNCAC melalui UU nomor 7 tahun 2006.
“Tidak merevisi UU Tipikor dengan masukan dari mandat internasional itu sama saja mencoreng wajah pemerintah Indonesia di tingkat internasional,” ujar Kurnia.
ADVERTISEMENT