Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ellyta Indriastanti tiba di Hutan Kota Srengseng, Jakarta Barat, sekitar pukul 15.00 WIB. Sabtu itu, 14 Desember 2021, perempuan 24 tahun itu hendak reuni kecil-kecilan bersama empat orang temannya.
Mereka sebetulnya bisa saja memilih pergi ke mal di Jakarta Barat yang—menurut Google Maps—tersebar di 15 lokasi. Namun, kelimanya menganggap mal terlalu sering disinggahi. Lagi pula, ia dan teman-temannya mengincar udara sejuk yang bukan berasal dari AC.
Jadilah mereka berkumpul di hutan seluas 10 lapangan sepak bola di Srengseng tersebut.
“Sekalian main. Sudah lama enggak ke sini. Dulu waktu masih sekolah suka ke sini, tapi sejak zaman COVID-19 sudah enggak pernah,” kata Ellyta.
Hutan kota lazimnya merupakan hutan buatan (artifisial) yang dirancang untuk fungsi edukasi, rekreasi, dan ekologi. Ia berperan sebagai paru-paru kota yang menyerap emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan masyarakat perkotaan.
Sumber emisi GRK terbesar di DKI Jakarta berasal dari sektor transportasi. Data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menunjukkan bahwa sepanjang 2021, emisi dari sektor tersebut mencapai 11,86 juta ton CO2 ekuivalen. Banyaknya CO2 di udara itu pun mengakibatkan suhu Jakarta semakin panas.
Untuk menekan kenaikan suhu Jakarta, hutan kota menjadi solusi. Menurut dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB, Siti Badriyah Rushayati, hutan kota dapat berfungsi sebagai ameliorasi iklim. Nilainya bahkan lebih tinggi dari ruang terbuka hijau (RTH) lain seperti taman atau rerumputan.
“Ameliorasi iklim itu perbaikan kondisi iklim mikro perkotaan. Pohon yang menyerap CO2 kan mengurangi efek gas rumah kaca. Jadi efek negatifnya berkurang,” kata Badriyah kepada kumparan, Rabu (1/12/2021).
Wajah Hutan Kota di Jakarta
Bukan cuma Ellyta dan keempat kawannya yang mendatangi Hutan Kota Srengseng pada Sabtu itu. Berdasarkan catatan penyuluh Hutan Kota Srengseng, Tambok Pahala Adryan Aruann, jumlah pengunjung di akhir pekan bisa mencapai 300–400 orang per hari.
Menurut Tambok, Hutan Kota Srengseng dahulu adalah tempat pembuangan sampah terbesar di Jakarta sampai akhir 1995. Jauh sebelum ada Bantargebang, sampah ibu kota bermuara lahan seluas 15 hektare itu.
“Dulu (bentuknya) seperti cekungan. Diuruk sampah, baru diserahkan ke Dinas Kehutanan untuk jadi hutan kota, sehingga kondisi sudah datar baru diuruk lagi dengan tanah, lalu ditanami,” kata Tambok saat berbincang dengan kumparan di Kawasan Ekowisata Mangrove PIK, Jakarta Utara, Rabu (24/11/2021).
Meski begitu, luas Hutan Kota Srengseng yang semula 15 ha kini menyusut menjadi 10,15 ha. Musababnya adalah normalisasi Kali Pesanggrahan yang dimulai sejak 2013. Normalisasi itu dilakukan dengan betonisasi pelebaran kali dan jalanan masyarakat. Proyek yang dilakukan untuk mengantisipasi banjir ini kini sudah rampung.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah atau PP No. 3 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, luas minimal sebuah hutan kota adalah 0,25 ha. Sementara persentase luas seluruh hutan kota paling sedikit 10 persen dari wilayah perkotaan.
Sebuah wilayah dapat disebut hutan kota mengacu definisi sebagai berikut:
“Suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan, baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.”
Pejabat berwenang yang dimaksud adalah wali kota atau bupati. Namun khusus DKI Jakarta, penunjukkan hutan kota dilakukan oleh gubernur.
Definisi tersebut lantas menyebabkan hutan yang berada di Jakarta Utara seperti di Kepulauan Seribu atau hutan mangrove di PIK tak masuk kategori sebagai hutan kota, sebab secara administratif kumpulan pepohonan di sana ada di ranah pemerintah pusat. Namanya pun bukan hutan kota, melainkan cagar alam atau kawasan hutan.
Berdasarkan data Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta, saat ini ada 31 hutan kota yang tersebar di seluruh Jakarta. Jika ditotal, luas lahan 31 hutan kota itu baru mencapai 176,12 ha. Artinya, luas seluruh hutan kota baru 0,27 persen dari luas Jakarta yang seluruhnya mencapai 66.410 ha.
Menurut Direktur Konservasi Air dan Tanah KLHK Muhammad Zainal Arifin, cakupan hutan kota di DKI Jakarta memang tak bisa dipukul rata seperti di kota-kota lain. Oleh sebab itu, pemerintah pusat menghitung luas minimal hutan kota di Jakarta sebagai bagian dari RTH wilayah perkotaan.
“Jakarta itu (jika) pendekatannya harus persis seperti ekosistem di perkotaan, memang agak berat. Tapi kita menjadikan satu dengan perhitungan RTH yang lain,” kata Zainal, Senin (27/12/2021).
Menurut Zainal, luas RTH Jakarta saat ini mencapai 9,8 ha. Jumlah itu nyaris mendekati luas minimal hutan kota yang diamanatkan PP. Walau begitu, menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, luas RTH idealnya mencapai 30 persen dari luas wilayah perkotaan.
Dalam Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, Pemprov DKI Jakarta sudah menargetkan RTH 30 persen pada 2030, dengan rincian 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat.
Tujuan RTH dalam perda itu adalah untuk menurunkan tingkat emisi GRK sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak perubahan iklim.
Pertanyaannya: seberapa besar serapan GRK di hutan kota Jakarta?
Serapan CO2 di Hutan Kota Jakarta
Tak mudah untuk memetakan serapan GRK hutan kota, sebab tak semua hutan kota di Jakarta sudah melakukan sensus pohon. Seperti halnya sensus penduduk, sensus pohon ialah menghitung pohon secara manual satu per satu.
Koordinator UPT K3L Manajemen Lingkungan Universitas Indonesia, Eka Cipta, misalnya, mengatakan bahwa belum pernah ada sensus pohon di Hutan Kota UI. Meski demikian, pihaknya terbuka apabila Pemprov ingin melakukan sensus di hutan kota seluas 56,87 ha di universitas itu.
“Kami memang fokus pada jenis (isi hutan) karena itu memang yang diperlukan dalam memperkaya biodiversitas, lalu upaya konservasi, dan untuk menanggulangi risiko alien species (spesies yang mulai langka). Jadi memang fokusnya di kualitas hutan, bukan di kuantitas,” kata Eka.
Sementara itu, Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Hutan dan DAS Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta, Arie Fajar Septa, memaparkan bahwa Pemprov DKI baru melaksanakan sensus pohon di 16 hutan kota. Mereka pun belum pernah menghitung serapan CO2 di masing-masing hutan kota.
Walaupun begitu, Arie membantu kumparan menghitung serapan CO2 hutan kota melalui aplikasi i-Tree Canopy. Tools yang dibuat US Forest Service itu dapat mengkalkulasi daya serap CO2 dengan sejumlah variabel, yakni faktor serapan hutan kota, biomassa, serta Shapefile (SHP) yang terdiri dari vektor lokasi, bentuk, dan atribut dari fitur geografis hutan kota.
Faktor serapan hutan kota pada laporan tahun 2021 ada pada angka 1,075 t karbon atau setara 3,942 t CO2 per ha/tahun. Sementara itu, biomassa mencapai 170,500 t karbon atau 625,167 t CO2 per ha. Angka-angka ini merupakan hasil interpretasi Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta dari inventarisasi GRK nasional.
“Jadi sistemnya ketika kita sudah kotaki area boundary, nanti sistem tinggal meminta titik konfirmasi berdasarkan kelas-kelas, rumput, air, land cover itu,” kata Arie.
Dengan pemodelan tersebut, angka daya serap di 31 hutan kota pun dapat terpetakan. Hutan Kota UI, misalnya, mampu menyerap CO2 hingga 175,61 ton sepanjang tahun 2021, sedangkan itu, Hutan Kota Srengseng menyerap 31,74 ton CO2 pada periode yang sama.
Secara keseluruhan, 31 hutan kota di seluruh Jakarta mampu menyerap 500,49 ton CO2 ekuivalen sepanjang 2021. Artinya, kontribusi hutan kota dalam menyerap emisi di Jakarta sebesar 11,86 juta ton CO2 ekuivalen mencapai 0,0042 persen.
“Sektor kehutanan di DKI kan kecil, sedangkan sektor energi, limbah, transportasi, dan lain-lain itu besar. Kalau dibandingin, enggak bakal terkejar,” kata Arie.
Masa Depan Hutan Kota
Dari segi jumlah, hutan kota di Jakarta terus berubah seiring waktu. Ada yang hilang, ada pula yang bertambah. Hutan kota Masjid Istiqlal, Blok P Walikota Jakarta Selatan, Kawasan Berikat Nusantara Marunda, serta hutan kota milik PT. Jakarta Propertindo (Jakpro) kini tak lagi dianggap sebagai hutan kota aktif. Padahal, empat hutan kota itu pernah ditetapkan sebagai hutan kota dengan Surat Keputusan Gubernur.
Hutan Kota Jakpro, misalnya, kini sudah beralih fungsi menjadi instalasi pengolahan air (water treatment plant). Sementara Hutan Kota Marunda sudah tergerus akibat pelebaran jalan. Ini lantaran penetapan suatu wilayah sebagai hutan kota hanya berlaku minimal untuk 15 tahun.
“Kami berharap kontribusi masyarakat atau dunia usaha terkait hutan kota itu ada. Itulah semangatnya ketika [suatu kawasan] ditetapkan menjadi hutan kota. Namun seiring waktu, mungkin ada kebutuhan lain, ada yang berganti di kepengurusan perusahaan tersebut,” ujar Arie.
Saat ini Pemprov DKI terus mencari lahan-lahan baru untuk dijadikan hutan kota. Pada 2018, Pemprov berhasil memboyong lahan seluas 15,31 ha yang tersebar di 12 titik. Tapi, selusin titik hutan kota itu masih berstatus belum aktif karena sarana dan prasarananya belum rampung.
Persoalannya, mencari lahan baru untuk hutan kota bukanlah perkara mudah. Apalagi land rent dari hutan kota memiliki nilai ekonomi yang relatif kecil. Mari bayangkan, bila kita punya lahan seluas 1 ha, mana yang akan kita pilih: membangun hutan kota atau membangun kontrakan?
Oleh sebab itu, kata Arie, perspektif ini nantinya perlu diubah. “Yang dihitung luas tutupan tajuk. Kalau RTH kan luasan, kalau tajuk itu bisa jadi hampir 100 persen hijau. Bawahnya bisa jadi [memiliki] banyak fungsi.” Tutupan tajuk merupakan luas tanah yang tertutupi kanopi atau dedaunan pohon.
Penjelasan Arie diamini oleh peneliti Urban Forestry dari World Resource Institute, Dewi Mustika. Ia menilai ada perbedaan konsep antara pendekatan hutan kota yang dipakai di Indonesia dengan urban forestry. Dalam konsep urban forest, pohon dapat ditanam di mana saja, termasuk di lahan tempat warga membangun kontrakan atau kosan.
“Tutupan pohon itu urban forest. Jadi enggak cuma [pohon] hutan kota yang harus berkumpul. Kalau yang lebih luas lagi, tutupan pohon itu bisa dari mana saja. Jadi enggak butuh standar luasan, cuma tutupan pohon,” ujar Dewi.
Keterangan: Kalkulator karbon ini dibuat berdasarkan hasil laporan emisi CO2 kendaraan dari World Resources Institute (WRI). Sementara data serapan karbon pohon merupakan hasil riset di sejumlah jurnal ilmiah. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan dosen IPB University Prof Endes N Dachlan.
-------
Tulisan ini merupakan salah satu pemenang dalam Data Journalism Hackathon 2021 yang diselenggarakan oleh Indonesian Data Journalism Network