ICJR: Pasal RUU KUHP Buat Peradilan Antikritik, Harus Ditinjau Ulang

7 Juni 2018 10:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Rancangan KUHP. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rancangan KUHP. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Sejumlah pasal dalam revisi UU KUHP memicu pro kontra. Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, di antara pasal bermasalah itu adalah tentang tindak pidana terhadap peradilan (Contempt Of Court) yang perlu ditinjau ulang.
ADVERTISEMENT
Direktur ICJR Anggara menjelaskan, konsep Contempt of Court yang dibahas pada pasal 303 tidak sesuai digunakan di Indonesia. Terutama ketentuan baru yang berdampak pada pers yaitu mempublikasikan sesuatu yang bisa mempengaruhi hakim di pengadilan.
Pasal 303
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V, setiap orang yang secara melawan hukum:
a. menampilkan diri untuk orang lain sebagai pembuat atau sebagai pembantu tindak pidana, yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain;
b. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
c. menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
ADVERTISEMENT
d. mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
"Indonesia menganut sistem non-adversary model-inqusitorial, di mana hakim memegang kekuasaan yang begitu besar dan sebagai pengendali utama peradilan. Kedudukan jaksa dan terdakwa juga berbeda karena pembuktian sudah dimulai dari tahapan penyidikan," ucap Anggara, dalam keterangannya, Kamis (6/7).
Sementara itu, sistem CoC bertolak belakang dengan sistem non-adversary. Dalam sistem peradilannya, hakim hanya berwenang sebagai fasilitator sidang, juri sebagai penentu, dan kedudukan jaksa dengan terdakwa sejajar.
"Sehingga pembuktian utama dilakukan dalam persidangan. Singkatnya, kedua sistem ini sangat bertolak belakang," ucap dia.
Gedung DPR/MPR RI (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung DPR/MPR RI (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Anggara mengatakan, pada Pasal 303 huruf c tidak ditemukan penjelasan konteks penghinaan terhadap hakim saat persidangan atau di luar persidangan. Selain itu, pasal tersebut juga dinilai membuat hakim menjadi antikritik.
ADVERTISEMENT
"Karena dalam konteks negara yang demokratis, peradilan tidak dapat lepas dari kritik. Jangan sampai ketentuan ini malah melindungi peradilan dari kritik yang justru sebenarnya adalah kritik yang membangun," lanjutnya.
Pada Pasal 303 huruf d, Anggara menilai, ketentuan dalam pasal tersebut tak sesuai dengan semangat kebebasan pers yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pers. Sebab, pada pasal itu tak disebutkan ukuran yang jelas bagaimana seorang hakim bisa terpengaruh oleh publikasi media yang dimaksud.
"Pers akan sulit menginvestigasi dan memberitakan artikel tentang suatu kasus yang sedang berjalan di pengadilan, di mana di situ ada hak publik atau masyarakat umum untuk tahu," ucap Anggara.
Ilustrasi palu sidang dan timbangan (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu sidang dan timbangan (Foto: Pixabay)
Anggara melanjutkan, jika poin-poin di atas tetap dimasukkan ke dalam RKUHP, maka sistem peradilan di Indonesia bisa disebut sebagai prinsip The Sub Judice Rule. Prinsip ini menyatakan bahwa media tidak boleh mempublikasikan sebuah kasus agar tidak mencampuri peradilan yang sedang berlangsung.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dalam praktiknya, di negara-negara yang menerapkan ketentuan ini, untuk menghindari adanya stigma bersalah yang mendahului putusan pengadilan, maka seharusnya untuk kasus yang sedang berjalan tersebut tidak boleh diperbincangkan atau dimuat berita agar tidak menjadi pembicaraan khalayak ramai.
"Sebagai contoh, kasus e-KTP yang sedang berjalan di KPK, maka tidak hanya media yang dilarang mempublikasikan kasus tersebut, DPR juga tidak diperbolehkan melakukan pembahasan kasus tersebut dengan dalih hak angket ataupun hak lainnya," tuturnya.
Oleh sebab itu, ICJR meminta agar DPR dan Pemerintah meninjau ulang dimasukkannya CoC tersebut ke dalam RKUHP.