Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Irjen Pol Firli Bahuri, pembuatan makalah di Komisi III DPR RI, Komplek Parlemen

ICW: DPR Pilih Pimpinan KPK yang Sesuai dengan Selera Politik Mereka

13 September 2019 14:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Irjen Pol Firli Bahuri saat melakukan tes pembuatan makalah di Komisi III DPR RI, Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (9/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Irjen Pol Firli Bahuri saat melakukan tes pembuatan makalah di Komisi III DPR RI, Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (9/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik pemilihan pimpinan KPK periode 2019-2023 oleh Komisi III DPR pada Jumat (13/9) dini hari. ICW menganggap DPR tak memutuskan pilihan dengan melihat rekam jejak para pimpinan.
ADVERTISEMENT
"Pemilihan Pimpinan KPK dan Ketua KPK oleh Komisi III DPR RI berakhir antiklimaks. Sebagaimana yang telah diprediksi sejak awal, Komisi III DPR RI akan memilih calon pimpinan KPK yang sesuai dengan selera politik mereka," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/9).
"Meskipun hal itu harus dengan mengabaikan berbagai catatan negatif terkait dengan calon pimpinan KPK tertentu," sambungnya.
ICW melihat ada tiga isu besar dari komposisi pimpinan KPK terpilih. Pertama, terkait rekam jejak buruk di masa lalu.
Menurut Kurnia, salah seorang figur yang dipilih oleh DPR merupakan pelanggar kode etik. Tak hanya itu, kata Kurnia, bahkan KPK telah membeberkan terkait pertemuan pimpinan itu dengan salah seorang tokoh politik.
ADVERTISEMENT
Capim yang disangkutpautkan dengan pelanggaran etik adalah Irjen Firli Bahuri. Ketua KPK terpilih itu diduga melanggar kode etik karena terlibat dalam pertemuan dengan sejumlah tokoh saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK. Namun, meski Firli mengaku terlibat pertemuan, ia membantah pertemuan itu melanggar etik.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Kedua, tutur Kurnia, terdapat pimpinan KPK terpilih yang tidak patuh dalam melaporkan harta kekayaannya (LHKPN). Padahal ini merupakan mandat langsung dari UU No 28 Tahun 1999 dan Peraturan KPK No 07 Tahun 2016. Akan tetapi persoalan ini, ujar Kurnia, terlewat begitu saja pada setiap tahapan seleksi.
Ketiga, lanjut Kurnia, DPR tidak mengakomodir masukan dari masyarakat. Menurutnya, sejak awal seleksi Capim KPK dilaksanakan, sejumlah elemen masyarakat, organisasi, serta tokoh sudah mengungkapkan bahwa ada persoalan serius pada seleksi pimpinan periode 2019-2023 ini.
Lima pimpinan KPK periode 2019-2023. Foto: Nugroho Sejati/kumparan, Fanny Kusumawardhani/kumparan, Irfan Adi Saputra/kumparan, Antara Foto/Aditya Pradana Putra
"Mulai dari Ibu Shinta Wahid, Buya Syafii Maarif, Romo Magnis, Romo Benny, Pimpinan Muhammadiyah, Prof Mahfud MD, dan puluhan Guru Besar dari berbagai universitas di Indonesia. Akan tetapi masukan tersebut juga tidak diakomodir, baik oleh Pansel, Presiden, maupun DPR. Sehingga dapat dikatakan bahwa seleksi Pimpinan KPK kali ini hanya dijadikan urusan segelintir elite politik saja, tanpa melibatkan masyarakat luas," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Kurnia memperkirakan komposisi lima pimpinan KPK yang terpilih saat ini telah menguat sebelum seleksi di tingkat Pansel berlangsung. Itu berarti, kata dia, proses seleksi Pansel hingga keputusan DPR diduga memang telah direncanakan.
"Sejatinya, sinyal komposisi pimpinan KPK yang baru saja terpilih sudah menguat sejak di Pansel Capim KPK. Ini artinya, proses yang terjadi di Pansel Capim KPK, termasuk sikap politik Presiden Jokowi kemarin, dengan apa yang terjadi di DPR RI, adalah sebuah proses yang seirama seolah menjadi bagian dari rencana besar," ucap Kurnia.
Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irjen Firli Bahuri menjalani uji kepatutan dan kelayakan capim KPK di Komisi III DPR RI, Jakarta, Kamis (12/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Dengan kondisi seperti hari ini, pemberantasan korupsi di Indonesia kian menjauh dari harapan awalnya, yakni menciptakan pemerintahan yang sepenuhnya bersih dan bebas dari KKN," kata Kurnia.
ADVERTISEMENT
Tak hanya soal pimpinan, Kurnia juga menyoroti sikap para calon pimpinan yang mayoritas menyetujui revisi Undang-Undang KPK. Padahal, menurutnya, revisi UU KPK akan semakin melemahkan kewenangan KPK sebagai lembaga independen.
"Seluruh calon pimpinan KPK juga sangat terikat dengan komitmen menyetujui revisi, sebagai syarat untuk terpilih sebagai pimpinan KPK. Para calon Pimpinan KPK diminta untuk menandatangani kontrak politik saat fit and proper test yang berkaitan dengan persetujuan revisi UU KPK," imbuhnya.
"Keadaan yang sangat tidak ideal ini tentu membawa dampak langsung bagi agenda pemberantasan korupsi. Pelemahan tebadap KPK adalah pengkhianatan terhadap mandat reformasi dan mimpi bangsa soal demokrasi yang sehat," pungkas Kurnia.
Sebelumnya, kelima pimpinan KPK 2019-2023 terpilih usai menjalani fit and proper test di Komisi III DPR. Kelima pimpinan KPK itu mengalahkan 379 kandidat lainnya dalam rangkaian seleksi Calon Pimpinan (Capim) KPK yang sudah digelar sejak 17 Juni 2019. Mereka telah mengikuti seleksi administrasi, uji kompetensi, profile assessment, kesehatan, hingga uji publik.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, dan Alexander Marwata. DPR pun memilih Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023. Pemilihan Firli itu dilakukan melalui aklamasi, tanpa voting.
Berikut hasil voting anggota Komisi III DPR:
1. Nawawi Pomolango: 50 suara
2. Lili Pintauli Siregar: 44 suara
3. Sigit Danang Joyo: 19 suara
4. Nurul Ghufron: 51 suara
5. I Nyoman Wara: 0 suara
6. Alexander Marwata: 53 suara
7. Johanis Tanak: 0 suara
8. Lutfi Jayadi Kurniawan: 7 suara
9. Firli Bahuri: 56 suara
10. Roby Arya Brata: 0 suara
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten