ICW Harap PT DKI Terima Banding KPK: Nurhadi Harus Bayar Uang Pengganti Rp 83 M

23 Maret 2021 14:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nurhadi (tengah) dan Riesky Herbiyono (kanan) usai konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/6). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Nurhadi (tengah) dan Riesky Herbiyono (kanan) usai konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/6). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendorong majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan banding jaksa KPK dalam perkara suap dan gratifikasi eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono.
ADVERTISEMENT
ICW memandang Nurhadi perlu dihukum maksimal, khususnya soal pembebanan uang pengganti Rp 83 miliar sesuai tuntutan jaksa KPK. Selain itu, ICW berharap Komisi Yudisial (KY) memantau proses persidangan di PT DKI dalam perkara Nurhadi.
"Pengadilan Tinggi menerima permohonan banding yang diajukan oleh KPK dan mengenakan pidana tambahan uang pengganti sejumlah Rp 83 miliar kepada Nurhadi dan Rezky Herbiyono. KPK dan Komisi Yudisial mencermati proses persidangan di Pengadilan Tinggi untuk mencegah adanya praktik korupsi maupun pelanggaran etik hakim," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangannya, Selasa (23/3).
Kurnia menilai ada sejumlah persoalan dalam vonis Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus Nurhadi. Di pengadilan tingkat pertama Nurhadi dan Rezky divonis masing-masing 6 tahun penjara serta denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Jurnalis merekam sidang pembacaan tuntutan terdakwa mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi (kanan) dalam kasus suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA, secara virtual dari Pengadilan Tipikor di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (2/3). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Vonis itu jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK selama 12 tahun penjara bagi Nurhadi dan 11 tahun bui bagi Rezky, serta denda masing-masing Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Menurut Kurnia, vonis itu jauh dari harapan publik.
ADVERTISEMENT
"Sayangnya, putusan ini bertolak belakang dengan ekspektasi publik yang menginginkan terdakwa dijatuhi vonis maksimal atau pidana penjara seumur hidup," kata Kurnia.
Dalam putusannya, Pengadilan Tipikor Jakarta menyebut Nurhadi dan Rezky hanya menerima suap serta gratifikasi senilai Rp 49,5 miliar, bukan Rp 83 miliar seperti tuntutan jaksa KPK.
Terlebih, Nurhadi dan Rezky tak dibebani membayar uang pengganti sebagaimana tuntutan jaksa KPK karena menilainya bukan uang negara.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhan saat menghadiri Diskusi “Menyoal Proses Pemilihan Pimpinan KPK dan Menakar Masa Depan Pemberantasan Korupsi”, Selasa (30/7). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Padahal, kata Kurnia, seharusnya hakim memvonis Nurhadi dengan pendekatan pemiskinan agar menciptakan efek jera.
"Tentu argumentasi hakim itu keliru dan melenceng dari peraturan perundang-undangan. Penting untuk ditegaskan bahwa pengenaan pidana tambahan tidak bergantung pada jenis korupsi yang dilakukan oleh pelaku," kata Kurnia.
"Hal itu tertuang dalam Pasal 17 UU Tipikor yang menyebutkan bahwa selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, kata Kurnia, Pasal 18 huruf b UU Tipikor tidak mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara untuk dapat menjatuhi pidana uang pengganti.
Artinya, Kurnia berpendapat pembebanan uang pengganti bisa diterapkan dalam perkara Nurhadi meski uang yang diterima bukan uang negara. Sehingga sudah seharusnya hakim menjatuhkan hukuman uang pengganti sebesar yang diterima Nurhadi dan Rezky.
"Nurhadi dan Rezky terbukti melakukan tindak pidana suap dan gratifikasi, untuk itu, apakah dua perbuatan itu tidak dianggap sebagai bagian dari korupsi? Lagi pun, pengenaan pidana uang pengganti untuk perkara suap atau gratifikasi sudah beberapa kali diputus oleh pengadilan," ucap Kurnia.
"Berpijak dengan hal itu, semestinya hakim tidak mengeluarkan argumentasi keliru dengan menolak pengenaan pidana uang pengganti kepada terdakwa," tutupnya.
ADVERTISEMENT