Ilustrasi gedung Jam Pidsus, Kejagung

ICW Laporkan 3 Penyidik Kasus Jaksa Pinangki Terkait Dugaan Pelanggaran Etik

14 Oktober 2020 18:32 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung Jam Pidsus, Kejagung. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Jam Pidsus, Kejagung. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan tiga jaksa penyidik di kasus dugaan korupsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari ke Komisi Kejaksaan (Komjak). Laporan tersebut dilayangkan atas dugaan pelanggaran kode etik saat 3 orang itu menyidik kasus Jaksa Pinangki.
ADVERTISEMENT
"Pada hari ini ICW melaporkan Jaksa Penyidik perkara Pinangki Sirna Malasari ke Komisi Kejaksaan karena diduga melakukan pelanggaran kode etik saat menyidik perkara tersebut," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (14/10).
Tiga jaksa penyidik yang dilaporkan berinisial SA, WT, dan IP. Kurnia tak merinci identitas ketiga jaksa tersebut. Adapun laporan didasari empat poin dugaan pelanggaran kode etik.
Pertama, Kurnia menyebut penyidik diduga tak menggali kebenaran materiil berdasarkan keterangan Jaksa Pinangki terkait kasus yang menjeratnya.
Dugaan tersebut muncul berdasarkan kejanggalan bahwa buronan kelas kakap seperti Djoko Tjandra bisa percaya begitu saja kepada Jaksa Pinangki. Padahal, Pinangki hanya Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Kurnia menuturkan, dari pengakuan Jaksa Pinangki, Djoko Tjandra langsung begitu saja percaya kepadanya. Hal ini, menimbulkan kejanggalan, tapi tak diusut penyidik.
ADVERTISEMENT
"Dalam konteks ini, terlihat jelas bahwa penyidik tidak mendalami lebih lanjut keterangan Pinangki," kata dia.
"Secara kasat mata, tidak mungkin seorang buronan kelas kakap, seperti Joko S Tjandra, yang telah melarikan diri selama sebelas tahun, bisa langsung begitu saja percaya dengan seorang Jaksa yang tidak mengemban jabatan penting di Kejaksaan Agung untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung," sambungnya.
Kurnia menekankan permohonan fatwa hukum ke MA tak bisa diajukan individu, melainkan harus melalui lembaga negara. Dalam konteks Jaksa Pinangki, harus melalui Kejaksaan Agung.
"Maka pertanyaan lanjutan: Apa tugas dan kewenangan Pinangki sehingga bisa mengurus sebuah fatwa dari lembaga negara (dalam hal ini Kejaksaan Agung)? Lalu apa yang membuat Joko S Tjandra percaya?" ujar Kurnia.
Tersangka kasus suap pengurusan pengajuan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari berjalan usai menjalani pemeriksaan di gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (2/9). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Kedua, penyidik diduga tidak menindaklanjuti hasil pemeriksaan bidang pengawasan Kejaksaan Agung. Padahal, kata Kurnia, Jaksa Pinangki dalam hasil pemeriksaan mengaku melapor kepada pimpinan setelah bertemu Djoko Tjandra.
ADVERTISEMENT
"Pertanyaan lebih lanjut, apakah penyidik telah menelusuri saat proses penyidikan, siapa sebenarnya pimpinan yang diduga dimaksud oleh Pinangki?" ujar dia.
Ketiga, penyidik diduga tidak mendalami peran-peran pihak yang selama ini sempat diisukan terlibat dalam. Hal ini salah satunya terkait istilah yang sempat diutarakan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) soal 'Bapakmu-Bapakku'.
"Terdapat beberapa istilah dan inisial yang sempat muncul ke tengah publik, misalnya: 'bapakmu', 'BR', dan 'HA'. Dalam konteks ini, ICW meragukan penyidik telah mendalami terkait dengan istilah dan inisial-inisial tersebut," ujarnya.
"Bahkan, jika telah didalami dan ditemukan siapa pihak itu, maka orang-orang yang disebut harus dipanggil ke hadapan penyidik untuk dimintai klarifikasinya," sambungnya.
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra berjalan seusai menjalani pemeriksaan, di gedung Bundar Kompleks Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (31/8). Foto: Adam Bariq/ANTARA FOTO
Keempat, penyidik diduga tidak berkoordinasi dengan KPK pada proses pelimpahan perkara ke Pengadilan Tipikor Jakarta. Padahal, kata Kurnia, KPK berwenang melakukan supervisi terhadap lembaga penegak hukum lain.
ADVERTISEMENT
Kurnia menyebut, pada 4 September 2020, KPK telah resmi menerbitkan surat perintah supervisi terhadap penanganan perkara Pinangki di Kejaksaan Agung. Semestinya, setiap tahapan penanganan perkara tersebut Kejaksaan Agung harus berkoordinasi dengan KPK.
"Namun, pada tanggal 15 September 2020 Kejaksaan Agung langsung melimpahkan berkas perkara Pinangki Sirna Malasari ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. ICW menduga kuat Kejaksaan Agung tidak atau belum berkoordinasi dengan KPK ihwal pelimpahan itu," ujarnya.
Kurnia mengatakan, berdasarkan analisa empat poin tersebut, maka diduga keras tindakan para Penyidik telah bertentangan dengan Pasal 5 huruf a Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa.
Pasal tersebut berbunyi: Kewajiban Jaksa kepada Profesi Jaksa adalah menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dengan integritas, profesional, mandiri, jujur, dan adil.
Terdakwa Pinangki Sirna Malasari (tengah) bersiap untuk mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/9). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Sehingga, terkait laporannya ke Komjak, Kurnia menyebut lembaga pengawas jaksa itu berwenang menindaklanjuti laporan ICW. Hal ini berdasarkan Pasal 4 huruf a Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan.
ADVERTISEMENT
Pasal tersebut berbunyi: Komisi Kejaksaan berwenang menerima dan menindaklanjuti laporan atau pengaduan masyarakat tentang kinerja dan perilaku Jaksa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, maka laporan ini seharusnya dapat ditindaklanjuti.
"Jika nantinya laporan ini terbukti benar, dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap para Penyidik, maka ICW mendesak Komisi Kejaksaan agar merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung untuk memberi sanksi tegas terhadap para Penyidik," ungkapnya.

Suap Jaksa Pinangki

Dalam kasusnya, Jaksa Pinangki didakwa menerima suap USD 500 ribu dari Djoko Tjandra. Adapun USD 50 ribu di antaranya diberikan kepada mantan pengacara Djoko Tjandra bernama Anita Kolopaking. Sehingga yang diterima Jaksa Pinangki senilai USD 450 ribu.
Suap tersebut diduga dilakukan terkait pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA). Fatwa tersebut dimaksudkan agar Djoko Tjandra tak bisa dieksekusi oleh jaksa atas putusan inkrah Peninjauan Kembali pada 2009 dengan vonis 2 tahun bui.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Pinangki didakwa melakukan pencucian uang senilai USD 444.900. Uang tersebut berasal dari Djoko Tjandra sebagaimana dakwaan pertama.
Terakhir, Pinangki didakwa melakukan pemufakatan jahat lantaran berniat menyuap pejabat di Kejagung dan MA senilai USD 10 juta atau setara Rp 148 miliar.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten