ICW soal OTT Pejabat UNJ: KPK Bisa Terapkan Pasal Suap atau Pemerasan

22 Mei 2020 18:35 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
ADVERTISEMENT
KPK terus mendapat sorotan setelah melakukan operasi tangkap tangan terhadap Kepala Bagian Kepegawaian Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Dwi Achmad Noor. Salah satu yang disorot ialah keputusan KPK untuk melimpahkan kasus ke kepolisian.
ADVERTISEMENT
ICW menilai KPK terlalu gegabah dalam menyatakan tak adanya peran penyelenggara negara dalam perkara tersebut.
Padahal, dalam keterangan Deputi Penindakan KPK Karyoto, disebutkan bahwa kasus ini diduga terkait pemintaan pengumpulan THR dari Rektor UNJ Komarudin. Uang THR itu diduga untuk pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Sedari awal dalam siaran pers tersebut telah menyebutkan bahwa Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mempunyai inisiatif melalui Kepala Bagian Kepegawaian UNJ untuk mengumpulkan uang Tunjangan Hari Raya (THR) kepada Dekan Fakultas dan lembaga di UNJ agar nantinya bisa diserahkan ke pegawai Kemendikbud," ujar Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Jumat (22/5).
Kurnia Ramadhan, peneliti ICW. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Menurut Kurnia, unsur penyelenggara negara ada pada sosok Komarudin. Kurnia menyebut bahwa pimpinan Perguruan Tinggi Negeri masuk dalam ketegori penyelenggara negara.
ADVERTISEMENT
Ia pun menilai ada dua pasal yang kemudian bisa diterapkan KPK. Pertama, pasal pemerasan atau pungutan liar (pungli) sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e UU Tindak Pidana Korupsi.
Ia menyebut delik ini pernah diterapkan KPK terhadap PNS pada Ditjen Pajak yang memeras Wajib Pajak.
"Kasus dengan model pemerasan seperti ini bukan kali pertama ditangani oleh KPK. Pada tahun 2013 yang lalu lembaga antirasuah ini pun pernah menjerat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Dirjen Pajak, Pargono Riyadi. Saat itu, ia diduga melakukan pemerasan terhadap wajib pajak, Asep Hendro, sebesar Rp 125 juta," ucap Kurnia.
Sementara yang kedua, KPK dinilai bisa menerapkan pasal suap sebagaimana Pasal 5 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi.
ADVERTISEMENT
"Dugaan ini akan semakin terang benderang ketika KPK dapat membongkar latar belakang pemberian uang kepada pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Apakah hanya sekadar pemberian THR atau lebih dari itu?" papar Kurnia.
"Karena dalam hal ini pemberi suap diduga adalah Rektor yang notabene menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 merupakan penyelenggara negara, maka sudah barang tentu KPK dapat mengusut lebih lanjut perkara ini. Atas dasar argumentasi itu, lalu apa yang mendasari KPK memilih untuk tidak menangani perkara tersebut," sambung dia.
KPK menangkap Dwi Achmad pada Rabu (20/5). Ia ditangkap usai diduga memberikan uang kepada sejumlah pegawai Kemendikbud.
Saat OTT, KPK menemukan bukti berupa uang sebesar USD 1.200 (setara Rp 17.514.000) dan Rp 27,5 juta. Diduga, uang itu merupakan hasil urunan THR yang diminta Rektor UNJ, Komarudin.
Ilustrasi kasus KPK Foto: Basith Subastian/kumparan
Meski nilainya tergolong receh, yakni sekitar Rp 45 juta, Kurnia menilai hal itu tak bisa dijadikan acuan. Menurut dia, ada beberapa kasus yang nilai suapnya kecil pada saat tertangkap tangan. Namun kemudian berdasarkan pengembangan, ditemukan nilai suap yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
"Penting untuk ditegaskan bahwa menilai sebuah perkara tidak cukup hanya dengan melihat jumlah uang sebagai barang bukti yang diamankan. Memang secara nilai jumlah itu tergolong kecil, hanya sebesar Rp 55 juta. Namun, pertanyaan lebih mendalamnya yang harus digali oleh penegak hukum adalah apakah pemberian ini merupakan kali pertama, atau sebelumnya pernah juga dilakukan," kata Kurnia.
Sebelumnya, KPK menjelaskan bahwa penangkapan itu berawal dari informasi soal adanya permintaan THR dari Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Komarudin, kepada jajarannya. Komarudin diduga meminta THR sebesar Rp 5 juta kepada sejumlah orang.
"Rektor UNJ sekitar tanggal 13 Mei 2020 diduga telah meminta kepada Dekan Fakultas dan Lembaga di UNJ untuk mengumpulkan uang THR masing-masing Rp 5 juta melalui Dwi Achmad Noor (Kabag Kepegawaian UNJ)," kata Deputi Penindakan KPK, Karyoto.
Deputi Penindakan KPK, Karyoto. Foto: Deshana/kumparan
Uang itu diduga dikumpulkan guna diberikan kepada pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karyoto menyebut THR diduga akan diberikan kepada Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti Kemendikbud dan beberapa staf SDM di Kemendikbud.
ADVERTISEMENT
Hal itu yang kemudian mendasari KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan. Namun, berdasarkan pemeriksaan awal, KPK berdalih tak menemukan keterlibatan unsur penyelenggara negara. Sehingga, perkara tersebut dinilai tak masuk ranah KPK. Kasus itu pun dilimpahkan ke Polda Metro Jaya.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona