ICW soal Skor IPK 38 Poin: Pemberantasan Korupsi Era Jokowi Jalan di Tempat

26 Januari 2022 13:30 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Indonesia Corruption Watch dan Gerakan #BersihkanIndonesia menggelar unjuk rasa di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (8/12).  Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Indonesia Corruption Watch dan Gerakan #BersihkanIndonesia menggelar unjuk rasa di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (8/12). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Masa depan pemberantasan korupsi menemui jalan terjal. ICW menilai, sesumbar yang selama ini diucapkan oleh pemerintah untuk membantah pelemahan terhadap agenda pemberantasan korupsi belum terbukti.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut terlihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya bertambah satu poin, dari 37 menjadi 38. Hal ini dinilai menjadi penanda bahwa pemberantasan korupsi jalan di tempat.
"Ini menjadi pertanda bahwa pemberantasan korupsi selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo berjalan di tempat," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Rabu (26/1).
Di saat yang sama, kata Kurnia, arah politik hukum pemberantasan korupsi semakin mengalami kemunduran. Pangkal persoalannya dinilai klasik, yakni ketidakjelasan orientasi pemerintah dalam merumuskan strategi pemberantasan korupsi.
"Selama ini pemerintah hanya disibukkan dengan pembenahan sektor ekonomi dengan memproduksi beragam proyek infrastruktur dan penguatan investasi. Alhasil, akibat kekeliruan arah itu, mayoritas kalangan pebisnis mengambil untung di tengah stagnasinya situasi penegakan hukum," ucap dia.
ADVERTISEMENT
Kurnia mengatakan, peningkatan IPK Indonesia tahun ini harus dibenturkan dengan realita pemberantasan korupsi terkini. Secara kasat mata, tahun 2021 masih menjadi periode implikasi atas akumulasi kekeliruan pemerintah ketika mengubah haluan pemberantasan korupsi melalui sejumlah regulasi dan kebijakan.
Hal ini, kata dia, dapat dibuktikan dengan masifnya kritik masyarakat terhadap kinerja lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK. Tidak hanya itu, bahkan pada awal Januari lalu Indikator Politik Indonesia menguatkan kesimpulan tersebut dengan menemukan adanya persepsi buruk dari sebagian besar masyarakat terhadap komitmen antikorupsi pemerintah.
"Maka dari itu, meningkatnya poin dan peringkat Indonesia semestinya dimaknai sebagai bahan evaluasi mendasar untuk mengembalikan pemberantasan korupsi ke arah yang benar, bukan justru mengglorifikasikannya," kata Kurnia.
Kurnia menyinggung soal janji politik yang digaungkan oleh Jokowi saat mengikuti kontestasi politik 2014 dan 2019. Saat itu, kata dia, narasi penguatan pemberantasan korupsi terbilang baik dan menawarkan harapan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, keinginan untuk mengubah citra pemberantasan korupsi itu dinilai hanya berhenti pada tumpukan berkas janji kampanye tanpa adanya implementasi yang konkret. Ditambah lagi dengan ketidakmampuan Jokowi untuk memimpin orkestrasi penegakan hukum menggunakan kewenangan dan struktur sumber daya politik yang dimilikinya selama ini.
"Mirisnya, Presiden justru menjadi salah satu dalang di balik ambruknya pemberantasan korupsi belakangan waktu terakhir," ucap dia.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Kurnia pun mencermati sejumlah isu terkait hanya naik 1 poin IPK Indonesia pada 2021.
Pertama, pemerintah hanya disibukkan dengan agenda pencarian ladang ekonomi untuk kepentingan investasi. Dia mencontohkan soal adanya kebijakan pemindahan ibu kota dan klaim kemudahan sektor ekonomi melalui Omnibus Law dapat dijadikan rujukan utama. Kurnia menilai pembahasannya sangat kilat pembahasan aturan dengan menabrak aturan formal menjadi argumentasi utama untuk membantah logika yang dibangun oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
"Sayangnya, pemerintah terlewat bahwa persoalan utama yang masih mendera sektor ekonomi menyangkut kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan aspek pemberantasan korupsi," ucap dia.
Kedua, agenda reformasi hukum tidak pernah diprioritaskan. Kurnia mengatakan, secara administrasi seluruh pimpinan aparat penegak hukum berada di bawah kekuasaan eksekutif. Dengan logika seperti ini semestinya Presiden bisa mendesak Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK untuk meningkatkan kinerja pemberantasan korupsinya.
Akan tetapi, berdasarkan temuan ICW dalam Tren Penindakan semester pertama tahun 2021, jumlah penyidikan perkara korupsi yang dilakukan tiga penegak hukum itu mengalami penurunan.
Selain itu, khusus terkait KPK, ICW menilai sepanjang tahun lalu yang tampak hanya kegaduhan tanpa mampu menunjukkan prestasi sebagaimana lazim terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Ditambah dengan fakta mengendurnya Rule of Law Index yang dirilis oleh World Justice Project tahun 2021 semakin menguatkan indikasi reformasi hukum masih sebatas jargon semata.
ADVERTISEMENT
Ketiga, permasalahan grand corruption yang tak kunjung tuntas. Kurnia menilai, tidak ada komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus grand corruption atau korupsi berskala besar.
Kasus-kasus besar tersebut seperti reklamasi Jakarta, KTP elektronik, surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI), dan sederet kasus lainnya berhenti hanya pada sedikit tersangka atau terpidana.
"Padahal kasus tersebut berpotensi melibatkan aktor-aktor besar. Kondisi yang dibentuk hari-hari ini bahkan membuka ruang praktik grand corruption untuk semakin marak terjadi," kata dia.
Belum lagi adanya pelemahan KPK lewat revisi UU membuat aktor-aktor yang membajak proyek negara sulit disentuh secara hukum. Ini diperparah dengan kehadiran UU Minerba serta UU Cipta Kerja yang menjamin pebisnis untuk mendapat keuntungan dengan mengeruk sumber daya alam.
ADVERTISEMENT
Keempat, menyempitnya ruang partisipasi warga dalam agenda pemberantasan korupsi. Poin ini menitikberatkan pada ancaman yang masih banyak diterima oleh warga negara ketika menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja para penyelenggara negara.
"Bentuknya pun semakin beragam, mulai dari pelaporan menggunakan delik pencemaran nama baik, peretasan, hingga kekerasan fisik. Padahal, peran serta warga negara dibutuhkan dan dijamin keberadaannya oleh peraturan perundang-undangan untuk berkontribusi terhadap penegakan hukum. Dari sini terlihat kelindan yang kuat antara penurunan demokrasi dengan stagnasi pemberantasan korupsi," ucap dia.
Presiden Jokowi memberi sambutan dalam acara ekspor perdana smelter grade alumina di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). Foto: Kemenko Perekonomian
Presiden Jokowi memberi sambutan dalam acara ekspor perdana smelter grade alumina di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). Foto: Kemenko Perekomian
Rekomendasi
Untuk mendorong perbaikan dalam keseluruhan kebijakan pemberantasan korupsi, ICW mendesak sejumlah hal. Berikut poin-poinnya:
ADVERTISEMENT