ICW Soroti Penanganan Kasus Jaksa Pinangki: Siapa Pemberi Suapnya?

15 Agustus 2020 6:03 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Coverstory Djoko Tjandra. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Coverstory Djoko Tjandra. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Bareskrim Polri mengklasifikasikan setidaknya ada tiga klaster kasus di sengkarut perkara Djoko Tjandra. Mulai dari awal mula Djoko Tjandra melarikan diri ke luar negeri; pengurusan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; dan penghapusan red notice serta surat jalan palsu.
ADVERTISEMENT
Dari setiap klaster kasus tersebut, Indonesian Corruption Watch (ICW) punya catatan sendiri. ICW menilai, masih banyak sejumlah pertanyaan yang harus dijawab dalam penanganan perkara di tiga klaster itu.
Salah satunya terkait klaster PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, di mana ICW mempertanyakan siapa pemberi suap kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari. Sebab, ICW menilai tak mungkin jaksa Pinangki menerima suap tanpa ada sosok pemberinya.
Jaksa Pinangki sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka penerima suap oleh Kejaksaan Agung, namun pihak pemberinya belum juga disampaikan kepada publik. Jaksa Pinangki diduga menerima suap USD 500 ribu.
"Siapa pemberi suapnya? sebab tidak mungkin dalam sebuah perbuatan koruptif hanya dilakukan oleh satu orang. Lalu dana yang diterima oleh Pinangki, apakah dinikmati secara pribadi atau ada oknum petinggi Kejaksaan yang juga turut menerima bagian," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Sabtu (15/8).
ADVERTISEMENT
Di klaster ini, kata Kurnia, ada tiga hal lainnya yang perlu diusut oleh Kejaksaan Agung.
Jaksa Pinangki. Foto: Instagram/@ani2medy
Pertama, Kurnia mempertanyakan apakah jaksa Pinangki ini memiliki relasi dengan seseorang di Mahkamah Agung. Tak dirinci mengapa dugaan ini muncul.
"Apakah Jaksa Pinangki memiliki relasi dengan oknum di Mahkamah Agung sehingga bisa menjanjikan memberikan bantuan berupa fatwa kepada Djoko Tjandra? Jika iya, maka Kejaksaan juga harus mengusut hal tersebut," kata Kurnia.
Kedua, ICW juga meminta Kejaksaan Agung mengusut ada atau tidaknya pihak lain yang terlibat dalam kasus ini. Salah satunya, terkait ada atau tidaknya petinggi di Kejaksaan Agung yang bekerjasama dengan jaksa Pinangki.
"Kejaksaan juga harus mengusut apakah ada oknum petinggi Kejaksaan yang selama ini bekerjasama dengan Pinangki dan sebenarnya mengetahui sepak terjang dari yang bersangkutan namun tidak melakukan tindakan apa pun," kata Kurnia.
ADVERTISEMENT
Ketiga, ICW meminta Kejaksaan Agung menangani perkara dugaan rasuah ini dengan profesional, independen, dan objektif.
"Untuk itu, Kejaksaan penting untuk terus menerus memberitahukan kepada publik terkait perkembangan penyidikan jaksa Pinangki," ujarnya.
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra (tengah) dibawa petugas Kepolisian. Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Klaster Djoko Tjandra ke Luar Negeri
ICW juga menyoroti terkait dengan klaster kasus Djoko Tjandra kabur ke luar negeri antara rentang waktu 2008-2009. Jika merujuk peristiwa tahun 2009, saat itu Djoko Tjandra kabur ke Papua Nugini.
Ketika itu, pria dengan julukan 'Joker' tersebut menghindari hukuman 2 tahun penjara yang diputus Mahkamah Agung (MA) di tingkat PK. Adapun klaster ini akan ditangani oleh KPK.
"Penegak hukum mesti mendalami terkait adanya oknum yang membocorkan putusan PK atas nama Djoko Tjandra pada tahun 2009 yang lalu. Sebab, diduga keras pelarian Djoko Tjandra diakibatkan dari bocornya putusan tersebut," kata Kurnia.
ADVERTISEMENT
"Jika ditemukan maka penegak hukum dapat mengenakan pelaku dengan sangkaan Pasal 21 UU Tipikor terkait obstruction of justice atau menghalang-halangi proses hukum," sambungnya.
Infografik mereka yang bertemu Djoko Tjandra di Pelarian. Foto: Nadia Wijaya/kumparan
Klaster Red Notice dan Surat Jalan
Klaster mengenai pencabutan red notice dan surat jalan palsu bagi Djoko Tjandra ini pun jadi salah satu yang disorot. ICW mengapresiasi Polri yang meningkatkan status kasus ini menjadi penyidikan dengan menetapkan sejumlah tersangka.
Diketahui, saat ini terdapat 4 orang yang ditetapkan sebagai tersangka di kasus pencabutan red notice. Sebagai tersangka pemberi suap yakni Djoko Tjandra dan seseorang diduga pengusaha bernama Tommy.
Adapun sebagai tersangka penerima suap yakni eks Kadiv Hubinter Polri, Irjen Napoleon Bonaparte dan eks Kakorwas PPNS Bareskrim, Brigjen Prasetijo Utomo.
ADVERTISEMENT
Sementara perkara surat jalan masuk ranah tindak pidana umum. Terdapat 1 tersangka baru yang ditetapkan yakni Djoko Tjandra. Sebelumnya sudah 2 orang yang jadi tersangka di kasus surat jalan yakni Anita Kolopaking dan Brigjen Prasetijo.
"Kepolisian harus mengembangkan perkara ini, khususnya pada kemungkinan masih adanya oknum perwira tinggi Polri lain yang diduga secara bersama-sama dengan PU dan NB turut memuluskan pelarian Djoko Tjandra," kata Kurnia.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Selain itu, Kurnia juga meminta adanya pemeriksaan terhadap petinggi di Imigrasi terkait pencabutan red notice Djoko Tjandra.
"Kepolisian juga mesti memeriksa apakah ada oknum atau petinggi Imigrasi yang terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra. Sebab, data red notice Djoko Tjandra di Imigrasi diketahui sempat dihapus," kata Kurnia.
ADVERTISEMENT
"Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa Dirjen Imigrasi, Jhoni Ginting, sebelumnya adalah seorang Jaksa, tentu yang bersangkutan mestinya mengetahui bahwa Djoko Tjandra merupakan buronan Kejaksaan yang belum tertangkap," sambungnya.
Kurnia juga mengatakan, terkait tiga klaster itu, KPK harus ikut serta dalam melakukan fungsi koordinasi dan supervisi atas penyidikan perkara korupsi, baik yang dilakukan oleh Kepolisian maupun Kejaksaan.
"Jika memang ada indikasi untuk memperlambat proses pengusutan atau melindungi oknum tertentu, maka berdasarkan UU KPK, lembaga anti rasuah itu berhak untuk mengambil alih penanganan perkara tersebut," pungkasnya.