ICW Tolak Dewan Pengawas KPK, Desak Jokowi Terbitkan Perppu

5 November 2019 6:48 WIB
Presiden Joko Widodo saat menghadiri KTT para pemimpin ASEAN dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, di Bangkok, Thailand, Minggu (3/11/2019) Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo saat menghadiri KTT para pemimpin ASEAN dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, di Bangkok, Thailand, Minggu (3/11/2019) Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun
ADVERTISEMENT
Indonesia Corruption Watch (ICW) tak peduli dengan langkah Presiden Jokowi yang mulai meminta masukan ahli hukum dalam menunjuk Dewan Pengawas KPK. Sebab, menyetujui kelembagaan Dewan Pengawas sama saja dengan merestui UU KPK hasil revisi.
ADVERTISEMENT
"Dewan Pengawas adalah bagian dari revisi UU KPK. Jadi, siapa pun yang dipilih Jokowi [untuk jadi anggota Dewan Pengawas], kami menolak kelembagaan Dewan Pengawas, kami tidak fokus siapa yang akan dipilih," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, saat dihubungi kumparan, Selasa (5/11).
"Kita sepakat, jika presiden tetap melanjutkan pemilihan Dewan Pengawas, makan presiden gagal paham dalam melihat bagaimana memetakan lembaga antikorupsi yang benar," tegasnya.
Secara teoritis, Kurnia menegaskan KPK adalah lembaga negara independen. Menurutnya, di negara manapun, lembaga negara independen tidak mengenal instrumen kelembagaan Dewan Pengawas. Kurnia justru memandang pengawasan internal KPK --tanpa Dewan Pengawas-- sudah berjalan baik.
"KPK memiliki deputi pengawas internal dan Pengaduan Masyarakat (Dumas). Deputi pengawas internal pernah menjatuhkan dua Komisioner KPK, yakni Pak Saut Situmorang dan Abraham Samad. Sekelas pimpinan pernah dijatuhi sanksi. Ini membuktikan pengawasan KPK tetap berjalan," kata Kurnia.
ADVERTISEMENT
Kasus yang dimaksud Kurnia yakni sanksi tertulis untuk Saut pada 2016 dan Abraham Samad pada April 2013. Saat itu, Saut mendapat sanksi tertulis dari Komisi Etik atas pernyataannya yang menyinggung sejumlah kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) korupsi saat menjadi pejabat negara. Adapun Abraham mendapat sanksi etik pelanggaran ringan saat diduga terlibat dalam kasus bocornya sprindik Anas Urbaningrum.
Kurnia Ramadhana, peneliti ICW di diskusi terkait RUU KPK di kantor ICW, Jakarta, Jumat (20/9/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Merujuk UU KPK lama, atau UU Nomor 30 Tahun 2002, disebutkan bahwa KPK diawasi oleh tiga kelembagaan. Yakni, secara keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan secara kinerja oleh DPR dan Presiden.
"DPR diawasi melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP), dan ini 'kan secara UU juga KPK tanggung jawab kepada publik. Saat ada orang yang menyarankan supaya ada yang menjaga dan mengawasi KPK, sebetulnya, kalau kita lihat, yang mengawasi KPK adalah institusi kekuasaan kehakiman," tuturnya.
ADVERTISEMENT
"Kalau kita lihat misalnya ada orang ditetapkan tersangka, mekanisme ujinya ada praperadilan. Apakah KPK pernah kalah, pernah, yakni kasus Setya Novanto dan Budi Gunawan. Itu pernah kalah dalam praperadilan, membuktikan check and balance berjalan," sambung Kurnia.
Selain itu, Kurnia juga menyoroti kewenangan Dewan Pengawas yang berlebihan. Dalam UU versi revisi, diatur bahwa Dewan Pengawas mempunyai kewenangan pemberian izin dalam menyadap, menggeledah, hingga menyita. Selama ini, izin tersebut diberikan pimpinan KPK.
"Kita sebenarnya berharap Jokowi hadirkan Perppu menolak seluruh pengesahan revisi UU dan kembalikan UU sedia kala. Termasuk pembentukan Dewan Pengawas, kewenangan SP3 perubahan status pegawai KPK menjadi ASN. Alasannya itu, karena, Jokowi seharusnya terbitkan Perppu," tuturnya.
Sebagai gambaran, Jokowi, beberapa waktu lalu, memang mengaku tengah mempertimbangkan penerbitan Perppu. Namun belakangan, Perppu tersebut tak kunjung terbit karena Jokowi masih menunggu putusan uji materi UU KPK hasil revisi di MK yang digugat sejumlah mahasiswa dan politisi.
Presiden Jokowi saat di KTT ASEAN, Bangkok, Thailand. Foto: Reuters
"Kita melihat bahwa sekarang ini masih ada proses uji materi di MK. Jangan ada orang yang masih berproses di uji materi kemudian langsung ditimpa dengan sebuah keputusan yang lain. Saya kira kita harus tahu sopan santun," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11).
ADVERTISEMENT
Selain itu, Jokowi mengaku, pemilihan Dewan Pengawas KPK sedang dalam proses hingga Desember 2019. "Saat ini untuk Dewan Pengawas KPK kita masih dalam proses. Mendapatkan masukan-masukan untuk siapa yang nanti bisa duduk di dalam Dewan Pengawas KPK," kata Jokowi.
Mensesneg Pratikno menambahkan, ada banyak pihak dari berbagai latar belakang yang dimintai saran Jokowi terkait pemilihan Dewan Pengawas KPK.
"Macam-macam. Tentu saja ahli hukum yang akan banyak ya, tapi juga ada non-hukum, ada dimensi sosialnya muncul. Tapi belum diputuskan final. Sekarang masih listing-lah," kata Pratikno di Gedung Krida Bhakti, Jakarta Pusat, Senin (4/11).
"Masukan berbagai pihak. Dewan Pengawas kan Presiden masih banyak waktu. Nanti diangkat bersamaan dengan pimpinan KPK yang baru. Masih bulan Desember," jelasnya.
ADVERTISEMENT