ICW Ungkap 6 Indikasi Malaadministrasi Program Kartu Prakerja

2 Juli 2020 15:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Kartu Prakerja yang digadang-gadang sebagai program andalan Presiden Jokowi diduga melanggar ketentuan administrasi. Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya enam indikasi malaadministrasi dalam program tersebut.
ADVERTISEMENT
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menjelaskan, dalam kajian oleh lembaganya, ditemukan fakta bahwa program tersebut berpotensi merugikan keuangan negara, membiarkan praktik monopoli terjadi, hingga mengandung konflik kepentingan.
“Sederhananya, jika program ini tetap dipaksakan berjalan maka dapat melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi,” kata Kurnia dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan, Kamis (2/7).
Pertama, Kartu Prakerja dinilai tak sesuai ditempatkan di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Menurut ICW, ini tak pas dengan tugas pokok dan fungsi kementerian. Urusan Kartu Prakerja dianggap lebih tepat ditaruh di Kementerian Ketenagakerjaan.
Terlebih bila merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang salah satu kebijakannya mengarah ke peningkatan produktivitas dan daya saing melalui program pendidikan dan pelatihan vokasi berbasis industri.
ADVERTISEMENT
“Kebijakan tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan akses ke pelatihan vokasi melalui penerapan Kartu Prakerja. Hal ini tentu berada dalam wilayah Kemenaker,” kata Kurnia.
Sementara menempatkan Kemenko Perekonomian sebagai pelaksana teknis program Kartu Prakerja berpotensi menimbulkan konflik peran, karena fungsi pengawasan dan fungsi pelaksanaan teknis jadi menyatu pada satu kementerian.
“Sehingga ini dipandang sebagai malaadministrasi karena melampaui wewenang sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008,” kata Kurnia.
Ilustrasi daftar kartu Prakerja. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Kedua, mekanisme kurasi lembaga pelatihan dinilai tak layak dan mengandung konflik kepentingan. Pasal 27 Peraturan Menko Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020 menyebutkan bahwa platform digital dan Manajemen Pelaksana Kartu Pakerja membutuhkan proses kurasi paling lama 21 hari untuk menetapkan lembaga pelatihan.
ADVERTISEMENT
“Namun faktanya, rentang waktu antara proses pendaftaran gelombang I sampai penutupan hanya lima hari saja. Tentu waktu ini dipandang tak cukup untuk menghasilkan lembaga pelatihan yang benar-benar teruji dan profesional. Bahkan dapat berpotensi merusak kualitas pelatihan yang sebelumnya dijanjikan akan diberikan,” kata Kurnia.
Ketiga, perjanjian kerja sama antara manajemen pelaksana dengan platform digital dilakukan sebelum terbitnya Permenko 3 Tahun 2020. Manajemen pelaksana dibentuk oleh komite pada 17 Maret 2020, sedangkan Permenko 3 Tahun 2020 yang mengatur teknis perjanjian kerja sama baru terbit pada 27 Maret 2020.
Atas dasar itu, ICW menduga bahwa perjanjian kerja sama antara manajemen pelaksana dan platform digital merupakan bentuk maladministrasi.
“Karena dasar hukum teknis yang mengatur tentang perjanjian kerja sama sebenarnya belum ada. Dengan kata lain, perjanjian kerja sama antara manajemen pelaksana dengan platform digital tidak berdasarkan aturan sama sekali,” kata Kurnia.
Warga mencari informasi tentang pendaftaran program Kartu Prakerja gelombang kedua di Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Keempat, pemilihan platform digital dinilai tak sesuai dengan prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJ). Kurnia menyebut, penunjukan platform digital sebagai mitra pemerintah tak menggunakan instrumen hukum yang jelas. Bahkan, pemerintah tak memberikan informasi kepada masyarakat terkait kesempatan untuk menjadi mitra di program tersebut.
ADVERTISEMENT
“Terbatasnya informasi menggambarkan kesan bahwa pemerintah ingin menjauhkan informasi ini dari masyarakat,” kata dia.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa sebelumnya juga menyatakan bahwa ketentuan PBJ pemerintah dalam penyaluran bantuan program Kartu Prakerja harus mengadopsi tujuan prinsip PBJ dengan memberikan kesempatan kepada semua pihak.
Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang PBJ secara tegas menyebutkan bahwa prinsip pengadaan barang/jasa harus efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.
“Maka dari itu, patut diduga bahwa pemilihan platform digital merupakan bentuk pelanggaran malaadministrasi karena tidak sesuai dengan prinsip pengadaan barang/jasa yang transparan, terbuka, dan akuntabel,” ujarnya.
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Kelima, ICW menilai adanya potensi konflik kepentingan dalam platform digital yang menjadi partner pemerintah. Hasil kajian ICW menemukan adanya peran ganda oleh platform digital yang merangkap sebagai lembaga pelatihan.
ADVERTISEMENT
Dari 850 pelatihan yang diidentifikasi, sebanyak 137 pelatihan merupakan milik lembaga pelatihan yang juga merangkap sebagai platform digital. Kajian KPK pun memperlihatkan hal serupa, bahwa ada konflik kepentingan karena dari delapan platform digital yang menjadi mitra Kartu Prakerja, lima di antaranya juga bertindak sebagai lembaga pelatihan.
“Jika diperinci, dari 1.895 pelatihan yang tersedia, 250 di antaranya merupakan milik lembaga pelatihan yang memiliki konflik kepentingan dengan platform digital,” kata Kurnia.
Keenam, pemilihan platform digital tidak menggunakan mekanisme lelang pengadaan barang dan jasa. Hal itu tak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
“Pemerintah berdalih penunjukan langsung delapan platform digital diperbolehkan karena ada keterbatasan waktu dan uji coba program,” kata Kurnia.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian menyinggung alasan lain mengapa pemerintah tak menempuh mekanisme PBJ tersebut. Pemerintah berdalih menggunakan skema Anggaran Bendahara Umum Negara sesuai dengan Peraturan Kementerian Keuangan 208 Tahun 2017.
Sementara, ujar Kurnia, berdasarkan Pasal 1 Perpres 16 Tahun 2018, dijelaskan bahwa pengadaan merupakan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan APBN/APBD—mulai dari identifikasi kebutuhan hingga serah terima hasil pekerjaan.
“Sehingga mekanisme pemilihan platform digital sudah seharusnya menggunakan skema yang diatur dalam Perpres. Akibat tidak ada mekanisme lelang, proses penentuan mitra platform digital berpotensi malaadministrasi,” tandasnya.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Saksikan video menarik di bawah ini.