IDI: Banyak Warga di Bali Tolak Isolasi Terpusat, Jauh dari Keluarga

4 Agustus 2021 19:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mural tentang pandemi COVID-19 Foto: Dhemas Reviyanto/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Mural tentang pandemi COVID-19 Foto: Dhemas Reviyanto/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Tingkat penelusuran kontak erat terhadap pasien COVID-19 di Bali rendah. IDI Bali mencatat, penelusuran kontak erat terhadap satu pasien COVID-19 hanya 3 sampai 5 orang.
ADVERTISEMENT
Padahal, menurut Ketua IDI Bali dr Gede Putra Suteja, WHO menyarankan tingkat tracing 1 berbanding 30 atau satu pasien ditracing 25 sampai 30 orang.
Suteja menuturkan, salah satu sebab rendahnya tracing ini adalah masyarakat menolak menjalani perawatan isolasi terpusat (isoter). Sebab apabila positif, ada kemungkinan dirawat isoter.
Suterja menyebut, alasan penolakan isoter karena mereka takut tak ada yang mengurus dan jauh dari keluarga saat berada di wisma atau hotel yang disiapkan Satgas COVID-19.
"Gubernur (Bali Wayan Koster) bilang akan meningkatkan tracing tapi itu terkesan (masyarakat) takut untuk ditracing, takut isolasi terpusat karena tempatnya jauh. Itu yang jadi masalah," kata dia dalam keterangan pers secara virtual terkait update angka kematian dokter yang dihimpun Tim Mitigasi PB IDI, Rabu (4/8).
Ilustrasi anak dan ayah corona. Foto: Shutter Stock
Alasan tak ada yang mengurus ini bukan tanpa sebab. Tempat isoter yang disediakan Satgas COVID-19 berada di kabupaten/kota asal pasien sehingga keluarga terkendala jarak.
ADVERTISEMENT
Misalnya, pasien COVID-19 Kabupaten Gianyar menjalani isolasi terpusat di Kabupaten Badung. Jarak antara Kabupaten Gianyar-Badung sekitar 27 Km atau 48 menit.
"Makanya tracing kita sedikit, enggak mau ditracing karena takut diisolasi pindah kabupaten, siapa yang akan mengurus, padahal sudah ada yang mengurus, satgas, maka dari itu memang keterbatasan isoman bisa dipersempit nanti," kata dia.
Suteja memberi contoh penolakan isoter saat menerima pasien di tempat praktek mandiri. Pasien datang ke fasilitas kesehatan dengan gejala demam, batuk dan indra penciuman hilang.
Namun, pasien tersebut lebih memilih isolasi mandiri (isoman) dibandingkan isoter. Suteja bersyukur pasien yang menolak isoter ini dapat ditangani dengan baik hingga sembuh.
"Di praktik mandiri sudah jelas dia ada panas ada batuk, penciuman menurun, ndak mau di isolasi. Mungkin ini lebih besar skupnya (cakupan) udah bisa kita tangani," kata dia.
Pekerja sektor pariwisata menjalani vaksinasi corona di Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (20/5/2021). Foto: Fikri Yusuf/ANTARA FOTO
Menurut dia, butuh kerja sama seluruh pihak untuk mengedukasi pasien agar mau menjalani isoter. Apalagi, tenaga kesehatan di Bali terbebani dengan tugas perawatan, tracing hingga vaksinasi corona.
ADVERTISEMENT
"Dan ini tampaknya bukan semata-mata tugas kami dari nakes, mudah-mudahan ini bisa dibantu masyarakat segera," kata dia.
Dia berharap Satgas COVID-19 Bali membuka isoter di tingkat desa untuk memudahkan pasien dan keluarga berinteraksi. Keluarga dapat mengirimkan kebutuhan pasien isoter dengan cepat dan biaya murah.
"Mungkin basisnya bisa isoter di desa sekarang kan per kabupaten/kota, isoman di Gianyar, hotelnya di Kuta semua yang dipakai," kata dia.
Berdasarkan data Satgas COVID-19 Bali, kasus aktif corona saat ini mencapai 13.344 orang. Sebanyak 2.302 menjalani isoter dan 8.835 isoman di rumah.
Satgas COVID-19 Bali memiliki 30 tempat isoter dengan kapasitas 3.258 bed. Dari 3.258 bed sudah 2.302 bed atau 70,66 persen terisi dan 959 bed atau sekitar 29,34 persen tersisa.
ADVERTISEMENT