Imparsial: Negara Sering Kali Absen Tangani Kasus Intoleransi Agama

17 November 2019 19:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konferensi pers momen peringatan Hari Toleransi Internasional, di Kantor Imparsial, Tebet, jakarta Selatan, Minggu (17/11). Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi pers momen peringatan Hari Toleransi Internasional, di Kantor Imparsial, Tebet, jakarta Selatan, Minggu (17/11). Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam satu tahun terakhir, Imparsial mencatat 31 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran tersebut misalnya seperti penutupan rumah ibadah, penyesatan hingga penyebaran kebencian atas agama lain, aturan yang mewajibkan penggunaan busana agama tertentu di sekolah publik dan lain sebagainya.
Untuk mencegah kasus tak terulang, Imparsial meminta negara melindungi serta menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Desakan ini bersamaan dengan momentum Hari Toleransi Internasional pada 16 November lalu.
"Negara sering kali absen dari kewajibannya dan dalam beberapa kasus bahkan menjadi pelaku itu sendiri," kata Amelia dalam konferensi pers di kantor Imparsial, Jakarta, Minggu (17/11).
Imparsial juga mendesak pemerintah untuk menindak tegas pelaku intoleran. Menurutnya, jaminan atas hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih menghadapi tiga level tantangan. Yakni konseptual, sosial, dan hukum.
ADVERTISEMENT
Konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan sering dipandang sebagai konsep yang lahir dari barat dan tidak sesuai dengan kultur Indonesia.
"Upaya promosi kebebasan beragama masih sering dianggap sebagai gagasan yang mengkampanyekan kebebasan yang tanpa batas," ujar Amelia.
Pada tingkat hukum, Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, mengatakan, aturan hukum dan kebijakan berkembang secara disharmonis. Ada peran hukum yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, mulai dari konstitusi, UUD 1945, ada juga Undang-undang HAM.
"Tapi di sisi lain ada banyak peraturan perundang-undangan yang justru membatasi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dan dalam praktiknya aturan-aturan itu sering kali digunakan sebagai instrumen dalam membatasi dan bahkan melegitimasi praktik-praktik intoleransi," jelas Gufron.