Indriyanto Seno Adji: Keputusan Pimpinan KPK soal 75 Pegawai Tak Lolos TWK Wajar

13 Mei 2021 6:00 WIB
Anggota Dewas KPK Indriyanto Seno Adji menyampaikan konferensi pers di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Jakarta, Kamis (29/4/2021). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Dewas KPK Indriyanto Seno Adji menyampaikan konferensi pers di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Jakarta, Kamis (29/4/2021). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Indriyanto Seno Adji, membela keputusan Firli Bahuri dkk mengenai 75 pegawai yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
ADVERTISEMENT
Diketahui pimpinan KPK memerintahkan para pegawai yang tak lolos TWK agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung.
Indriyanto menyebut keputusan itu bukan hanya kebijakan Ketua KPK, Firli Bahuri, melainkan telah diputuskan secara kolektif kolegial dalam sebuah rapat, yang turut mengundang Dewas.
“Keputusan KPK ini harus dilihat dari facet (antara) hukum pidana (terkait fungsi lembaga penegak hukum) dengan hukum administrasi negara (terkait tupoksi wewenang), dan bahwa keputusan Pimpinan KPK itu dipastikan bersifat kolektif kolegial, sama sekali bukan keputusan individual dari Ketua KPK," ujar Indriyanto dalam keterangannya, Kamis (13/5).
"Bahkan anggota Dewas KPK termasuk saya turut serta hadir dan paham isi rapat tersebut, walaupun selanjutnya substansi keputusan menjadi domain Pimpinan kolektif kolegial KPK” lanjutnya.
Ketua KPK Firli Bahuri (kiri) bersama Anggota Dewas KPK Indriyanto Seno Adji (tengah), dan Ketua Dewas KPK Tumpak Panggabean saat konferensi pers di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Jakarta, Kamis (29/4/2021). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Ia melihat keputusan pimpinan KPK mengenai nasib 75 pegawai KPK tak lolos TWK wajar. Sementara mengenai perintah menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung, kata Indriyanto, bukan berarti para pegawai nonaktif.
ADVERTISEMENT
“(Jadi) tidak ada istilah penonaktifan. Ini prosedur hukum yang wajar atau layak, yang juga sama ditempuh oleh komisi atau lembaga lainnya, demikian juga halnya dengan KPK. Keputusan ini masih dalam tataran proper legal administrative procedures, karenanya memang harus ada penyerahan sementara kepada atasan langsung," ucapnya.
“Walau misalnya saja terjadi arahan atasan berupa keputusan dilakukan secara lisan (mondelinge beschikking) sebagai penguasan keputusan tertulis yang ada, tapi tetap sah sebagai keputusan lisan,” lanjutnya.
Indriyanto berpendapat, keputusan pimpinan KPK harus dianggap selaras dengan prinsip Presumptio Iustae Causa, yakni kebijakan yang harus atau selayaknya dianggap benar menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum dibuktikan sebaliknya.
”Jadi bagi saya, keputusan tersebut tidak bermasalah secara hukum, walaupun harus selalu disadari bahwa kalau terkait produk apa pun di kelembagaan KPK, akan selalu bisa menjadi polemik yang dipermasalahkan,” ujar Indriyanto.
Ilustrasi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Shutter Stock
Apabila terdapat pegawai yang mempersoalkan keputusan pimpinan KPK tersebut, Indriyanto menyebut bisa menggunakan sarana gugatan melalui PTUN.
ADVERTISEMENT
“Ini menjadi hak penuh dari siapa pun yang merasa dirugikan terhadap penerbitan keputusan tersebut. Semua pelaksana organ KPK sebaiknya taat dan patuh hukum, dan bila ada keberatan atas keputusan Pimpinan KPK, ada mekanisme atau prosedural hukum untuk menguji keberatan tersebut,” pungkas Indriyanto.
Diketahui terdapat 75 pegawai tak lolos TWK sebagai syarat alih status sebagai ASN. Dari 75 pegawai tersebut terdapat beberapa penyidik senior seperti Novel Baswedan hingga Ambarita Damanik.
SK penonaktifan tersebut ditetapkan pada 7 Mei 2021 dengan tertulis tanda tangan Ketua KPK, Firli Bahuri. Sementara salinan yang sah ditandatangani Plh Kabiro SDM KPK, Yonathan Demme Tangdilintin.
***
Saksikan video menarik di bawah ini: