IOJI Ungkap 2 Tantangan Pemerintahan Jokowi dalam Berantas Illegal Fishing

12 Juni 2020 16:59 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
CEO IOJI Dr Mas Achmad Santosa mengikuti webinar 'Tantangan Indonesia untuk Mengakhiri Praktik Illegal Fishing'. Foto: screenshot/zoom
zoom-in-whitePerbesar
CEO IOJI Dr Mas Achmad Santosa mengikuti webinar 'Tantangan Indonesia untuk Mengakhiri Praktik Illegal Fishing'. Foto: screenshot/zoom
ADVERTISEMENT
Persoalan illegal fishing masih belum selesai di Indonesia. Bahkan, praktik illegal fishing masih sering terjadi dan seringkali memicu konflik, baik antara sesama nelayan lokal maupun dengan asing seperti China.
ADVERTISEMENT
Namun setidaknya, tantangan dalam pemberantasan ilegal fishing sudah berkurang dari waktu ke waktu. Di masa lalu, sepanjang 2012-2014, tantangan pemerintah dalam memberantas Illegal Unreport and Unregulated Fishing (IUUF) beragam, mulai dari penertiban kapal ikan nasional, mencegah kapal asing, hingga menangani kapal pseudo asing yang beridentitas Indonesia.
Pada 2015, pemerintah Indonesia melalui Perpres 44 Tahun 2015 mengambil kebijakan hanya memberikan izin penangkapan dan pengangkutan untuk pengusaha dan modal nasional, agar nelayan nasional sepenuhnya menguasai perairan Indonesia.
Menurut CEO Indonesian Ocean Justice Initiative (IOJI) Dr Mas Achmad Santosa, tantangan pseudo asing kini telah relatif teratasi dengan adanya Perpres 44 Tahun 2015. Pemerintah Indonesia kini perlu fokus pada dua tantangan lain, yaitu terkait Kapal Ikan Asing (KIA) dan praktik ilegal Kapal Ikan Indonesia (KII) sendiri.
ADVERTISEMENT
“Pertama, mencegah masuknya kapal ikan asing yang menangkap ikan di wilayah teritorial maupun ZEE Indonesia. Kedua, ini yang penting, mencegah dan menangani IUUF kapal ikan Indonesia,” ungkap Achmad dalam webinar bertajuk ‘Tantangan Indonesia untuk Mengakhiri Praktik Illegal Fishing' yang digelar kumparan, Jumat (12/6).
Kapal yang diduga telah melakukan aksi ilegal fishing di perairan Indonesia. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Achmad membeberkan, untuk persoalan kapal asing, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan di perairan Indonesia. Terutama, di wilayah rawan pencurian yang umumnya merupakan kawasan lumbung ikan Indonesia.
Dia membeberkan, berdasarkan data Global Fishing Watch 2019, ada enam titik rawan di enam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia yaitu:
ADVERTISEMENT
“Natuna Utara (adalah) wilayah paling rawan terjadinya pencurian oleh KIA, dengan negara yang melakukan pelanggaran di wilayah perikanan WBP 711 adalah kapal asing Tiongkok dan kapal ikan asing Vietnam,” kata dia.
Ia mengakui pemerintah pasti mendapat informasi intelijen dari negara sahabat terkait keberadaan KIA. Akan tetapi, menurutnya itu kurang berguna karena informasi diberikan setelah kejadian.
Achmad menilai yang diperlukan pemerintah adalah menangkap saat kejadian sehingga terjadi penegakkan hukum. Oleh karena itu, teknologi pendeteksian menjadi kuncinya.
“Termasuk penggunaan Radar satelit dan perangkat elektronik lainnya untuk memantau keberadaan KIA secara real time dan akurat,” ucap Achmad.
Di samping itu, pemerintah perlu mengoptimalkan peran pengawasan dari para nelayan. Misalnya dengan membekali nelayan nasional dengan pengetahuan teknologi dasar, sehingga bisa melakukan pelaporan. Para nelayan pun dibekali alat komunikasi memadai dan bantuan kapal yang lebih besar sehingga daya jelajahnya bisa lebih jauh.
Kapal Ikan Asing (KIA) berbendera Filipina yang ditangkap KKP. Foto: Dok: PSDKP KKP
Achmad melanjutkan, masih ada persoalan kedua, yaitu pengawasan pelanggaran dari KII. Dia merinci saat ini masih ada 9 jenis pelanggaran yang dilakukan oleh KII, mulai dari penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan, beroperasi di luar zona yang ditentukan, pemalsuan surat izin, penggunaan bom dan bius, hingga praktik human trafficking.
ADVERTISEMENT
Ia menilai hal-hal seperti itu perlu tetap ancaman nyata bagi ekosistem laut Indonesia, termasuk sumber daya ikan di dalamnya. Tidak itu saja, pencegahan tindak kejahatan di laut juga penting agar laut Indonesia aman dan para nelayan pun berdaulat.
Pemerintah, kata dia, perlu terus mengoptimalkan pengawasan atau patroli rutin untuk mengawasi aktivitas KII. Selain itu, perlu sosialisasi terus menerus oleh KKP selaku penanggung jawab aktivitas perikanan nasional terhadap para nelayan masih bandel.
“Memastikan kepatuhan KII, menekankan pada pendekatan kepatuhan dengan pencegahan, tetapi tetap dalam pengawasan dan sanksi administratif yang konsisten,” katanya.
Secara keseluruhan, Achmad mengatakan pemerintah perlu tegas menjalankan Perpres 44 Tahun 2015 untuk menyelesaikan masalah aktivitas ilegal pseudo asing. Di samping itu, kerja sama internasional untuk penegakkan hukum juga perlu terus digalakkan.
ADVERTISEMENT
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
****
Saksikan video menarik di bawah ini: