IPK Indonesia Peringkat 85, Dewas KPK Sebut Parpol Sumber Korupsi

23 Januari 2020 18:16 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris saat konferensi pers usai pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris saat konferensi pers usai pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Transparency International Indonesia (TII) merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2019. Hasilnya, Indonesia memperoleh angka 40 dan menempati peringkat 85 dari 180 negara yang disurvei.
ADVERTISEMENT
TII menggunakan skor 0 hingga 100 dengan artian 0 sangat korup dan 100 sangat bersih. IPK tersebut naik 3 peringkat dari IPK tahun 2018 di peringkat 89.
Terhadap IPK tersebut, Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengapresiasinya. Meski demikian, Dewas KPK menilai peringkat Indonesia masih kurang memuaskan.
Anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, mengatakan pemberantasan korupsi di Indonesia masih perlu banyak perbaikan, khususnya di bidang politik.
"Ada yang mengatakan bahwa korupsi Indonesia itu episentrumnya di politik. Episentrum korupsi di politik itu di mana? Ya di partai politik. Oleh sebab itu pembenahan ke depan mestinya lebih intens di bidang politik," ujar Syamsuddin dalam acara peluncuran IPK Indonesia di Sequis Center, Jakarta Pusat, Kamis (23/1).
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Menurut Syamsuddin, meski Indonesia sudah lebih dari 20 tahun menganut sistem reformasi, namun korupsi di sektor politik masih tumbuh subur. Syamsuddin berpandangan suburnya korupsi di sektor politik itu salah satunya berasal dari parpol yang tak memegang integritas.
ADVERTISEMENT
“Parpol sangat-sangat tidak sehat. Tidak ada standar etik, tidak ada sistem kaderisasi yang baku, yang berjenjang, berkala, inklusif. Tidak ada rekrutmen politik yang akuntabel. Tidak ada demokrasi internal. Mungkin sebagian besar parpol kita berperilaku demikian,” jelasnya.
"Menjanjikan korupsi akan mengecil apabila parpol melembagakan sistem integritas itu. Tapi ini mustahil apabila tidak bisa insert jadi regulasi negara. Aturannya ya UU Parpol. (Tetapi) yang mengejutkan kita adalah rancangan revisi UU parpol tidak masuk Prolegnas 2020," lanjutnya.
Selain itu, kata Syamsuddin, perlunya pembenahan sistem politik seperti Pilkada dan Pileg untuk menutup ruang korupsi.
"Bagaimana pun Pilkada kita fasilitasi tumbuhnya koruptor. Kita juga ada kajian ini dengan KPK agar Pilkada dibenahi. Dengan ambang batas pencalonan Pilkada membuka peluang bagi parpol untuk beli dukungan pada partai lain. Dan membatasi peluang bagi kandidat yang kompeten dan punya kapasitas memimpin daerah," tutupnya.
ADVERTISEMENT