Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ir. Djuanda: Tokoh Mata Uang 50 Ribu dan Kisah Penyatuan Wilayah Laut Indonesia
9 Agustus 2021 7:05 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Djuanda Kartawidjaja atau yang akrab dengan nama Ir. Djuanda merupakan sosok di mata uang Rp 50 ribu yang baru. Uang tersebut pertama kali rilis pada tanggal 19 Desember 2016.
ADVERTISEMENT
Lantas siapakah sosok Ir. Djuanda?
Ir. H. Djuanda Kartawidjaja pada tanggal 14 Januari 1911 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Djuanda merupakan anak dari pasangan suami istri Raden Kartawidjaja dan juga Nyi Momot. Ayahnya memiliki profesi sebagai guru yang kemudian diangkat menjadi Mantri Guru di Hollands Inlandse School (HIS).
Penobatan Ayahnya sebagai Mantri Guru di HIS berdampak positif bagi Djuanda. HIS merupakan sekolah dasar berbahasa Belanda. Tak sembarang orang dapat sekolah di sana. Namun karena ayah Djuanda memiliki posisi sebagai mantri. maka Ia memiliki kesempatan untuk menjadi siswa di sana.
Setelah lulus dari HIS, Djuanda melanjutkan pendidikan di Eouropese Lagere School (ELS). Keberhasilannya lulus dari ELS dapat membuatnya meneruskan pendidikan ke Hogere Burgerlijke School (HBS). Mengingat yang diterima di HBS hanyalah siswa lulusan ELS. Setelah itu, untuk jenjang pendidikan selanjutnya, Djuanda memilih menimba ilmu di Technische Hoge School Bandung (THS) yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB).
ADVERTISEMENT
Perjalanan Karir Ir. Djuanda
Djuanda awalnya memiliki profesi sebagai guru di kompleks sekolah di bawah naungan Muhammadiyah. Pekerjaan tersebut didapatkannya atas rekomendasi dari senior Djuanda di organisasi paguyuban pasundan, yakni Otto Iskandar Dinata.
Profesinya sebagai guru pun berjalan selama lima tahun. Selanjutnya, Ia bekerja sebagai insinyur Bidang Pengairan dalam departemen pekerjaan umum yang berada di Bandung, Jawa Barat.
Namun takdir berkata lain, Djuanda mendapat panggilan untuk menjadi kepala Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI). Kariernya pun terus moncer hingga Sukarno menunjuknya sebagai menteri perhubungan pada 2 periode, yaitu 2 Oktober 1946 – 4 Agustus 1949 dan 6 September 1950 – 30 Juli 1953.
Pada 9 April 1957, Djuanda terpilih menjadi Perdana Menteri Indonesia ke-10 menggantikan Ali Sastroamidjojo. Pada saat itulah Djuanda memutuskan untuk membentuk daerah otonom baru tingkat I pada Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, serta Irian Barat dengan daerah administratif yang berpusat pada Soa-Siu di Tidore
ADVERTISEMENT
Jasa Ir. Djuanda dalam Penyatuan Wilayah Laut Indonesia
Jabatan Djuanda sebagai Perdana Menteri memiliki peran penting. Terlebih, saat itu Indonesia baru saja merdeka. Pendek kata, Indonesia masih memiliki segudang masalah yang harus diselesaikan.
Satu dari setumpuk masalah itu adalah bentuk Indonesia yang terpisah jarak antar pulaunya oleh laut. Di tengah upaya menjalin komunikasi yang kuat antarpulau, pihak asing masih saja berusaha menguasai dan menduduki Indonesia.
Pangkal masalahnya adalah sebuah undang-undang Internasional yang membatasi wilayah laut Indonesia. Peraturan itu disebut sebagai Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang diwariskan Belanda pada 1939.
Dalam peraturan disebutkan wilayah teritorial Indonesia bagi tiap pulau hanya berhak atas tiga mill. Dus, aturan itu menyebabkan mudahnya pihak asing bebas melakukan tindakan-tindakan yang tak diinginkan dalam wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bagi Djuanda, peraturan tersebut tentu saja merugikan Indonesia. Sebagai perdana menteri, Djuanda merespons peraturan itu dengan mencetuskan deklarasi yang dikenal sebagai Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957,
Berikut isinya:
Djuanda lalu memutuskan untuk mengubah batas wilayah teritorial bagi tiap pulau menjadi 12 mill diukur dari titik terluar pulau. Selain itu, Djuanda juga membawa persoalan ini dalam konferensi Internasional pada Februari 1958 di Jenewa. Namun, Djuanda mendapat penolakan dari dunia internasional.
Meski demikian, perjuangan untuk membawa kepentingan Indonesia ke dunia Internasional terus dilakukan. Puncaknya adalah pada Konvensi Hukum Laut Internasional PBB ke-3 yang berlangsung dari 1973 sampai 1982. Kala itu, Indonesia kembali membawa pemikiran Djuanda.
ADVERTISEMENT
Perjuangan itu pun berbuah manis dengan munculnya Konvensi Hukum Laut PBB di Jamaika pada 10 Desember 1982. Berdasarkan konvensi itu, Indonesia diakui sebagai negara kepulauan.
Terbitnya konvensi itu menjadikan pihak asing tidak dapat seenaknya datang ke wilayah Indonesia tanpa izin. Biota laut dan kekayaan alam lainnya adalah milik bangsa Indonesia.
***
Konten ini merupakan bagian dari Karnaval Kemerdekaan 2021 yang digelar kumparan. Keseruan puncak acara Karnaval Kemerdekaan dapat disaksikan melalui live streaming pada 17 Agustus 2021 pukul 12.00 WIB di platform dan channel YouTube kumparan.