Jaksa Agung Didesak Koreksi Ucapan Tragedi Semanggi Bukan HAM Berat

17 Januari 2020 17:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jaksa Agung RI ST Burhanuddin melakukan rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (7/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jaksa Agung RI ST Burhanuddin melakukan rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (7/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyebut tragedi Semanggi I dan Semanggi II pada 1998 bukanlah pelanggaran HAM berat menuai polemik.
ADVERTISEMENT
Tak sedikit yang menyayangkan pernyataan Burhanuddin. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bahkan menyebut ucapan jaksa agung sudah bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin, yang menyatakan ingin menuntaskan kasus-kasus HAM berat masa lalu.
"Pernyataan Jaksa Agung tersebut juga telah mengabaikan fakta-fakta hukum yang disampaikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia," tulis ELSAM dalam keterangan tertulis, Jumat (17/1).
ELSAM menyebutkan, berdasarkan hasil penyelidikan pro yustisia Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II telah terbukti terjadi berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari pembunuhan, penganiayaan, perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penghilangan paksa, dan perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik.
Keterangan kepada wartawan saat peringatan 21 tahun tragedi Semanggi I di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Rabu (13/11/2019). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Pernyataan Burhanuddin juga dianggap sudah tidak relevan lagi dan bertentangan dengan Putusan MK No. 18/PUU-V/2007 dalam pengujian UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
ADVERTISEMENT
"Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa DPR tidak bisa lagi menentukan sendiri dugaan pelanggaran HAM yang berat," ucapnya.
Mereka lalu menyinggung Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, yang sayangnya, sering ditafsirkan DPR bisa melakukan penyelidikan sendiri terhadap peristiwa apakah masuk pelanggaran HAM berat atau tidak. Maka, tak jarang hasil penyelidikan Komnas HAM kerap berbeda dengan DPR, termasuk Trisakti, Semanggi I, dan II.
Jaksa Agung ST Burhanuddin. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Lebih lanjut, MK menyebut DPR hanya berwenang memberikan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM Adhoc. Sedangkan proses penyelidikan oleh Komnas HAM dan penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Sedangkan penentuan peristiwa terpenuhi unsur HAM berat atau tidak berada di kewenangan institusi yudisial.
"Oleh karenanya, semestinya untuk memastikan tidak adanya pelanggaran HAM yang berat dalam kasus ini, seharusnya jaksa agung segera menindaklanjutinya ke dalam proses penyidikan dan membawanya ke pengadilan," ungkap ELSAM.
ADVERTISEMENT
Atas kondisi di atas, ELSAM menganggap pernyataan ST Burhanuddin adalah sebuah kekeliruan. Burhanuddin juga dianggap telah mengecewakan berbagai pihak, terutama para korban yang sudah menaruh harapan terhadap pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
Seorang keluarga korban semanggi '98 yang hadir di aksi kamisan di seberang Istana Presiden, Kamis, (21/2). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ELSAM lalu memberikan empat rekomendasi untuk menyikapi pernyataan Jaksa Agung, yakni:
1. Jaksa Agung mengoreksi pernyataannya dengan melakukan langkah-langkah yang serius untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan KPP HAM dalam kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, serta kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya ke tingkat penyidikan.
2. Pemerintah, khususnya Presiden, untuk memberikan dukungan secara penuh kepada Jaksa Agung dan Komnas HAM untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu, termasuk Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
3. Pemerintah melalui Menko Polhukam, dengan dukungan penuh Presiden, segera menyusun strategi dan langkah yang diperlukan untuk mempercepat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, dengan pelibatan publik yang sebesar-besarnya.
ADVERTISEMENT
4. Presiden memegang kendali kepemimpinan politik dalam percepatan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu, untuk memastikan sinergi dan sinkronisasi antarinstitusi yang bertanggungjawab dalam agenda penyelesaian tersebut.