Sidang Lanjutan Jaksa Pinangki

Jaksa Pinangki Bantah Buat 'Action Plan', Minta Hakim Batalkan Dakwaan

30 September 2020 18:28 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (30/9). Foto: Akbar Nugroho Gumay/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (30/9). Foto: Akbar Nugroho Gumay/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Jaksa Pinangki Sirna Malasari membacakan nota keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (30/9). Dalam sidang tersebut, Jaksa Pinangki melalui kuasa hukumnya meminta hakim membatalkan surat dakwaan JPU.
ADVERTISEMENT
"Menyatakan surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima atau membatalkan surat dakwaan penuntut umum atau menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum," kata pengacara Jaksa Pinangki.
Hal tersebut bukan tanpa sebab, kuasa hukum Jaksa Pinangki membeberkan sejumlah argumentasinya. Pertama, Jaksa Pinangki didakwa dengan pasal Tipikor yakni Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 (1) huruf a UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tipikor.
Sesuai pasal tersebut, Jaksa Pinangki diduga menerima pemberian atau janji serta memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Namun, kata kuasa hukum Jaksa Pinangki, kliennya juga dituduh melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait suap yang didakwakan. Kuasa hukum menilai penyidikan TPPU yang didasari pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1), tidaklah jelas.
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra berjalan seusai menjalani pemeriksaan, di gedung Bundar Kompleks Gedung Kejakasaan Agung, Jakarta, Senin (31/8). Foto: Adam Bariq/ANTARA FOTO
"Menurut Terdakwa sangatlah tidak jelas, karena peristiwa korupsi yang dituduhkan kepada Terdakwa yaitu menerima uang sejumlah USD 500.000 tidak didukung dengan bukti yang nyata, bahkan sampai saat ini, siapa pemberi dan siapa penerima uang masih tidak jelas," kata kuasa hukum Jaksa Pinangki.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pihak Jaksa Pinangki juga mempertanyakan dakwaan JPU yang menuduh kliennya menerima USD 500 ribu dari Djoko Tjandra. Dalam dakwaan uang tersebut disampaikan oleh adik ipar Djoko Tjandra kepada Andi Irfan Jaya, kenalan Jaksa Pinangki.
"Anehnya atas pemberian uang tersebut Joko Soegiarto Tjandra justru tidak pernah mengkonfirmasi apakah Andi Irfan Jaya benar-benar telah menerima uang tersebut dan tidak pernah sekalipun meminta pelaksanaan pekerjaan yang dimintakan kepada Andi Irfan Jaya," kata kuasa hukum Jaksa Pinangki.
Kuasa Hukum Jaksa Pinangki pun menilai penyidik tak mendalami lebih jauh mengenai dugaan pemberian uang ini. Mereka juga mengklaim bahwa sampai saat ini keterangan dari Djoko Tjandra dengan Andi Irfan Jaya bertolak belakang, namun didiamkan oleh penyidik.
ADVERTISEMENT
Tapi tak dirinci mengenai keterangan yang mana yang bertolak belakang tersebut.
Rekan Jaksa Pinangki, Andi Irfan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus suap Djoko Tjandra. Foto: Dok. Istimewa
"Dalam proses penyidikan walaupun tidak jelas mengenai bukti penerimaan uang USD 500 ribu tersebut, Terdakwa tetap diperiksa mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang dan Anehnya penyidik seakan-akan mencari kecocokan perihal adanya uang tersebut dari kegiatan transaksi Terdakwa selama ini dan seakan-akan di pas-pas kan dengan pengeluaran yang dilakukan Terdakwa sepanjang November 2019 sampai dengan Juli 2020," ujarnya.
Selain itu, pihak Jaksa Pinangki juga menilai dakwaan terkait tindakan pemufakatan jahat sebagaimana pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tipikor, dinilai dipaksakan. Dalam dakwaan disebut jaksa Pinangki bermufakat untuk mengurus fatwa MA atas putusan PK Djoko Tjandra.
Padahal, kata kuasa hukum, apa yang dituduhkan kepada kliennya itu tidak jadi dilaksanakan, karena Djoko Tjandra menilai pengurusan fatwa itu tak masuk akal. Sehingga Djoko Tjandra memilih menempuh jalur Peninjauan Kembali di PN Jakarta Selatan bersama Anita Kolopaking.
ADVERTISEMENT
"Dalam permufakatan jahat yang dituduhkan kepada Terdakwa terdapat Action Plan yang didalamnya terdapat kode nama-nama orang lain yang diisukan “dijual” oleh Terdakwa, padahal faktanya, Terdakwa bukanlah yang membuat Action Plan tersebut, apalagi menyebutkan nama-nama di dalamnya," kata kuasa hukum Jaksa Pinangki.
"Karena sejak awal pemeriksaan di penyidikan Terdakwa tidak mau berspekulasi dengan nama-nama yang ada dalam Action Plan karena memang tidak tahu dari mana asal Action Plan tersebut apalagi isi di dalamnya. Sehingga menjadi pertanyaan besar kenapa Terdakwa masih didakwa dengan suatu hal yang nyata-nyatanya tidak terjadi," pungkasnya.
Terdakwa Pinangki Sirna Malasari (tengah) bersiap untuk mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/9). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO

Dakwaan Jaksa Pinangki

Jaksa Pinangki didakwa dengan tiga pasal berlapis. Pada dakwaan pertama, jaksa menilai Pinangki menerima suap sebesar USD 500 ribu atau setara Rp 7,4 miliar dari commitment fee senilai USD 1 juta atau setara Rp 14,8 miliar. Dugaan suap tersebut berasal dari terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra.
ADVERTISEMENT
Jaksa menyebut suap itu diberikan agar Pinangki mengurus fatwa ke Mahkamah Agung (MA). Fatwa itu diperlukan agar Djoko Tjandra tak perlu menjalani 2 tahun penjara di kasus cessie Bank Bali.
Dalam dakwaan kedua, Pinangki dijerat dengan Pasal pencucian uang. Jaksa menyatakan Pinangki telah mencuci uang yang berasal dari penerimaan suap sebesar USD 444.900 atau sekitar Rp 6.219.380.900.
Terakhir, Pinangki dijerat dengan dakwaan pemufakatan jahat. Pinangki bersama Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra diduga bermufakat jahat untuk menyuap pejabat di Kejagung dan MA senilai USD 10 juta atau setara Rp 148 miliar.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten