Jalan Panjang Penganugerahan Pahlawan Nasional

9 November 2019 13:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo (kanan) menyerahkan plakat anugerah gelar pahlawan nasional kepada ahli waris Prof KH Abdul Kahar Mudzakkir di Istana Negara, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo (kanan) menyerahkan plakat anugerah gelar pahlawan nasional kepada ahli waris Prof KH Abdul Kahar Mudzakkir di Istana Negara, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
ADVERTISEMENT
Tahun 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada sejumlah tokoh. Sama seperti tahun sebelumnya, di tahun ini, Jokowi menyematkan gelar tersebut untuk enam tokoh.
Doktor Sardjito. Foto: Wikimedia Commons
Mereka adalah pendiri Universitas Islam (UII) Yogyakarta, Abdoel Kahar Moezakkir; rektor pertama Universitas Gadjah Mada; Dr. Sardjito; eks Menteri Keuangan, Alexander Andries Maramis; tokoh Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus eks Menteri Agama, Kiai Masjkur; jurnalis asal Minang, Roehana Koeddoes; dan putra daerah pemimpin perlawanan imperialisme Belanda di Kesultanan Buton, Sultan Himayatuddin.
ADVERTISEMENT
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional 2019 ini dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 120/TK Tahun 2019 tertanggal 7 November 2019. Pemberian gelar telah diterima oleh ahli waris masing-masing tokoh di Istana Negara, Jumat (8/11) lalu.
Tercatat, hingga 2019, sudah ada 185 tokoh tersemat gelar pahlawan nasional. Bahkan, terhitung sejak Jokowi menjabat Presiden RI, sudah ada 26 tokoh yang dinobatkan.
"Kita surplus pahlawan nasional," ujar Sejarawan sekaligus Pemimpin Redaksi Historia, Bonnie Triyana, kepada kumparan.
Abdul Kahar Muzakkir. Foto: Wikimedia Commons
KH Abdul Kahar Muzakkir semasa muda. Foto: Dok. Humas UII
Apa itu Pahlawan Nasional?
Pengertian tentang pahlawan nasional diatur di dalam UU No.20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan:
"Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia."
Alexander Andries Maramis dan KH Masjkur. Foto: Wikipedia
Jurnalis perempuan pertama di Indonesia, Roehana Koeddoes. Foto: Wikipedia
Bonnie menambahkan, saat aturan awal pahlawan nasional dibuat di era Sukarno, pengertian pahlawan adalah mereka yang berjasa merebut kemerdekaan sebelum 1945. Selain itu, pahlawan nasional hanya bisa diberikan untuk tokoh yang tak memiliki 'cacat'.
ADVERTISEMENT
"Ada tambahan, era dulu, selama dia enggak punya nilai cacat yang bisa gugurkan nilai kepahlawanan dia, misalkan dia ketahuan berhubungan sama Belanda, kalau dia raja melawan Belanda, kita temui ternyata dia kongsi sama Belanda, ini menjadi problematis," ujar Bonnie.
Nusa Jawa Silang Budaya Jilid I: Batas-batas Pembaratan, karya sejarawan Prancis Denys Lombart menyebutkan, ide untuk mencetuskan sosok dan konsep pahlawan di Indonesia dimulai pada pengujung 1950.
“Agar prakarsa-prakarsa itu dapat ikut memperkuat ideologi persatuan, sejak 1959 Sukarno memutuskan untuk menyusun sebuah daftar resmi ‘Pahlawan Nasional’,” tulis Denys.
"Dan saat itu, penobatan pahlawan nasional pertama diberikan ke Abdul Muis, politikus Sarekat Islam," tambah Bonnie.
Bonnie Triyana pada pembukaan pameran Asal-Usul Orang Indonesia (ASOI) di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (15/10/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Bagaimana mekanisme pengusulan pahlawan nasional saat ini?
ADVERTISEMENT
PP Nomor 1 Tahun 2020 mengatur mekanisme bagaimana seorang tokoh bisa dianugerahi gelar pahlawan. Setelah didorong dan diusulkan oleh masyarakat setempat, bupati atau kepala daerah asal tokoh itu harus memberikan rekomendasi ke gubernur dan instansi sosial provinsi.
Selanjutnya, nama-nama yang tercatat dalam usulan itu digodok oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) yang dipimpin oleh Kemensos.
Presiden Joko Widodo (kanan) menyerahkan plakat anugerah gelar pahlawan nasional kepada ahli waris Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi (kiri) di Istana Negara. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Ahli waris memegang plakat gelar pahlawan nasional saat penganugerahan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/11/2019). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Setelah nama-nama itu disampaikan, penggodokan kembali dilakukan di tingkat atas, yakni oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Mereka akan memutuskan dan menyaring sejumlah nama untuk nantinya diberikan kepada presiden. Dan, presiden akan mengumumkan tokoh tersebut sebagai pahlawan nasional di Istana.
"Di dalam ada dewan yang milih, kriterianya banyak, salah satunya nanti harus diajukan naskah akademik, lalu ada seminar, lalu dikirim," kata Bonnie.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Setneg.go.id, Dewan Gelar Tanda Jasa beranggotakan dua akademisi, dua tokoh militer, dan tiga tokoh masyarakat yang pernah mendapatkan tanda jasa dan/atau kehormatan. Pemilihan anggota Dewan ditunjuk oleh menteri terkait, dan diangkat serta diberhentikan presiden.
Mereka dijabat oleh ketua merangkap anggota, Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu, Wakil Ketua, Jimly Asshiddiqie, dan anggotanya, Azyumardi Azra, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno, Kuntoro Mangkusubroto, Nur Hasan Wirajuda, serta Meutia Farida Hatta.
Tamu undangan memberikan ucapat selamat kepada ahli waris saat penganugerahan gelar pahlawan nasional di Istana Negara. Foto: Fahrian Saleh/kumparan
Pendekatan politik
Bonnie memastikan penganugerahan gelar pahlawan, sejak dulu, memang menggunakan pendekatan politik. Menurutnya, menobatkan pahlawan di sejumlah perwakilan daerah semata-mata demi membangun national building.
"Pemberian gelar pahlawan sudah pasti politis, begini, apa, sih, yang mau lepas dari politik? 'kan enggak, perjuangan mereka kan juga politik, dalam bingkai kolonialisme 'kan politik. Tapi, di UU 'kan disebutkan gelar itu diberikan karena dia punya jasa, sumbangan untuk republik," tutur Bonnie.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Melansir Historia dalam artikel "Adakah udang di balik gelar pahlawan nasional", pemberian gelar pahlawan melalui pendekatan politik sudah dilakukan presiden-presiden sebelumnya.
Misalnya, dulu, Sukarno sering menggunakan hak istimewa sebagai presiden untuk mengusulkan kandidat pahlawan tanpa mempertimbangkan atau mengantongi persetujuan komite yang berwenang (sejarawan Jerman Klaus H. Schreiner dalam “Penciptaan Pahlawan-Pahlawan Nasional dari Demokrasi Terpimpin sampai Orde Baru 1959-1993” termuat di Outward Appearances suntingan Henk Schulte Nordholt).
Misalnya saja pengangkatan Tan Malaka dan Alimin. Historia mencatat, jika dikutip dari Schreiner, Sukarno mengangkat dua tokoh komunis sebagai pahlawan berdasarkan kepentingan strategis, dengan menempatkan wakil dari ideologi komunis dan Nasakom.
Begitu pula di era Soeharto. Pemberian gelar pahlawan oleh Laksamana Martadinata dilakukan lantaran ia menjadi pendukung Soeharto usai peristiwa G 30 September 1965. Begitu pula dengan penobatan pahlawan untuk Basuki Rahmat, salah satu jenderal yang bersaksi saat Supersemar.
ADVERTISEMENT
Menarasikan jasa, bukan sekadar angka
Bonnie mengingatkan adanya surplus pahlawan nasional bukan hanya sekadar untuk menambah-nambah angka. Namun, ia meminta masyarakat dan pemerintah menyoroti jasa mereka untuk disebarluaskan.
Pengenalan para pahlawan bisa dilakukan dengan cara-cara yang lebih modern. Sehingga, masyarakat bisa tertarik mengenal tokoh-tokoh daerah yang mungkin belum pernah mereka tahu.
"Narasinya harus dikembangkan, disebarluaskan, baca kisahnya, misalnya menjadi film, atau hal lain, itu yang menjadi lebih penting. Kita kan surplus pahlawan," ungkap Bonnie.
Presiden Joko Widodo (kanan) menyerahkan plakat anugerah gelar pahlawan nasional kepada ahli waris KH Masjkur di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/11/2019). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari