imigrasi Bandara Changi Singapura

Jalan Pintas dari Rasa Waswas itu Berujung #KaburAjaDulu

17 Februari 2025 19:21 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bagi sebagian orang, kondisi Indonesia kini mencemaskan, bikin frustasi, dan penuh ketidakpastian. Tak sedikit yang lalu memilih kabur ke luar negeri demi kehidupan lebih layak; membuat fenomena #KaburAjaDulu bergaung kencang.
***
Lulus kuliah dari sebuah universitas di Yogyakarta tahun 2022, Sidratul Muntaha langsung memutuskan ikut program Working Holiday Visa (WHV) ke Australia. Ia ke negeri kanguru untuk bekerja paruh waktu sembari mencari kesempatan melanjutkan pendidikan.
Cita-citanya sederhana. Setelah nanti menyelesaikan S2, berbekal upah yang disisihkan untuk tabungan, ia berniat kembali ke Indonesia. Sidra percaya pengalaman dan pendidikannya di Australia kelak bisa membantunya hidup layak sekembali ke tanah air.
Namun harapannya memudar. Sidra pesimistis. Ia tak menemukan masa depannya di Indonesia setelah melihat kondisi dan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah saat ini.
Berita dari tanah air yang dibaca Sidra setiap hari tak ubahnya sebagai kabar buruk yang tak pernah berhenti dan terus berulang.
“Aku datang ke sini (Australia) dengan niat dan keyakinan betul bahwa semuanya cuma sementara. Aku pasti balik [ke Indonesia], pikirku begitu dulu,” cerita Sidra kepada kumparan, Kamis (13/2).
“Tapi kabar buruk ga berhenti datang. ‘Peringatan Darurat’, ‘Kawal Putusan MK’, peringatan darurat lagi, gitu terus,” imbuhnya.
Sejumlah warga menyaksikan Opera House yang berselimut gambar Raja Charles tiga dari pertunjukkan video mapping di Sydney, Australia, Jumat (18/10/2024). Foto: David Gray/AFP
‘Peringatan Darurat’ yang dimaksud ialah gerakan massa pada pertengahan 2024 untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penurunan ambang batas pencalonan kepala daerah. Putusan MK itu hendak dianulir DPR melalui revisi RUU Pilkada dan menimbulkan kemarahan publik.
Harapan Sidra semakin padam dengan kebijakan efisiensi anggaran oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pemotongan anggaran sejumlah kementerian dan lembaga itu di antaranya untuk membiayai program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.
Sayangnya, dampak efisiensi bukan cuma menekan pengeluaran negara yang tidak perlu seperti perjalanan dinas luar negeri hingga rapat-rapat di hotel. Efeknya melebar dan melahirkan masalah baru: ancaman kehilangan kerja massal, turunnya pelayanan publik, dipangkasnya dana riset, berkurangnya kuota beasiswa, hingga potensi kenaikan biaya pendidikan (Uang Kuliah Tunggal).
Efisiensi mengubur harapan Sidra balik ke Indonesia. Padahal ia bercita-cita menjadi dosen ASN atau peneliti bila kelak kembali ke Indonesia. Profesi yang sesuai passion-nya. Sebab selama di dunia kampus, sebelum ke Australia, Sidra bergelut di dunia jurnalistik, riset, dan kepenulisan.
“Dulu kupikir jadi ASN paling enak,” kata Sidra.
Presiden Prabowo Subianto meninjau program Makan Bergizi Gratis di Pulo Gadung, Jakarta Timur, Senin (3/2/2025). Foto: BPMI Setpres
Tapi setelah ada kebijakan efisiensi, pandangannya terhadap ASN buyar. Ia melihat ASN tak seaman yang dibayangkan. Profesi ASN -khususnya honorer- nyatanya terkena dampak efisiensi.
Begitu pula status dosen yang ia idamkan nasibnya juga memprihatinkan. Terlebih setelah Sidra membaca berbagai berita para dosen selama bertahun-tahun memperjuangkan tunjangan kinerja yang hingga kini belum dibayar negara.
Sementara jika berkarier di bidang riset, Sidra juga gamang. Bidang ini tak kalah menyedihkan. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) jadi salah satu yang terdampak pemotongan anggaran Rp 1,4 triliun atau sekitar 25% dari total pagu anggaran Rp 5,8 triliun.
“Padahal aku pengen, dulunya, jadi dosen atau peneliti di lembaga negara atau semacamnya. Tapi dampak efisiensi ke sektor ini tuh gila banget. Tukin dosen misalnya enggak turun-turun,” tutur Sidra.
Kekhawatiran lain Sidra mengenai dampak efisiensi adalah menurunnya pelayanan dan fasilitas publik. Faktor itu yang membuat Sidra betah di Australia dan baginya sulit didapati di Indonesia. Mulai dari transportasi umum hingga fasilitas-fasilitas publik yang menunjang kehidupan sehari-hari.
Sidratul Muntaha, WNI yang tinggal dan bekerja di Australia. Foto: Dok. Pribadi
Bayangan terburuk Sidra, kebijakan pemerintah yang mengorbankan masyarakat kelas menengah ke bawah seperti efisiensi bakal terus berlanjut. Alhasil, Sidra yang saat ini berusia 25 tahun berpikir untuk tak kembali ke Indonesia. Ia membuang cita-citanya menjadi dosen atau peneliti.
Pekerjaan Sidra di Australia kini memang tak sesuai passion-nya. Ia bekerja sebagai buruh di Sydney dan sempat jadi pemotong daging di pedalaman Australia. Namun upah yang diterima baginya sangat layak dan bisa menerapkan work life balance.
Ia bekerja 5 hari dalam sepekan. Dari pekerjaannya itu Sidra bisa memenuhi kebutuhan hidup, menabung, dan berlibur ke tempat bagus dengan transportasi publik yang baik. Sebuah jaminan kesejahteraan yang menurutnya sulit diperoleh di Indonesia.
“Kalau lagi bosan jalan dan pengen nabung lebih, ya, tinggal tambah jam kerja aja,” ucapnya.
Sebelum pindah ke Australia, Sidra pernah bekerja sebagai jurnalis lepas. Gajinya, kata dia, hanya cukup menyambung hidup dari bulan ke bulan.
“Kerja di Indonesia buatku bikin nggak bisa punya rencana soal masa depan. Misal punya rumah, pendidikan atau apalah,” timpal pemuda asal Makassar itu.
Sari (28), pemudi yang akan ke luar negeri untuk mencari kerja. Foto: Dok. Pribadi
Persoalan gaji dan kebijakan pemerintah yang mengkhawatirkan juga menjadi alasan Sari (28), warga Bekasi, Jawa Barat, berencana ‘kabur’ ke Australia. Sari yang sudah bekerja 3 tahun lebih di agensi periklanan merasa kariernya stagnan. Gaji seuprit, tapi beban kerja 24 jam melekat.
“Kualitas hidup di sana [Australia] tuh kayak lebih enak gitu. Misalnya lo bayar pajak tapi lo bisa manfaatin semua fasilitasnya sesuai sama pajak yang lo bayar,” cerita Sari kepada kumparan, Jumat (14/2).
Sari sudah mendapatkan visa pekerja. Ia baru akan pindah setelah Ramadan. Niatnya hijrah berpindah benua semakin mantap saat tagar KaburAjaDulu jadi perbincangan di media sosial. Kondisi negara dengan segala kebijakan yang dianggapnya tak berpihak pada kelas menengah, termasuk dirinya, menjadi salah satu alasan pindah.
“Setelah Pemilu [2024] itu kan… apa ya... dapat pemerintahan yang ‘kok gini banget sih?’, Kayaknya mending gue nggak di sini gitu. Banyak kebijakan-kebijakan tuh yang nggak ngedukung orang-orang (kelas) menengah,” ungkap Sari.
Presiden Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden ke-7 RI Jokowi di kediamannya, Jalan Kertanegara, Jaksel, Jumat (6/12/2024). Foto: Instagram/ @prabowo
Sari tidak mengikuti secara saksama isu politik pengambilan kebijakan. Tapi ia merasa, sebagaimana yang ia baca di media massa, kebijakan pemerintah lebih sering mengorbankan masyarakat kecil.
“Lebih menguntungkan buat kalangan-kalangan atasnya,” keluh Sari.
Sari yang sebelumnya sebagai desainer dan konten kreator bergaji UMP Jakarta berharap hidup lebih layak di Australia. Ia ingin bisa menabung dan membeli rumah. Jika mengandalkan upah Jakarta, Sari merasa tidak akan punya rumah sampai mati.
Bagi Sari, upah di Indonesia hanya seharga ‘ponsel kentang’, sementara biaya hidup senilai iPhone. Gaji tidak sesuai dengan beban dan biaya hidup masyarakat. Sari akhirnya memutuskan kabur dari Indonesia. Mencari penghidupan yang lebih baik di negeri orang.
Calon penumpang pesawat memindai paspor dan pengenalan wajah di pintu otomatis (autogate) sebelum memasuki area pesawat di Terminal 2 Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (26/1/2023). Foto: Fauzan/ANTARA FOTO

KaburAjaDulu: Bentuk Frustasi Publik

Beberapa hari terakhir tagar KaburAjaDulu bergema di sosial media. Tagar tersebut mengajak warga kabur dari Indonesia, mencari kehidupan lebih baik di luar negeri.
Tagar itu tempat warga berbagai tips mencari kerja atau pendidikan di luar negeri. Beberapa juga berisi cerita WNI yang sukses di negara orang. #KaburAjaDulu mencuat bersamaan dengan ramai-ramai berita dampak efisiensi anggaran.
Founder Drone Emprit — lembaga pemerhati media sosial, terutama X — Ismail Fahmi mengatakan, tagar KaburAjaDulu muncul lagi pertama kali pada 8 Januari 2025. Walau sebenarnya tagar ini ada sejak September 2023 dan ramai lagi di awal 2025 dengan mencapai 80 akun X yang meramaikan.
Ribuan akun X yang terlibat itu dibuat rentang tahun 2008 - 2025. Sehingga Ismail menyimpulkan tagar itu muncul secara natural, yang bermula dari keresahan warganet. Rentang usia pemilik akun yang meramaikan tagar tersebut antara 19-29 tahun.
Para pencari kerja mengantre menunggu masuk ke dalam acara Jakarta Job Fair di Thamrin City, Jakarta, Selasa (28/5/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Berdasarkan temuan Ismail, tagar KaburAjaDulu disebut muncul sebagai reaksi frustasi atas situasi di Indonesia yang dirasakan sebagian netizen. Mereka mencari informasi lowongan kerja, tip persiapan berangkat, risiko yang harus dipertimbangkan, dan perbandingan tinggal di Indonesia vs luar negeri.
“Frustrasi netizen terhadap keadaan di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpuasan ekonomi, kualitas hidup yang menurun, ketidakadilan sosial, kebijakan pemerintah yang tidak memadai, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik,” ungkap Ismail pada kesimpulan pemantauan tagar tersebut, dikutip dari akun X Ismail Fahmi, Sabtu (15/2).
Derajad Sulistyo Widhyharto juga melihat hal serupa. Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menilai gaung KaburAjaDulu yang beberapa disertai narasi keluhan ‘menyesal lahir jadi WNI’ adalah akumulasi kekecewaan publik terhadap kondisi pemerintahan.
Kekecewaan warga bukan hanya pada dampak efisiensi anggaran, tapi secara keseluruhan. Mulai dari gemuknya struktur kementerian dan jabatan, privilege influencer jadi pejabat negara, hingga persoalan ketersediaan lapangan kerja maupun kesejahteraan. Pergantian kepemimpinan nasional juga dirasa tidak membawa perubahan signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.
“Ini kekecewaan yang menumpuk karena memang betapa sakit-tulinya pemerintah ini masih tetap berlangsung,” kata Drajad pada kumparan, Jumat (14/2).
Warga membawa gas elpiji 3 kg yang dibeli saat operasi pasar di kawasan Tuban, Badung, Bali, Rabu (5/2/2025). Foto: Fikri Yusuf/ANTARA FOTO
Drajad juga menilai fenomena KaburAjaDulu sebagai sindiran dari masyarakat untuk memperingatkan pemerintah bahwa: “Hei, keadaan masyarakat itu enggak baik-baik saja, lho”.
“Sebenarnya itu. Cuma pemerintah ngeh enggak? Pemerintah sensitif enggak?” timpal Drajad.
Ia memandang tagar atau gerakan serupa akan muncul lagi pada momentum kekecewaan berikutnya dan bisa meledak kapan saja.
Di sisi lain, tagar ajakan kabur dan mencari hidup layak di luar negeri adalah konsekuensi keterbukaan informasi. Semua orang bisa mengakses cara hidup, tip mencari kerja di negara lain, dan sebagainya. Ini sekaligus berpotensi merugikan Indonesia karena generasi terbaiknya, pemuda-pemuda bertalenta, akan lebih banyak memilih berkarya untuk negara lain.
Masyarakat dan diaspora Indonesia berziarah ke makam para pejuang kemerdekaan Indonesia di kompleks pemakaman tawanan perang di Cowra, Australia. Foto: Edward Yd
Potensi kerugian tersebut juga diungkapkan dalam jurnal Fivien Muslihatinningsih, dkk dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember, yang berjudul: Brain Drain Indonesia dan Dampaknya Bagi Indonesia (2022).
“Jika brain drain terus terjadi, akan berdampak buruk bagi Indonesia. Indonesia akan kekurangan tenaga kerja berpendidikan tinggi, berketrampilan atau berkeahlian, sehingga Indonesia akan tertinggal jauh dengan negara lain baik dari segi ekonomi, sosial dan pengetahuan,” isi kesimpulan jurnal tersebut.
Ironisnya, mereka yang menyerukan tagar KaburAjaDulu dianggap tak nasionalis. Video Bahlil Lahadalia saat masih menjabat Menteri Investasi pada Juli 2023 mencuat lagi. Bahlil meragukan nasionalisme warga Indonesia yang berpindah ke luar negeri. Pernyataan Bahlil di video itu menanggapi fenomena hampir 4 ribu WNI pindah jadi warga negara Singapura dalam kurun 2019-2022.
Imigrasi Bandara Changi Singapura. Foto: Tang Yan Song/Shutterstock
Drajad menegaskan, fenomena WNI mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri tidak ada kaitannya dengan nasionalisme. Justru fenomena itu sebagai tanda bahwa pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja dan menjamin kesejahteraan warganya.
“Kita konyol masih meributkan tentang nasionalisme. Orang menyarakan kaburajadulu sebenarnya ingin memperingatkan, ada warning. Tapi kan [pemerintah] bebal sekali,” ucap Drajad.
Pemerintah seakan bergeming terhadap suara masyarakat. Efisiensi justru berpotensi menambah jumlah pengangguran, tapi secara bersamaan berbagai kementerian menambah jabatan-jabatan stafsus. Sebuah kontradiksi penghematan anggaran.
“Pemerintah sudah tahu kalau ada banyak masalah merekrut influencer [jadi pejabat negara]. Walau alasannya tidak mengambil gaji, tapi dia dapat privilege. Itu yang membuat iri. Bukan gajinya, tapi privilege-nya, tunjangannya, hak-hak istimewa yang melekat di dalam staf khusus itu yang istimewa. Yang membuat kesenjangan antar masyarakat semakin tinggi,” kritik Drajad.
Sejumlah guru honorer membawa poster saat mengikuti aksi damai di depan kantor Gubernur Banten, Kota Serang, Banten, Jumat (31/1/2025). Foto: Angga Budhiyanto/ANTARA FOTO

Efek Efisiensi terhadap Perputaran Ekonomi

Sebulan belakang, Ardi dan beberapa kawannya menjalani hari-hari dengan penuh ketidakpastian sebagai tenaga honorer di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Sedari akhir Januari kabar buruk berwajah ancaman PHK mengintai, siap menerjang usai lembaga tersebut menjadi salah satu K/L terdampak efisiensi anggaran. Ardi menghadapi ketidakpastian. Sementara dapur keluarganya harus tetap ngebul.
“Kalau di keluarga nggak ada penghasilan sama sekali, jadinya ya agak khawatir. Terus sama kebijakannya juga masih simpang siur juga,” kata Ardi. Kepada kumparan ia meminta namanya disamarkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebenarnya sudah menegaskan, tak ada PHK terhadap honorer dari kebijakan pemotongan anggaran. Tapi kekhawatiran Ardiansyah dan sejumlah pekerja kontrak yang terancam terdampak tetap ada.
Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengatakan efisiensi memang bisa berdampak terhadap kehilangan pekerjaan dan pendapatan sektor terkait.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono meninjau pembangunan ruas Tol Solo-Yogyakarta. Foto: Dok: PUPR
Tauhid mencontohkan, berdasarkan angka efisiensi, salah satu yang dipangkas paling besar adalah Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sebanyak Rp 60 triliun. Artinya, pihak-pihak yang bekerja pada proyek pekerjaan umum berpotensi terdampak pengurangan tenaga kerja.
Termasuk hotel, restoran, dan sektor wisata yang bakal berkurang pendapatannya. Padahal sektor-sektor itu biasanya memperoleh penghasilan dari kunjungan dan acara seremonial kementerian/lembaga. Ke depan, sektor ini dinilai akan terdampak karena perintah Presiden Prabowo adalah mengurangi perjalanan dinas dan rapat-rapat seremonial.
“Saya kira ini yang memang dimaklumi pasti akan terjadi pengurangan atau PHK pada para pekerja tersebut,” jelas Tauhid.
Meski demikian, kata Tauhid, dampaknya tidak akan tidak signifikan. Terutama bagi hotel dan restoran. Sebab, persentase belanja pemerintah pada sektor perjalanan dinas diprediksi di bawah 50 persen.
Konsolidasi TKD Prabowo - Gibran Provinsi Jawa Barat di The House Convention Hall, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (25/11/2023). Foto: Dok. Istimewa
Tauhid berpandangan efek domino pemotongan anggaran di sejumlah kementerian/lembaga tak akan secara ekstrem mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan belanja masyarakat. Memang akan ada sektor yang redup, tapi sektor baru akan tumbuh.
Sektor baru yang dimaksud Tauhid adalah yang berkaitan dengan program prioritas Prabowo, di antaranya MBG. Makan bergizi gratis akan membuka lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi baru.
“Yang terdampak sektor hotel, restoran, akomodasi, makan dan minum. Artinya [efisiensi] ini mengubah yang tadinya sektor tertentu hotel, makan, restoran tumbuh, [sekarang] program-program prioritas lain itu berkembang, misalnya MBG. Lain halnya jika Rp 300 triliun [target efisiensi] hilang sama sekali untuk misalnya bayar utang dsb,” terang Tauhid.
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Wamenkeu Thomas Djiwandono bertemu dengan Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Senin (9/9/2024). Foto: Isntagram/ @smindrawati
Sementara Media Wahyudi Askar, ekonom & Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), punya pendapat berbeda. Ia melihat efisiensi tak dilakukan dengan perhitungan yang matang sehingga menimbulkan kekacauan.
Sehingga sempat muncul beberapa lembaga yang mengeluh hanya bisa membayar pegawai sampai pertengahan tahun. PHK massal juga mengintai pekerja kontrak dan tenaga honorer di sejumlah kementerian/lembaga.
Askar mengatakan harusnya pemotongan dilakukan secara bertahap. Sebab, lanjut dia, pemerintah belum bisa menerangkan secara detail target efisiensi Rp 300 triliun dipakai untuk apa saja.
“Rasionalitas setiap anggaran yang dipangkas sepertinya tidak melewati proses teknokratik yang matang. Tidak dipikir masak-masak. Kenapa anggaran ini yang dipotong? apa implikasi dan dampaknya? ini tidak dipikirkan dengan baik. Sehingga sudah muncul angkanya dan itu dipaksakan untuk dicari pengurangannya di setiap kementerian dan lembaga. Sehingga terjadi kehebohan,” kata Askar.
Yang turut disorot Askar adalah cara pemerintah memotong anggaran mengancam pelayanan publik. Sedangkan di sisi lain struktur kementerian begitu jumbo dan pelantikan stafsus yang terus berjalan.
Menhan Sjafrie melantik sejumlah stafsus hingga asisten khsusus di Kemhan, Jakpus, Selasa (11/2/2025). Foto: Dok. Kemhan RI
Askar membandingkan penghematan anggaran di Indonesia dengan Vietnam, AS, maun Argentina. Di negara-negara itu efisiensi dilakukan dengan memangkas lembaga atau kementerian.
“Memang hari ini [efisiensinya] agak konyol. Narasi pemerintah [efisiensi] untuk ATK, perjalanan dinas, tapi yang justru dikurangi adalah layanan publik yang cukup strategis. Kemudian pada saat bersamaan kabinet kita gemuk, ada stafsus yang dilantik saat kehebohan terjadi dan ini pemborosan anggaran yang sangat besar sekali,” jelasnya.
Secara niat, Askar mengapresiasi langkah Prabowo yang ingin menghemat anggaran. Sayang eksekusi oleh para pembantunya amburadul. Atas dalih efisiensi anggaran demi menggratiskan makan bagi anak sekolah, para orang tuanya bisa kehilangan pekerjaan.
“Pemerintah pasti berdalih bahwa [efisiensi] ini adalah reformasi dan [menuding] yang bereaksi adalah mereka yang dirugikan. Tapi hati-hati dengan pernyataan ini, karena yang berteriak dan yang dirugikan adalah masyarakat rentan, bukan orang yang mendapatkan manfaat miliaran rupiah dari proyek pemerintah,” tegas Askar.
Ilustrasi depresi. Foto: amenic181/Shutterstock
Belakangan setelah santer berita potensi PHK, Sri Mulyani muncul dan berjanji hal buruk itu tak akan terjadi kepada honorer.
“Terkait berita mengenai pemutusan hubungan kerja atau PHK honorer di lingkungan kementerian dan lembaga, dengan ini disampaikan bahwa tidak ada PHK tenaga honorer di lingkungan kementerian dan lembaga,” ungkap Sri Mulyani di kompleks DPR RI, Jumat (14/2).
Pernyataan itu memberi harapan baru bagi Ardi dan para tenaga honorer lainnya untuk menatap masa depan. Walau sebagian rekannya sudah mulai kehilangan asa.
“Banyak yang sudah mulai stres,” tutup Ardi.
Ilustrasi imigrasi di Bandara Internasional Kuala Lumpur (KLIA), Malaysia. Foto: Sorbis/Shutterstock