Jejak Cak Tarno dan Kios Bukunya di UI

21 Maret 2019 12:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Matahari mulai menghampiri sore kala kumparan berkunjung ke kios buku berukuran 3x5 meter milik Sutarno--akrab disapa Cak Tarno. Di kalangan akademisi Universitas Indonesia (UI), khususnya di Fakultas Ilmu Pengetahun Budaya (FIB), Kios Buku Cak Tarno memang sangat familiar.
Sambil mengisap sebatang rokok, Cak Tarno mulai bercerita ihwal jejak langkahnya merintis usaha idealisnya tersebut. Menurutnya, momen pertama kali ia berjualan buku dimulai pada tahun 1997. Kala itu, Cak Tarno diajak seorang temannya merantau ke Jakarta dan berjualan buku di daerah Kwitang, Senen, Jakarta Pusat.
Cak Tarno, pemilik kios buku di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
“Saya dari Mojokerto dan cuma lulusan SMP, sempat jadi buruh tani dan kuli bangunan di sana. Lalu diajak teman jualan buku ke jakarta jualan buku. Waktu itu di Kwitang tahun 1997,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, Cak Tarno menaruh nasibnya di Jakarta dengan berjualan buku. Setahun berlalu, ia kemudian pindah ke dekat Stasiun UI, Depok. Di sana Cak Tarno sempat mengalami penggusuran. “Saya sempat pindah-pindah berjualan di emperan dekat stasiun UI dari 2002-2008 hingga lahan yang saya tempati dibeli pengembang,” lanjutnya.
Lalu, berkat bantuan salah seorang rekannya, ia menempati kios yang berada di Gang Sawo samping Stasiun UI di dekat Jalan Margonda, Depok. Lambat laun, kiosnya tak hanya dikenal sebagai toko buku, namun juga menjadi tempat berdiskusi mulai dari mahasiswa hingga akademisi. Ia pun merasa dunia literasi yang ia geluti itu juga bisa mendatangkan silaturahmi.
Ia mengaku, awalnya hanya menjual buku-buku bajakan yang bertema ekonomi dan politik. Namun, lambat laun buku yang dijualnya sedikit diminati karena dirasa sudah terlalu banyak referensi bacaan dengan tema tersebut. Di sinilah, Bapak dua anak itu mulai melirik buku-buku bertema humaniora.
ADVERTISEMENT
“Saya kenal pak Goris Ginggut, ia punya distributor kecil buku-buku idealis yang bertema humaniora. Dari situ saya banyak menjual dan membaca buku-buku seperti itu. Dan alhamdulillah bisa membuat saya bertahan karena banyak dicari akademisi,” tandasnya.
Meski begitu, awalnya Cak Tarno mengaku bingung dengan pembahasan buku-buku bertema filsafat. Namun, wataknya yang supel membuatnya banyak bertukar pikiran dengan akademisi. Dari situ ia akhirnya pindah ke area Kantin Sastra FIB UI pada tahun 2015.
Literasi berbuah Silaturahmi
Di kios berukuran 3x4 meter, Cak Tarno mengadu nasib di dunia literasi hingga membuka banyak relasi dengan tokoh-tokoh akademisi di Universitas Indonesia. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Menjadi pedagang buku bukanlah profesi yang besar bagi Cak Tarno. Saat ditanya mengapa memilih buku untuk mengadu nasib di Jakarta, ia mengaku awalnya hanya berusaha untuk bertahan hidup. “Saya merasa sudah berusaha untuk bertahan hidup, jadi petani hingga kuli bangunan pernah saya rasakan,” jawabnya.
ADVERTISEMENT
Ia mengaku omset yang ia dapat dari berjualan buku hanya cukup untuk bertahan hidup. Namun, dari berjualan buku ia merasa bisa menambah relasi dan menjadi ajang silaturahmi dengan tokoh-tokoh akademisi. “Dulu sering mampir ke rumahnya dosen dan tokoh-tokoh, ada yang mesen buku, ada juga yang sekadar berdiskusi. Kalo menjiwai sih tidak, tapi bisa menambah relasi sosial dan derajat saya,” imbuhnya bersemangat.
Menurutnya, sekarang banyak orang yang sudah memilih buku digital atau melihat informasi dari internet. Namun, ia juga tak memungkiri banyak yang mendukungnya agar bertahan di kios FIB UI. “Karena orang-orang yang ngumpul di sini, yang lagi kesulitan nulis tesis, disertasi, dan skripsi bisa bertemu di sini, malah membuat forum diskusi,” jelasnya.
Selain berjualan buku, Cak Tarno juga membuka forum diskusi 'Cak Tarno Institute' bagi akademisi di FIB UI setiap hari Sabtu, pukul 14.00 WIB sampai selesai. Foto: Dok: Cak Tarno
Selain menjual buku, Cak Tarno memang membuka forum diskusi di kiosnya yang ia namakan Cak Tarno Institute (CTI). Sejak tahun 2005, CTI menjadi wadah bagi siapapun untuk bertukar pikiran dengan topik yang sudah ditentukan.
ADVERTISEMENT
Syarat, siapapun pembicaranya harus membawa makalah ilmiah. Sehingga dasar pemikiran dan pembicaraan pembicara dapat dipertanggungjawabkan. Sederet tokoh seperti, Bagus Takwim, Daniel Hutagalung, Robertus Robet, Damhuri Muhammad, Geger Riyanto, hingga Rocky Gerung, pernah mempresentasikan karyanya di CTI.
Cak Tarno mengatakan menjadi penjual buku ia ibaratkan seperti falsafah “ilmu kantong bolong” yang digaungkan Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak Raden Ajeng Kartini. “Jangan jadi penjual buku kalo yang diharapkan hanya uang. Kita tidak merasa kekurangan, karena memang berbagi pengetahuan,” katanya.
Cak Tarno dan buku-bukunya. Menurutnya, menjadi penjual buku lebih dari sekadar berbisnis, ia ingin mengabdi untuk ilmu pengetahuan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Saat disinggung mengenai isu sewa kiosnya di FIB UI naik, Cak Tarno mengatakan bahwa polemik tersebut sudah selesai. “Iya betul, tadinya naik dari Rp 9 juta jadi Rp 17 juta per tahun. Saya sederhana saja, saya sadar tidak sanggup membayar sewanya. Tapi sudah ada negosiasi dan clear," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Ia memastikan tidak akan menutup kios miliknya yang berada di FIB UI. Untuk menutupi biaya sewa yang naik, ia diperbolehkan oleh pihak fakultas untuk menjajakan barang dagang yang lain selain tetap berjualan buku seperti, membuka kedai kopi kecil di kiosnya.
“Perjanjian di awal hanya boleh menjual buku di FIB UI, tapi dengan kondisi saat ini di mana penjualan buku tidak seperti dulu lagi, enggak mungkin bisa menutup biaya sewa yang sudah ditetapkan oleh UI. Akhirnya saya boleh nambah jualan yang lain, rencananya kedai kopi untuk tambahan untuk biaya sewa.” tutupnya.