Jerat Kriminal Jual Beli Ginjal

9 Agustus 2018 11:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang siswa ikuti lomba menggambar poster sebagai bagian dari kegiatan untuk menandai Hari Ginjal Sedunia di sebuah rumah sakit. (Foto: AFP PHOTO/Jay Directo)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang siswa ikuti lomba menggambar poster sebagai bagian dari kegiatan untuk menandai Hari Ginjal Sedunia di sebuah rumah sakit. (Foto: AFP PHOTO/Jay Directo)
ADVERTISEMENT
Dari sebuah piring, sendok demi sendok makanan akan melalui proses panjang ketika masuk mulut manusia. Dicerna dalam lambung dan usus serta disaring dalam ginjal. Racun-racun yang tak baik bagi tubuh akan dipisahkan oleh ginjal. Di sinilah peran vital ginjal. Tanpanya mustahil manusia dapat bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Ngomong-ngomong soal ginjal, tak selamanya kondisinya baik-baik saja. Bisa jadi, seseorang mengalami gagal ginjal sehingga butuh bantuan donor. Tak sedikit juga mereka yang terhimpit ekonomi memanfaatkan kondisi tersebut untuk menjual ginjalnya. Harganya bisa sampai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Meski bisnis jual beli ginjal menggiurkan, tetapi bisnis ini jelas-jelas dilarang di Indonesia, para pelakunya juga bisa dijerat pidana.
“Itu kriminal, karena di dalam Undang-undang kita sudah disebut. Tidak ada jual beli dalam dalih apa pun, tidak boleh dikomersialkan,” kata Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Barlian, kepada kumparan Jumat (3/6).
Barlian, Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan (Foto:  Fauzan Dwi Anangga/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Barlian, Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan (Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan)
Menurut Barlian, larangan tersebut termaktub dalam UU 36 tentang Kesehatan tahun 2009 Pasal 64 ayat 3. Bunyinya, “Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apa pun”. Pasal tersebut diperkuat dengan pasal 192 yang mengatur tentang ancaman pidana.
ADVERTISEMENT
Setiap orang, setiap orang artinya siapa saja yang dengan sengaja memperjualbelikan anggota tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 miliar-- bunyi pasal 192.
Mengacu pada UU tersebut, menurut Barlian jual beli ginjal adalah tindak pidana berat. Bagi siapa pun yang mengetahui praktik tersebut diharapkan untuk melapor kepada polisi. Untuk pengawasannya, Kemenkes saat ini telah bersinergi dengan masyarakat, pemerintah daerah,dan jajaran pemerintah lainnya untuk mengawasi.
“Tapi kalau ada laporan masyarakat masyarakat ya bisa melapor ke Kementerian Kesehatan. Masyarakat bisa juga langsung melapor ke polisi, enggak masalah karena ini tindak pidana gitu,” ucap Barlian.
ADVERTISEMENT
Mendonor ginjal lewat Komite Transplantasi
Tumbuhnya bisnis jual beli ginjal di Indonesia bukan isapan jempol belaka. Bisnis itu hadir di tengah kebutuhan sebagian orang akan donor ginjal.
Tapi, satu hal yang perlu diingat, itu bukanlah jalan yang legal. Ada jalan lain yang telah dibangun oleh pemerintah. Jalan ini sah, dan siapa pun bisa menempuhnya demi mendapat bantuan ginjal.
Tahun 2017, selang setahun setelah Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 disahkan, Kemenkes membentuk Komite Transplantasi Nasional. Komite ini mewadahi siapa pun yang ingin mendapat atau mendonor organ seperti ginjal. Para anggota Komite akan mengatur proses transplantasi, dari mulai rumah sakit, dokter, hingga pendonor ginjal.
“Jadi kalau yang legal pasti lewat Komite, mau keluarga mau bukan keluarga pasti lewat Komite. Jadi kalau masyarakat itu lewat komite pasti aman,” ucap Barlian.
ADVERTISEMENT
Menurut Barlian, mayoritas masyarakat yang melakukan transplantasi melalui Komite hampir dipastikan berhasil. Ragam prosedur telah dilalui sehingga sukar untuk diterpa gagal.
“Sehingga pasti 90 persen diterima kan ini kan ada yang menolak, secara medis itu kalau dia enggak cocok kan menolak kalau secara medis itu. Jadi sudah ada proses itu, jangan sampai tidak cocok setelah di ujung. Jadi jarang yang gagal,” terang Barlian.
Barlian, Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan (Foto:  Fauzan Dwi Anangga/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Barlian, Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan (Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan)
Meski sistem telah dibangun, nyatanya praktik jual beli ginjal di luar itu masih ada. Dengan fakta ini, masyarakat adalah pihak yang menjadi ujung tombak dalam pengawasannya.
“Kita kan enggak mungkin mengawasi orang di luar sistem. Tetapi kalau yang masuk sistem, itulah yang kita awasi,” sebut Barlian.
ADVERTISEMENT
Lantas siapa yang diawasi? Siapa yang terjerat pidana komersialisasi ginjal?
“Jadi siapa pun yang terlibat, dokternya, yang menerimanya yang menjualnya itu kena semua, kalau itu ilegal ya tadi,” tegas Barlian.
Pola hidup konsumtif hidupkan jual beli ginjal
Dalam UU Kesehatan Nomor 36 perdagangan organ tubuh sudah jelas tidak diperkenankan, apa pun dalihnya. Namun bukan berarti perpindahan organ dari satu orang ke orang lainnya turut dilarang. Menurut Kriminolog Universitas Indonesia, Ferdinand T Andi Lolo, asal tidak melibatkan sejumlah uang atau dikomersilkan, perpindahan itu legal.
“Tapi kalau kemudian si A tetangga dengan si B kemudian atas dasar sukarela ya enggak apa-apa. Itu kan berarti bukan perdagangan. Misalnya kalau ada menurun kesehatannya si B. Kemudian si A sebagai resipien membantu. Tidak ada masalah. Di situ harus ada pembuktian bahwa di situ betul-betul tidak ada perdagangan,” urai Ferdinand kepada kumparan, Senin (6/8).
ADVERTISEMENT
Ferdinand menambahkan, kebutuhan akan donor ginjal di Indonesia setiap tahunnya meningkat. Salah satu masalah yang mendasari hal tersebut adalah pola hidup konsumtif masyarakat sekarang.
“Mungkin karena gaya hidup gaya hidup orang Indonesia tingkat ekonominya juga semakin baik mereka makin konsumtif kemudian meningkat penderita gagal ginjal. Ketika itu meningkat sementara ada memang Komite Transplantasi tetapi kan itu jumlahnya tidak memadai,” terang Ferdinand.
Lebih-lebih, bila melalui Komite Transplantasi masyarakat akan dihadapkan dengan birokrasi yang panjang. Dengan hal itu, bagi Ferdinand itu akan membuat masyarakat putus asa dan mencari jalan yang lebih cepat, jalan yang tak memerlukan waktu tunggu terlalu panjang.
Oleh sebab itu, akan sangat wajar bila masyarakat kemudian lari ke pasar gelap, suatu jalan yang ilegal.
ADVERTISEMENT
“Cuma perkembangan jumlah penderita gagal ginjal yang memerlukan donor itu jauh lebih cepat daripada persediaan sarana legal dan medis yang ada. Akhirnya mereka putus asa dan melarikan diri ke pasar gelap atau kalau banyak uang ke luar negeri, ke China,” urai Ferdinand.
Nyatanya praktik jual beli ginjal tidak hanya tumbuh di Indonesia, tapi juga di negara-negara berkembang lainnya, seperti Bangladesh, Filipina, dan negara-negara Amerika Selatan.
Meski begitu, lepas dari tetap lestarinya bisnis jual beli ginjal, menurut Ferdinand pemerintah dalam hal ini Kemenkes patut diapresiasi.
“Artinya kita perlu mengapresiasi karena Permenkes Nomor 38 2016 sudah ada. Paling tidak ada upaya untuk itu,” tutup Ferdinand.