Joe Biden Pantau Protes Besar di China

29 November 2022 12:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden AS Joe Biden berbicara terkait penumpukan militer Rusia di perbatasan Ukraina, dari Gedung Putih di Washington, AS, Jumat (18/2/2022). Foto: Kevin Lamarque/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Presiden AS Joe Biden berbicara terkait penumpukan militer Rusia di perbatasan Ukraina, dari Gedung Putih di Washington, AS, Jumat (18/2/2022). Foto: Kevin Lamarque/REUTERS
ADVERTISEMENT
Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, mengaku memantau unjuk rasa yang menuntut akhir dari lockdown COVID-19 di China. Aksi solidaritas serupa turut muncul di Washington pada Senin (28/11).
ADVERTISEMENT
Tes corona massal, lockdown lokal, dan pembatasan perjalanan selama berbulan-bulan telah memicu ketidakpuasan di China. Selama akhir pekan lalu, ratusan orang lantas berhamburan ke jalanan di kota-kota besar di seluruh negara tersebut.
"Dia [Biden] memantau ini. Kami semua," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, John Kirby, dikutip dari AFP, Selasa (29/11).
Kirby tidak mengungkap reaksi Biden terhadap tuntutan pengunjuk rasa. Selain memprotes kebijakan ketat terkait corona, mereka turut menyerukan kebebasan politik yang lebih besar. Kendati demikian, Kirby menekankan dukungan AS untuk hak-hak para demonstran.
"Presiden tidak akan berbicara untuk pengunjuk rasa di seluruh dunia. Mereka berbicara untuk diri mereka sendiri," jelas Kirby.
"Orang-orang harus diberi hak untuk secara damai berkumpul dan memprotes kebijakan atau undang-undang atau perintah yang mereka permasalahkan," tambah dia.
Sejumlah demonstran memegang kertas putih saat menggelar unjuk rasa pembatasan COVID-19 di Beijing, China. Foto: Thomas Peter/REUTERS
Kementerian Luar Negeri AS menyatakan Washington menganggap kebijakan nol-COVID di China berlebihan pada Senin (28/11).
ADVERTISEMENT
Curahan frustrasi publik yang jarang terjadi ini turut menyebar ke komunitas internasional berbahasa Mandarin. Mereka berkumpul untuk memperingati nyawa yang hilang, terutama dalam peristiwa kebakaran mematikan di Kota Urumqi di Xinjiang pada Kamis (24/11).
Warga menduga, kebijakan pengendalian corona menghambat upaya penyelamatan dalam insiden tersebut. Dalam upacara peringatan, sekitar seratus orang berkumpul di Washington.
Kerumunan itu—banyak di antaranya adalah pelajar asal China—menyerukan kebebasan dan meratapi sepuluh nyawa yang tewas saat api melalap sebuah bangunan apartemen di Urumqi.
Para pengunjuk rasa memegang lembaran kertas putih yang melambangkan penyensoran oleh otoritas China.
Mereka meneriakkan slogan-slogan seperti 'Kebebasan berbicara! Kebebasan berkumpul! Hancurkan firewall!'
"[Pejabat] meminjam dalih Covid, tetapi menggunakan lockdown yang sangat ketat untuk mengontrol populasi China. Mereka mengabaikan nyawa manusia," ujar seorang mahasiswa China bermarga Chen.
ADVERTISEMENT
"Saya datang ke sini untuk berduka," lanjut pelajar berusia 21 tahun itu.
Sejumlah demonstran memegang kertas putih saat menggelar unjuk rasa pembatasan COVID-19 di Beijing, China. Foto: Thomas Peter/REUTERS
Anggota komunitas etnis Uighur dari China juga hadir dalam protes di AS. Mereka mengungkapkan amarah atas jatuhnya korban.
"Api yang menyebabkan kematian menyadarkan kami," tutur seorang aktivis dan akademisi, Tahir Imin.
Kerumunan dapat terlihat pula di pantai barat AS. Membawa lilin dan bunga, lebih dari seratus orang berkumpul di luar Konsulat Jenderal China di Los Angeles pada Minggu (27/11) malam waktu setempat.
"Suasana sebagian besar dipenuhi dengan kemarahan, kesedihan dan sedikit frustrasi, dalam solidaritas dengan pengunjuk rasa di China daratan," jelas mahasiswa pascasarjana berusia 25 tahun, Michael Luo.
Puluhan anggota komunitas Uighur juga berkumpul di luar Kementerian Luar Negeri AS pada Senin (28/11).
ADVERTISEMENT
Mereka meminta AS dan negara demokrasi lainnya untuk menjatuhkan tekanan lebih lanjut terhadap China.
"Kami berharap komunitas internasional mendukung pengunjuk rasa ini dalam menuntut pertanggungjawaban dari pemerintah China," terang seorang Uighur-Amerika, Salih Hudayar.