John Kerry Khawatirkan Lonjakan Permintaan Batu Bara Termal ke Indonesia

13 April 2022 20:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bongkar muat batu bara di area pengumpulan Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (4/1/2022). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
zoom-in-whitePerbesar
Bongkar muat batu bara di area pengumpulan Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (4/1/2022). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
ADVERTISEMENT
Utusan Khusus Presiden Amerika Serikat untuk Iklim John Kerry khawatir dengan kemungkinan naiknya permintaan batu bara termal Indonesia akibat perang yang sedang terjadi di Ukraina.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran ini disampaikannya eks Menlu AS itu saat Konferensi Kelautan dan Hasil Kami, yakni sebuah konferensi yang berkomitmen untuk melindungi laut di seluruh dunia, pada Rabu (13/4).
Pada pertemuan kali ini, Kerry menyatakan keberlanjutan dan nasib laut sangat bergantung kepada kondisi iklim. Oleh karena itu, ia sangat khawatir perang yang terjadi di Ukraina akan mengalihkan perhatian negara-negara dunia dari komitmen mereka untuk membangun sumber energi terbaharukan. Indonesia, negara pemasok batu bara termal terbesar di dunia, masuk dalam daftar kekhawatiran tersebut.
"Ya. Tentu saja kami memiliki kekhawatiran. Kami prihatin dengan basis global, bukan hanya Indonesia," ucap Kerry dalam Press Briefing on Our Ocean Conference yang digelar Kemlu AS secara virtual.
John Kerry, penggagas Our Ocean Conference. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
Kerry menjelaskan perang di Ukraina dan kebutuhan tambahan akibat COVID-19 berarti terjadi peningkatan permintaan yang sangat signifikan. Sayangnya, energi yang paling efisien adalah batu bara dan bahan bakar fosil.
ADVERTISEMENT
"Kami bekerja dengan Afrika Selatan. Meksiko. Kami bekerja dengan Indonesia, tentunya. India. Setiap negara memiliki tantangannya sendiri dalam hal ini," ujar Kerry.
"Setiap negara di planet ini memiliki kemampuan langsung untuk menghasilkan energi terbaharukan. Mereka yang menggunakan [krisis-krisis] ini sebagai alasan untuk menggunakan batu bara dan minyak benar-benar sudah salah paham," lanjut dia.
Maret silam (11/3), jurnal Inggris Lloyd's List melansir bahwa produsen batu bara di Indonesia berencana untuk memperluas ekspornya untuk memenuhi permintaan pembeli luar negeri yang mencari alternatif Rusia. Di bulan yang sama, banyak media asing pun turut memprediksi Indonesia akan menjadi salah satu pemasok energi yang paling diincar.
Pada awal April kantor berita Reuters menyampaikan pemborong Eropa sudah memulai negosiasinya dengan Indonesia.
Seorang pria berdiri di atas kapal saat tongkang batubara mengantri untuk ditarik di sepanjang sungai Mahakam di Samarinda, provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Kendati demikian, Ketua Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) Pandu Sjahrir mengatakan bahwa pertambangan tanah air tidak mungkin bisa memenuhi permintaan itu. Pasalnya, musim hujan berkepanjangan sejak Januari membuat produksi batu bara sangat sulit. Bahkan, untuk memenuhi target domestik sebesar 633 juta ton, APBI mulai kewalahan.
ADVERTISEMENT
"Penambangan tidak bisa begitu saja meningkatkan produksi secepat itu. Itu sulit dan kapasitasnya sudah sangat ketat," ujar Sjahrir kepada Reuters.
Sejumlah penambang lokal yang mungkin dapat memenuhi permintaan ekspor tersebut akan meminta persetujuan pemerintah untuk produksi dan ekspor tambahan pada bulan April sampai Juni.
Per bulan April, harga patokan batu bara bulanan Indonesia telah melonjak ke rekor USD 288.4 per ton. Namun, John Kerry meminta agar Indonesia dan negara produsen energi lainnya untuk berpikir ulang sebelum berencana untuk ekspor besar-besaran.
"Kami sangat berharap agar orang-orang melanjutkan [bisnisnya] dengan sangat hati-hati di sini. Untuk menggunakan momen ini untuk membangun energi berkelanjutan," ujar Kerry.
"Ini adalah peluang besar untuk memulainya dengan cara yang bijaksana," sambung Kerry.
Aktivis Jeda Untuk Iklim melakukan aksi di depan Plaza Mandiri, Jakarta, Selasa (25/1/2022). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Dibanding dengan minyak bumi dan gas alam, batu bara memang sumber energi yang paling terjangkau. Namun, harga murah ini datang dengan konsekuensi selangit, yang harus 'dibayar' dengan kualitas hidup yang lebih rendah, masalah kesehatan, dan perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Contohnya, penambangan batu bara menghasilkan limbah yang sangat banyak. Lumpur yang tersisa dari pencucian batu bara kerap menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat setempat, dan mengurangi akses kepada air bersih. Transportasi yang diperlukan untuk memindahkan ratusan ton batu bara turut menjadi kontributor polusi yang signifikan. Belum lagi jejak karbon yang dihasilkan pembakaran batu bara.
"Dari semua bahan bakar fosil, batu bara mengeluarkan karbon dioksida paling banyak per unit energi, sehingga pembakarannya menimbulkan ancaman lebih lanjut terhadam iklim global yang memang dari awal sudah prihatin," tulis sebuah artikel di National Geographic.
Foto udara kapal tongkang bermuatan batu bara melintasi aliran Sungai Batanghari di Jambi, Selasa (8/3/2022). Foto: Wahdi Septiawan/ANTARA FOTO
Ketika batu bara dibakar, gas-gas dari asap yang dihasilkan dapat melakukan 'perjalanan' sebelum akhirnya mendarat di sawah, tanaman, serta tanah. Unsur-unsur ini lalu diserap oleh tanaman, yang jika dimakan oleh manusia, dapat menyebabkan segudang masalah kesehatan. Ini termasuk penyakit paru-paru, kerusakan sistem saraf dan pencernaan, dan melemahnya imun tubuh.
ADVERTISEMENT
"Produsen dan konsumen batubara perlu memahami biaya riil batu bara, termasuk kerusakan kesehatan masyarakat lokal dan konsekuensi terhadap iklim," tulis sekelompok ilmuwan pada riset Nature Climate Change (27/7/2020).
Indonesia sendiri telah membuat target untuk menggunakan energi terbaharukan sebanyak 23 persen dalam bauran energinya di tahun 2025. Namun, Desember tahun lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI menyatakan bahwa pangsa energi terbaharukan tanah air baru mencapai 11.2 persen.
"Indonesia memerlukan upaya nyata dan terencana untuk mencapai target," tulis pernyataan resmi tersebut.
"Untuk mempercepat pengembangan energi terbaharukan, serta mempertimbangkan waktu konstruksi dan daya saing harga, Kementerian ESDM mendorong pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, yakni pembangkit listrik skala kecil, terapung, dan skala besar di seluruh Indonesia."
ADVERTISEMENT