news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jokowi Cerita soal RKUHP: Tak Mau Pakai UU Warisan Kolonial

26 September 2019 16:29 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo gelar pertemuan dengan para tokoh bangsa, Mahfud MD, Romo Magnis hingga Butet Kartaredjasa. Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo gelar pertemuan dengan para tokoh bangsa, Mahfud MD, Romo Magnis hingga Butet Kartaredjasa. Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Saat bertemu sejumlah tokoh bangsa, Presiden Joko Widodo sempat menceritakan alasannya ingin merevisi KUHP. Menurut Kardinal Mgr Ignatius Suharyo yang saat itu juga hadir, Jokowi ingin Indonesia memiliki UU sendiri dan tak lagi menggunakan UU warisan pemerintah kolonial Belanda.
ADVERTISEMENT
"Bapak Presiden bercerita, yang merancang KUHP itu profesor-profesor dari berbagai macam perguruan tinggi di Indonesia, sudah sejak lama, sudah 56 tahun," kata Suharyo di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (26/9).
"Beliau katakan, tinggal memilih kepastiannya. Kan kita tidak mau pakai UU kolonial, tapi memakai UU yang disusun oleh negara kesatuan RI, yang menyusun para ahli hukum, pakar-pakar, profesor," imbuhnya.
Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup KAJ. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Namun, revisi KUHP tersebut belakangan justru menuai kontroversi karena ada beberapa poin yang menurut masyarakat justru merugikan masyarakat. Menurut Suharyo, meski ditolak, Jokowi akan mencoba mendengarkan aspirasi masyarakat terkait RKUHP tersebut.
"Tapi Pak Jokowi sebagai presiden berprinsip, masukan dari masyarakat, lembaga mana pun, akan didengar dan akan didiskusikan sampai waktunya nanti akan disahkan, entah kapan," jelas Suharyo.
ADVERTISEMENT
Agenda 56 Tahun
Agenda RKUHP itu sebenarnya sudah berlangsung selama 56 tahun dengan tujuan agar Indonesia memiliki dasar hukum buatan sendiri. Sebab, KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan warisan kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie.
Ada sejumlah pasal dari RKUHP yang menuai penolakan di masyarakat. Termasuk Pasal Tindak Pidana Korupsi, Pasal Penghinaan Presiden, Pasal Perzinaan, hingga Pasal Santet.
Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP tersebut justru dianggap bisa membawa Indonesia kembali ke masa kolonialisme. Selain itu, masyarakat mengaku khawatir karena pasal tersebut rawan kriminalisasi.
Sebelum 28 Agustus, dalam draf RKUHP bab tersebut diberi nama tindak pidana "Penghinaan Presiden". Namun, dalam draf terbaru, ketentuan itu berganti menjadi "Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden" yang tertuang dalam Pasal 218-220 RKUHP.
ADVERTISEMENT
Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan Pasal penghinaan presiden yang ada di Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP pada 2006 lalu. Pembatalan pasal tersebut dilakukan karena penghinaan terhadap presiden menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
Sementara terkait Pasal Santet, pemerintah dan DPR sepakat memasukkan santet sebagai tindak pidana. Revisi KUHP dinilai bukan hanya menyentuh hal yang masuk akal, tetapi juga mengurusi hal gaib.
Bahkan, dukun santet yang membuat orang celaka bisa dipidana maksimal 3 tahun penjara. Hal itu diatur dalam Pasal 213 ayat (1) RKUHP yang berbunyi:
Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
ADVERTISEMENT