Jokowi Disuntik Vaksin Sinovac Pagi Ini, Bagaimana Kemanjurannya?

13 Januari 2021 7:02 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas  menurunkan kontainer berisi vaksin COVID-19 Sinovac saat tiba di Bio Farma, Bandung, Jawa Barat. Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menurunkan kontainer berisi vaksin COVID-19 Sinovac saat tiba di Bio Farma, Bandung, Jawa Barat. Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Presiden Jokowi divaksin corona Sinovac pukul 09.00 WIB di Istana Negara. Ia merupakan orang pertama yang secara resmi menerima vaksinasi.
ADVERTISEMENT
Vaksinasi hari ini, Rabu (13/1), bisa dimulai karena BPOM telah memberikan emergency use authorization (EUA).
Seberapa manjur vaksin pabrikan China ini?
Kepala BPOM, Penny Lukito, pun telah mengumumkan data-data terkait uji klinis III yang sampai akhir prosesnya melibatkan 1.603 relawan. Dari mulai data efikasi (kemanjuran) hingga imunogenisitas.
Kedua data ini menjadi penting untuk mengetahui apakah vaksin bisa digunakan masyarakat di masa pandemi. Kuncinya, manfaat harus lebih tinggi nilainya dibanding efek buruk.
Hasilnya, kemanjuran vaksin Sinovac diukur di angka 65,3 persen. Angka ini merupakan kondisi setelah subjek mendapatkan penyuntikan kedua kali kemudian berkegiatan di tengah masyarakat apakah terpapar corona atau tidak.
"Untuk efficacy rate, dari uji klinik di Bandung dengan subjek 1.600-an relawan, dengan interim analisis sesuai statistik, kita menargetkan 25 kasus terinfeksi," kata jubir vaksinasi corona dari BPOM Dr Rizka Andalusia dalam jumpa pers virtual, Senin (11/1).
ADVERTISEMENT
"Jadi angka 65,3% itu dari 25 kasus terinfeksi," tegas Rizka.
Namun yang menjadi catatan efikasi adalah nilai yang didapat setelah uji klinis. Sebab, selama uji klinis relawan ada yang disuntik vaksin, tetapi ada juga yang diberi cairan plasebo (obat kosong).
Jubir vaksinasi perwakilan BPOM, dr. Rizka Lucia Andalusia. Foto: Satgas COVID-19
Sejak suntikan kedua, kondisi para relawan tersebut dipantau secara berkala. Apakah terpapar corona atau tidak.
Oleh karena itu, relawan pun tetap diwajibkan menaati protokol kesehatan. Sebab, mereka tidak diberitahu apakah diberi plasebo atau vaksin.
"Tadi dijelaskan juga ini interim analysis, sehingga kita akan melanjutkan uji klinik ini dan memantau sampai 6 bulan, benar," ungkap Rizka.
Jika dihitung dari penyuntikan relawan bulan Agustus 2020, pemantauan selama 6 bulan akan berakhir Februari 2021.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana jika dalam perjalanannya ada di antara penerima vaksin yang terinfeksi corona? Apakah angka efficacy rate berubah?
"Manakala kita dapat kasus-kasus terinfeksi lagi kita akan hitung dan calculate lagi efficacy rate-nya. Tentunya penelitian oleh pengembang vaksin juga harus melakukan hal yang sama terkait efficacy tersebut," jawab Rizka.
Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) menjelaskan bahwa efficacy rate vaksin Sinovac sudah termasuk tinggi. Apalagi WHO pernah menyebut efficacy rate di atas 50 persen sudah bisa menurunkan angka kejadian corona.
"Memang betul efficacy mempengaruhi sebagai salah satu faktor, tapi perhitungan itu bukan dari efficacy. Memang WHO mengatakan itu (efficacy) di atas 50 persen sebetulnya sudah bisa mencakup menurunkan angka kejadian. 50 persen itu sangat tinggi," kata Ketua ITAGI Prof. Sri Rezeki pada kesempatan yang sama.
ADVERTISEMENT
Mengapa Efikasi di RI Berbeda dengan Turki dan Brasil?
Seorang pekerja bekerja di fasilitas pengemasan pembuat vaksin Sinovac Biotech. Foto: Thomas Peter/REUTERS
Mungkin juga ada yang bertanya, mengapa efikasi Sinovac berdasarkan uji klinis III di Bandung dengan Turki dan Brasil cukup berbeda. Di Brasil angka efikasinya 78 persen, sementara di Turki 91,25 persen.
Terkait hal ini, Ketua Komnas Penilai Obat BPOM Jarir At-Thobari punya penjelasan tersendiri.
Ia mengatakan, ada 4 faktor utama yang mempengaruhi perbedaan data efikasi Sinovac di Brasil dan Turki dengan Indonesia. Berikut faktor-faktornya:
Jarir menjelaskan, faktor keempat ini menjadi kunci. Sebab, ada perbedaan yang mencolok.
ADVERTISEMENT
"Di Turki hampir 20 persen relawan risiko tinggi, dan 80 persen nakes. Ini membuat efikasi lebih tinggi. Di Brasil semua justru tenaga kesehatan semuanya," ungkapnya.
Sementara di Bandung dari 1.600 relawan mayoritas merupakan populasi umum. Justru menurutnya ini menjadi nilai lebih.
"Di Bandung populasi umum, ini baik untuk Indonesia, populasi umum perlindungannya segitu. Kita tidak punya high risk relawan seperti nakes. Tapi untuk nakes kita bisa ambil dari Brasil dan Turki," tutup Jarir.
Cara Menghitung Kemanjuran atau Efikasi Vaksin
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. apt. Zullies Ikawati. Foto: Dok. IDI
Guru Besar Farmasi UGM Prof Dr Apt Zullies Ikawati membeberkan cara menghitung efikasi dari suatu vaksin. Dan ia menjawab keraguan masyarakat soal angka 65,3 persen tersebut.
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3% dalam uji klinik berarti terjadi penurunan 65,3% kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (atau plasebo).
Dan itu didapatkan dalam suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol. Jadi misalnya pada uji klinik Sinovac di Bandung yang melibatkan 1.600 orang, terdapat 800 subjek yang menerima vaksin, dan 800 subjek yang mendapatkan plasebo (vaksin kosong).
"Jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi (3.25%), sedangkan dari kelompok plasebo ada 75 orang yang kena COVID (9,4%), maka efikasi dari vaksin adalah = (0,094 – 0,0325)/0,094 x 100% = 65,3%. Jadi yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak," urai Zullies.
ADVERTISEMENT
Efikasi ini, lanjut Zullies, akan dipengaruhi dari karakteristik subjek ujinya. Jika subjek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok plasebo akan lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat.
Jadi misalnya pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi, sedangkan kelompok plasebo bertambah menjadi 120 yang terinfeksi, maka efikasinya meningkat menjadi 78,3%. Uji klinik di Brasil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga kesehatan, sehingga efikasinya diperoleh lebih tinggi.
Sedangkan di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil.
Jika subjek ujinya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes, tidak pernah keluar rumah sehingga tidak banyak yang terinfeksi, maka perbandingan kejadian infeksi antara kelompok plasebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah dan menghasilkan angka yang lebih rendah.
ADVERTISEMENT
"Katakanlah misal pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi COVID (3,25%) sedangkan di kelompok plasebo cuma 40 orang (5%) karena menjaga prokes dengan ketat, maka efikasi vaksin bisa turun menjadi hanya 35%, yaitu dari hitungan (5 - 3,25)/5 x 100% = 35%," jelas Zullies.
Jadi Zullies menegaskan angka efikasi ini bukan harga mati dan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor ketika uji klinik dilakukan. Selain itu, jumlah subyek uji dan lama pengamatan juga dapat mempengaruhi hasil. Jika pengamatan diperpanjang menjadi 1 tahun, sangat mungkin menghasilkan angka efikasi vaksin yang berbeda.
Presiden Jokowi Hadiri Pertemuan Virtual WEF Mengenai Indonesia dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. Foto: Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden