Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pemerintah Indonesia kembali menegaskan tidak bakal memberlakukan karantina wilayah atau lockdown guna menahan laju penyebaran virus corona seperti yang dilakukan sejumlah negara seperti Malaysia, Italia, Belgia, dan Filipina.
Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman mengatakan, pemerintah hingga kini hanya menerapkan pembatasan sosial atau social distancing. Ini diyakini pemerintah sudah cukup efektif untuk meminimalisasi dampak wabah corona.
Social distancing atau Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 merupakan pembatasan kegiatan penduduk di sebuah wilayah guna mencegah penyebaran penyakit.
“Makanya ada pembatasan sosial, di mana orang tidak ke sekolah dan tempat kerja,” kata Fadjroel kepada kumparan, Rabu (18/3).
Prosedur itu, ujarnya, sudah sesuai dengan perhitungan pemerintah, sehingga mereka tidak akan meningkatkan status pengkarantinaan menjadi karantina wilayah.
“(Pembatasan sosial) ini cukup,” ucap Fadjroel.
Fadjroel menyatakan, opsi lockdown alias karantina wilayah tidak menjadi pertimbangan lantaran beratnya beban yang harus ditanggung pemerintah.
Dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, jelas disebut bahwa kebutuhan dasar semua warga yang berada di dalam wilayah yang dikarantina ditanggung oleh negara.
“Syaratnya luar biasa beratnya,” kata Fadjroel.
Wacana lockdown kian mengemuka setelah angka kasus COVID-19 di Indonesia terus melonjak dari hari ke hari. Hingga 17 Maret, jumlah orang terinfeksi coronavirus di tanah air mencapai 172.
Pemerintah Provinsi DKI sebelumnya sempat melakukan upaya yang mirip pengkarantinaan wilayah. Senin kemarin (16/3), Gubernur DKI Anies Baswedan membatasi jam operasional TransJakarta, MRT, dan LRT, serta mengurangi jadwalnya untuk mengurangi potensi interaksi sosial.
Selain itu, seluruh sekolah di Jakarta dan tempat wisata milik Pemprov DKI ditutup selama dua pekan.
Namun, baru sehari, Anies mengembalikan jam operasional transportasi publik setelah mendapat “teguran” dari Jokowi. Pasalnya, jadwal TransJakarta dan MRT yang susut drastis menyebabkan penumpukan penumpang di halte.
Hal tersebut terjadi, salah satunya, karena tak semua warga Jakarta bisa mengikuti imbauan pemerintah untuk bekerja dari rumah (work from home) lantaran terbentur kebijakan sebagian perusahaan yang berbeda.
“Tranportasi publik tetap harus disediakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dengan catatan meningkatkan kebersihan moda transportasi. Yang penting bisa mengurangi tingkat kerumunan, antrean, dan tingkat kepadatan orang di dalamnya. Bisa menjaga jarak,” kata Presiden Jokowi.
Soal lockdown, Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Chairul Nidom menyebut upaya itu bukan perkara haram.
Pemerintah, juga sesuai UU Kekarantinaan Kesehatan, bisa melakukan lockdown di wilayah tertentu yang berisiko besar membahayakan kesehatan masyarakat.
Meski begitu, lockdown hampir selalu berhadapan dengan dampak ekonomi yang akan ditimbulkan.
“Kapasitas kita, struktur ekonomi kita, tidak sekuat Italia dan China. Kalau enggak hati-hati, bukan virus corona yang akan mematikan masyarakat, tapi kelaparan massal,” kata ekonom INDEF Bhima Yushistira.
Di sisi lain, kolega Bhima di lembaga yang sama—INDEF—punya pendapat berbeda. Ekonom Abra Talattov menilai risiko ekonomi akibat penularan corona yang tak terkendali akan lebih berbahaya ketimbang lockdown.
“Bila pekerja di industri manufaktur ada yang kena corona, otomatis operasional pabrik akan terhenti karena perlu melakukan karantina ke seluruh karyawan,” ujarnya.