Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Suara gergaji memecah keheningan pagi kebun di daerah Cisauk, Sukamaju, Bogor. Seorang kakek tua dengan baju koko berwarna putih dan celana panjang hitam terlihat sibuk memotong kayu menjadi bagian kecil.
ADVERTISEMENT
“Ini yang saya lakukan sekarang nyari kayu. Nanti kalau sudah banyak ditaruh di depan ada yang beli. Kayu sengon bekas orang. Bukan ngambilin punya orang,” katanya, Sabtu (23/3).
Dia adalah Herman, pengemis berusia 87 tahun yang biasa beredar di kawasan simpang Yasmin, Bogor. Sudah empat hari ini Herman tak mengemis, dia memilih untuk mencari kayu bekas untuk menyambung hidup.
Keputusan Herman berhenti mengemis bukan tanpa alasan. Semua itu bermula karena sebuah foto yang memperlihatkan dirinya sedang membuka pintu mobil, viral di media sosial.
Foto tersebut mengundang banyak komentar, terutama mereka yang biasa melihat Herman mengemis di simpang lampu merah Yasmin, Bogor. Banyak yang menduga Herman mengemis diantar sopir dan mobil pribadi. Ada juga yang menyebut Herman memiliki tiga istri dan tinggal di sebuah rumah mewah.
Saat ditemui kumparan di kediamannya, Herman membantah semua tuduhan itu. “Itu saya enggak tahu, tiba-tiba viral di Facebook. Sebenarnya saya ini enggak punya mobil enggak punya apa-apa,” ucap Herman.
ADVERTISEMENT
Gara-gara foto itu Herman akhirnya diamankan oleh Satpol PP pada Rabu (20/3). Saat itu Herman sedang mengemis di simpang lampu merah Yasmin, Bogor. Herman diangkut menggunakan mobil Satpol PP dan diserahkan ke Dinas Sosial Kota Bogor.
“Jadi ditangkap saya ditanya-tanya katanya saya punya mobil, punya itu, semua fitnah, bohong,” katanya.
Herman mengungkapkan mobil berwarna hijau yang ada di foto-foto yang beredar itu bukanlah miliknya. Dia hanya menyewanya untuk antar jemput ke lokasi mengemis.
Sebelum menggunakan mobil sewaan, Herman berangkat ke lokasi mengemis yang jaraknya sekitar 35 km dengan menumpang angkot, tapi karena sakit encok di kaki, Herman sering terjatuh. Herman kemudian memutuskan untuk menyewa mobil. Sehari dia mengeluarkan uang Rp 80 ribu untuk sewa mobil. Uang itu dia sisihkan dari penghasilan mengemis yang mencapai Rp 150 ribu per hari.
Dia kebetulan kenal dengan seorang sopir rental mobil bernama Maman. Dari penuturan Herman, Maman yang tak tega melihatnya lalu menawarkan bantuan. Hal tersebut diamini oleh pemilik rental mobil, Nani. Menurutnya mobil tersebut memang disewa Herman.
ADVERTISEMENT
“Si Abah (sebutan Herman) gimana Pak Jajat (suami) kalau saya pinjam dibayar Rp 80 ribu sehari? Enggak sehari sih, sampai jam 14.00 siang,” kata Nani saat ditemui kumparan di rumahnya di Situ Udik, Kabupaten Bogor.
Nani dan suaminya tak masalah dengan permintaan tersebut selama mobil itu tidak disewa orang lain. “Mobil itu juga kreditan. Daripada nongkrong, sopir lain lagi. Ke kitanya 80 ribu,” Nani menyebutkan.
Dari uang tersebut kadang sopir mendapat upah Rp 20 ribu. Namun, ada kalanya Nani dan Maman tidak mendapatkan sepeser pun dari Herman. “Kalau enggak dapat si Abah itu ngutang deh setoran, saya enggak apa-apa. Sekarang juga punya utang 4 hari,” Nani mengungkapkan.
Nani mengaku sebenarnya belum pernah bertemu Herman. Dia hanya tahu informasi dari sopirnya, Maman. Namun, ibu paruh baya itu mengaku ikut prihatin dan kasihan dengan Herman akibat tudingan yang ramai di media sosial.
ADVERTISEMENT
“Kalau enggak percaya, ke Satpol PP, sopirnya ditanya kalau enggak percaya yuk ke rumah yang punya mobil. Si Abah mah cuma pinjam doang. Yang punya mah saya. Kasihan sama si Abah,” ujar Nani.
Selain soal mobil, Herman juga menegaskan tidak memilki rumah mewah. Saat ini dia tinggal di rumah anaknya. Sudah empat tahun dia tinggal di sana. Sebelumnya, pria satu anak itu tinggal di Desa Cimayang, empat kilometer dari rumah saat ini. Ia kemudian menjual rumahnya dan ikut sang anak yang pindah tinggal di desa istrinya di Kampung Cisauk.
Herman juga mengaku memiliki tiga istri. Namun, ketiganya tidak dinikahi dalam waktu yang sama. “Istri saya memang tiga cuman tiga kali kawin. Tiga kali kawin, yang pertama meninggal, yang kedua meninggal, yang ketiga meninggal. Jadi kawin ditinggal mati semua. Bukannya poligami,” sebut Herman.
ADVERTISEMENT
Kematian istri ketiganya itulah yang kemudian membuat Herman memutuskan mengemis di jalanan. Pikirannya kalut saat istri ketiganya meninggal tahun 1995 silam. Anak semata wayangnya pun kala itu masih delapan tahun dan butuh biaya banyak untuk sekolah.
“Semenjak istri saya itu meninggal saya jadi enggak karu-karuan. Mau dagang enggak laku, pernah dagang. Orang boro-boro mau beli,” Herman mengingat.
Jembatan Merah di Kota Bogor kemudian menjadi lokasi pertama Herman mengemis. Di sana, pundi-pundi rupiah banyak dia dapatkan. Akan tetapi, seiring dengan kota yang semakin berkembang, banyak pengemis lain mulai berdatangan. Hal itu yang membuat Herman sejak satu tahun terakhir pindah lokasi mengemis ke persimpangan lampu merah Yasmin yang tak kalah ramai.
“Kalau dulu ngasih Rp 100 ribu suka ada. Yang kasihan sama saya. Kadang-kadang Rp 10 ribu, Rp 2.000, gopek, Rp 200 ada. Enggak apa-apa ibadah itu,” kata Herman.
Usai ramai kabar soal mobil pribadi itu, kini Herman tak lagi mengemis. Dia telah menandatangani surat perjanjian dengan dinas sosial. Bila dia tertangkap tangan kembali mengemis, Herman akan dibina di panti sosial.
ADVERTISEMENT
Pengemis Kaya
Viralnya kabar soal ‘kekayaan’ Herman tak lepas dari pengalaman soal pengemis-pengemis berduit yang sempat mengejutkan publik. Di Jakarta April tahun lalu, Leonard (57) yang mengantongi uang Rp 28 juta saat ditangkap Dinsos Jakarta Barat.
Ada juga pengemis perempuan di JPO Kramat Sentiong, Jakarta Pusat, Sri (43), yang terjaring Dinsos. Saat diamankan dia kedapatan mengantongi uang Rp 23 juta dan perhiasan emas.
Potret pengemis di Ibu Kota tersebut tak ditampik Kasatpol PP DKI Jakarta Arifin. Sepanjang orang merasa mengemis menjadi sebuah solusi untuk memenuhi kebutuhan, pengemis menurut Arifin akan terus ada.
Selama ini, Pemprov DKI sudah berusaha meminimalisasi praktik pengemis jalanan. Caranya dengan melakukan razia di beberapa titik rawan.
ADVERTISEMENT
Pengemis yang terjaring akan dibina di panti sosial selama enam bulan dengan diberi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
“Jika ada yang memilih pulang ke daerah asal, kita akan bantu pulangkan,” kata Kepala Dinas Sosial DKI, Yayat Duhayat. Sebab, umumnya pengemis berasal dari luar daerah.
Tapi tak jarang sebagian dari mereka justru kembali mengemis selepas dibina di panti sosial. Yayat berpendapat, kesulitan terbesarnya adalah mengubah mentalitas para pengemis yang telanjur melekat.
Tak cuma memberi penanganan dari sisi pengemis, DKI juga punya Perda nomor 8 tahun 2007 yang melarang setiap orang memberi uang atau barang kepada mereka. Pelanggarnya bisa diancam dengan pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta.
ADVERTISEMENT
Faktanya, petugas yang berwenang seperti Satpol PP masih enggan bertindak represif terhadap para pelanggar dari kalangan penderma. “Saya pikir perda ini sebaiknya harus terus disosialisasikan kepada seluruh masyarakat,” tutur Arifin, Kasatpol PP DKI Jakarta kepada kumparan, Senin (25/2).
Baginya, masyarakat sebaiknya harus diberi pemahaman mendasar terkait aspek sosiologis dan psikologis di balik lahirnya Perda No. 8 Tahun 2007.
Pemerintah sebenarnya juga sudah memfasilitasi potensi kedermawanan masyarakat. Salah satunya dengan keberadaan lembaga infaq dan sedekah di setiap kelurahan. Di lembaga tersebut masyarakat bisa mendermakan hartanya secara jelas tanpa melanggar Perda.
“Di situ lebih tertib tercatat siapa penerimanya untuk apa digunakan uangnya,” ungkap Arifin.
Simak ulasan kumparan selangkapnya di topik Awas Pengemis Kaya .
ADVERTISEMENT