Kajari Siak Resmikan 8 Rumah Restorative Justice

29 November 2023 11:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peresmian Rumah Restorative Justice di Kecamatan Siak, Kabupaten Siak, Riau, Rabu (29/11/2023). Foto: Dok. Kejari Siak
zoom-in-whitePerbesar
Peresmian Rumah Restorative Justice di Kecamatan Siak, Kabupaten Siak, Riau, Rabu (29/11/2023). Foto: Dok. Kejari Siak
ADVERTISEMENT
Kejaksaan Negeri Siak meresmikan pendirian rumah restorative di Kabupaten Siak. Ada setidaknya 8 rumah restorative yang diresmikan secara bersamaan pada Selasa (28/11) kemarin.
ADVERTISEMENT
Lokasi itu tersebar di hampir setiap kecamatan, yakni Lubuk Dalam, Tualang, Sungai Mandau, Koto Gasib, Sungai Apit, Pusako, Mempura, Siak dan Kerinci kanan.
Kajari Siak Tri Anggoro Mukti meresmikan secara langsung rumah Restorative Justice (RJ) di Gedung Lembaga Adat Melayu Riau, Kecamatan Siak. Bersama dengan Bupati Siak dan forkopimda setempat.
"Masih tersisa enam Kecamatan lagi yang belum memiliki rumah Restorative Justice," ucap Tri.
Peresmian Rumah Restorative Justice di Kecamatan Siak, Kabupaten Siak, Riau, Rabu (29/11/2023). Foto: Dok. Kejari Siak
Ia menjelaskan, Kecamatan di Kabupaten Siak yang sudah memiliki rumah Restorative Justice, di antaranya Kecamatan Lubuk Dalam, Tualang, Sungai Mandau, Koto Gasib, Sungai Apit, Pusako, Mempura, Siak dan Kerinci kanan.
Dalam sambutannya, Tri menyinggung soal pentingnya restoratif untuk menghadirkan keadilan di tengah masyarakat.
Ia kemudian menyinggung empat perkara yang sempat menjadi sorotan masyarakat, yakni:
ADVERTISEMENT
Pertama, Perkara kakek Samirin yang berusia 69 tahun, yang didakwa mencuri 1,9 Kg getah karet senilai Rp17.480 milik PT Bridgestone, Kakek 12 cucu ini dijatuhi hukuman 2 bulan 4 hari potong masa tahanan (Januari 2020).
Nenek Minah. Foto: Antara Foto
Kedua, Perkara nenek Minah yang berusia 55 tahun yang didakwa mencuri buah kakao senilai Rp2000,00 yang divonis hukuman 1 bulan penjara (oktober 2019).
Ketiga, Perkara nenek Saulina boru Sitorus yang berusia 92 tahun yang didakwa menebang pohon durian setinggi 5 Inchi milik kerabatnya sendiri yang divonis 1 bulan 14 Hari Penjara (januari 2018).
Keempat, Perkara nenek Asyani yang berusia 63 tahun yang didakwa mencuri 7 tujuh batang kayu jati milik Perhutani yang divonis 1 tahun penjara (Desember 2014)
ADVERTISEMENT
“Dari sekian banyak perkara, Penuntut Umum sangat sering mendapat kritikan dan kecaman khususnya apabila tuntutan atas hukuman yang dibacakan dan diajukan kepada hakim di persidangan dianggap terlalu tinggi. Karena itulah kemudian Penuntut Umum dan instansi kejaksaan dianggap sebagai pihak yang mencederai rasa keadilan di masyarakat,” papar Tri.
Peresmian Rumah Restorative Justice di Kecamatan Lubuk Dalam, Kabupaten Siak, Riau, Rabu (29/11/2023). Foto: Dok. Kejari Siak
Ia kemudian mengutip pesan Jaksa Agung bahwa hukum yang baik idealnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekadar prosedur hukum. Hukum harus mengenali keinginan publik yang tergambar dalam hukum yang hidup di masyarakat dengan berorientasi tercapainya nilai keadilan.
Tri memaparkan bahwa terjadi pergeseran paradigma dalam sistem peradilan pidana. Keadilan berbasis pembalasan bergeser menjadi mencari solusi untuk memperbaiki keadaan, merekonsiliasi para pihak dan mengembalikan harmoni pada masyarakat. Namun, tetap menuntut pertanggungjawaban pelaku.
ADVERTISEMENT
Hal itu dikenal dengan restorative justice atau keadilan restoratif.
“Keadilan restoratif menjadi solusi di mana kepentingan korban diutamakan dalam penyelesaian perkara, dalam hal ini perbaikan keadaan korban dan pemberian maaf dari korban menjadi faktor penentu penyelesaian perkara, selain itu di sisi lain tetap memperhatikan kondisi tertentu dari pelaku kejahatan sebagai bahan pertimbangan penyelesaian perkaranya,” papar Tri.
Peresmian Rumah Restorative Justice di Kecamatan Mempura, Kabupaten Siak, Riau, Rabu (29/11/2023). Foto: Dok. Kejari Siak
Meski demikian, tidak semua perkara dapat diterapkan restorative justice. Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dikecualikan untuk perkara:
a. Tindak pidana terhadap keamanan negara
b. Tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal
c. Tindak pidana narkoba
d. Tindak pidana lingkungan hidup
e. Tindak pidana yang dilakukan korporasi
Kearifan Lokal Masyarakat Siak
Masih dalam sambutannya, Tri menyinggung bahwa masyarakat Melayu Siak mengenal istilah "Buat aib”. Merujuk pada tindakan penyimpangan sosial.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi dari membuat aib itu adalah sanksi sosial baik berupa pengusiran atas pelaku penyimpangan sosial itu. Maupun dengan mengorbankan hewan-hewan ternak seperti kerbau atau kambing.
Ia menambahkan bahwa masyarakat Siak Sri Indrapura juga masih menempatkan seseorang atau beberapa orang sebagai pemangku adat atau tokoh adat untuk menjaga adat untuk menjaga kelestarian adat istiadat Siak Sri Indrapura.
“Sanksi yang berlaku dalam adat diselesaikan dengan pemberian denda atau nasihat sesuai dengan permasalahan. Seandainya permasalahan tersebut dianggap terlalu berat dan sangat fatal, maka akan diusir dari kampung atau menyerahkan permasalahan ini kepada aparat kepolisian. Apabila terjadi perselisihan antara masyarakat asli Siak dengan pendatang, maka akan diselesaikan dengan musyawarah terlebih dahulu,” papar Tri.
Peresmian Rumah Restorative Justice di Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak, Riau, Rabu (29/11/2023). Foto: Dok. Kejari Siak
Selain itu, adat istiadat Melayu Siak juga identik dengan hukum Islam. Sehingga dalam penerapan sanksi adat pun juga mengacu kepada Al Qawaid yang merupakan kitab peninggalan kerajaan Siak Sri Indrapura.
ADVERTISEMENT
“Bab Al-Qawaid atau Baabul Al Qawaid merupakan sebuah kitab hukum yang menjadi pranata hukum bagi kesultanan Siak atau disebut juga Pintu "Segala Pegangan", yaitu semacam "konstitusi" Kerajaan Siak Sri Indrapura. Di dalamnya diatur tata hukum, tata adat istiadat dan pembagian tugas setiap pemegang jabatan baik orang besar kerajaan, Datuk-Datuk, Para Bangsawan, Pendahulu, Batin, Hakim Polisi, Imam dan Tuan Qadi, kepala suku,” tutur Tri.
Menurut Tri, implementasi Bab al-Qawaid sangat terlihat jelas ketika Sultan menjalankan roda pemerintahhnya. Dengan adanya pembagian-pembagian sistem kerja yang telah tertera dalam kitab ini masing-masing kepala atau suku-suku menjadi tahu dengan jelas bagiannya masing-masing.
“Apabila terjadi masalah kemudian dilakukan musyawarah untuk mufakat namun hingga akhir tidak ditemukan mufakat dalam musyawarah maka penyelesaian permasalahan tersebut akan melalui hukum positif, termasuk dalam permasalahan yang bersifat umum dan terjadi dalam ranah publik (bukan lingkungan adat),” kata dia.
ADVERTISEMENT
Hal itu yang kemudian mendasari Kejari Siak melaksanakan Program Kejaksaan “Rumah Restorative Justice” menggandeng Lembaga Adat Melayu Riau Kabupaten Siak dan 7 Kecamatan.
“Menjaga eksistensi Lembaga Adat Melayu sebagai wadah para tetua-tetua untuk menjaga keharmonisan berbangsa dan bermasyarakat di Kabupaten Siak sehingga LAMR tidak hanya menjadi simbol tetapi juga mengambil bagian penting dalam penegakan hukum di Kabupaten Siak,” pungkasnya.