news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kajian KPK soal PLTSa: PLN Berpotensi Tanggung Biaya Rp 3,6 T per Tahun

6 Maret 2020 18:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), Rabu (21/3). Foto: ANTARA FOTO/Risky Andrianto
zoom-in-whitePerbesar
Instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), Rabu (21/3). Foto: ANTARA FOTO/Risky Andrianto
ADVERTISEMENT
KPK merampungkan kajian di sektor kelistrikan yakni pengelolaan sampah untuk Energi Listrik Terbarukan (EBT). Dalam kajian itu, KPK menemukan sejumlah proses yang membuat Pemerintah Daerah dan PLN berpotensi merugi.
ADVERTISEMENT
Kajian ini dilatarbelakangi dengan volume sampah di Indonesia yang diperkirakan ada 64 juta ton per tahunnya. Berbarengan dengan itu, Pemerintah punya program meningkatkan EBT hingga angka 23 persen di 2025. Saat ini, angka itu masih 10 persen.
Pemerintah kemudian mencanangkan percepatan penanganan sampah melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Sejak 2016, Pemerintah telah mengeluarkan tiga Perpres untuk percepatan PLTSa itu.
Terakhir, Perpres 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Namun, hingga akhir 2019 belum ada satupun PLTSa berhasil dibangun.
Hal itu yang menjadikan KPK membuat kajian perihal ini. Dalam kajian tersebut, ada dua aspek permasalahan yang ditemukan. Model bisnis dan juga teknologi.
ADVERTISEMENT
Dalam aspek bisnis, KPK menemukan bahwa model bisnis yang terpisah, antara Pemda-Pengembang dan Pengembang-PLN.
"Ini menjadikan proses berlarut dan berpotensi pada praktik bisnis yang tak adil," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dalam pemaparannya di Gedung KPK, Jumat (6/3).
Konferensi pers KPK soal Kajian Kelistrikan, Jumat (6/3). Foto: M Lutfan Darmawan/kumparan
Pahala memaparkan, proses pengolahan sampah jadi listrik di PLTSa, diawali dari pengumpulan sampah dari rumah tangga ke titik pengolahan. Anggaran pengangkutan sampah ini menggunakan anggaran Pemda dari pos dinas kebersihan.
Pahala mencontohkan Kota Tangerang. Pemda harus menggelontorkan Rp 120 miliar untuk biaya pengangkutan sampah tersebut. Hal ini menguntungkan swasta yang tinggal mengolah sampah tersebut.
Di sisi lain, PLN juga terbebani. Dalam kontrak pembelian listrik antara PLN dengan swasta yang mengelola sampah tersebut digunakan sistem take or pay.
ADVERTISEMENT
Jadi berapa pun sampah yang dikirimkan oleh Pemda ke tempat pengolahan, itulah yang akan diolah oleh swasta. Berapa pun hasilnya, PLN tetap membayar dengan harga yang sama.
Pahala mencontohkan, Pemda Tangerang menjanjikan sampah 2 ribu ton ke swasta per hari, dengan harga hasil listrik yang sudah disepakati. Bila kemudian sampah yang dikirim oleh Pemda kurang dari itu, PLN tetap bayar seharga 2 ribu ton.
"Berapa pun sampah didapat, dibayar sesuai perjanjian. Kondisinya jumlah sampah tidak sesuai target kuota sampah. Kondisi ini hanya menguntungkan pengusaha," kata Pahala.
Deputi Bidang Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, saat memberikan keterangan pers di Ruang Konferensi Pers Gedung KPK, Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Selain itu, harga tinggi yang harus dibeli PLN pun menjadi persoalan. Bila biasanya PLN beli listrik dari hasil PLTU hanya USD 4-5 sen/kwH, maka PLN dipatok USD 13,5 sen/kwH dari PLTSa, sebagaimana pada Perpres.
ADVERTISEMENT
"PLN harus beli USD 13,5 sen/kwH. Padahal kalau dia beli dari tenaga uap USD 4-5 sen/kwH. Selisih itu yang kita bilang harus disubsidi oleh PLN. Padahal ini korporasi perusahaan," kata dia.
Pahala menjelaskan, saat ini ada 12 daerah yang sedang dalam proses membangun PLTSa itu. Apabila semuanya berjalan, dengan kondisi Perpres demikian, maka PLN harus menanggung biaya Rp 1,6 triliun atas pembelian listrik yang mahal itu. Hal itu dihitung dari selisih membeli listrik dari tenaga uap dengan sampah.
Belum lagi biaya langsung dari pengolahan sampah yang mencapai Rp 2,03 triliun per tahun. Maka, total PLN menanggung biaya sekitar Rp 3,6 triliun.
"Kita soroti bahwa risiko buat swasta itu nol. Dia dapat pendapatan pasti dan penjualan pasti," kata Pahala.
Deputi Bidang Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, saat memberikan keterangan pers di Ruang Konferensi Pers Gedung KPK, Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Pahala juga menerangkan bahwa beban anggaran menjadi signifikan. Mengingat masa kontrak PLTSa cukup panjang yakni 25 tahun. Sementara, pasokan listrik PLN di Jawa-Bali sudah capai 30 persen. Sehingga tak ada urgensi pasokan di Jawa Bali.
ADVERTISEMENT
Adapun solusi yang dicanangkan ada revisi Perpres tersebut agar tak merugikan Pemda dan PLN. Begitu juga hasil dari pengolahan sampah, baiknya digunakan untuk energi saja, bukan listrik. Misalnya jadi briket ataupun pelet. Dan ini, kata Pahala, sudah ada contoh berhasilnya.
"Usulan kita di Perpres itu disebut sampah untuk listrik, jadi di beberapa kota sudah terbukti sampah to energy saja. Kalau sampah dikelola jadi briket, pelet, masuk tungku jadi listrik, silakan saja," tutup Pahala.
Adapun tiga poin revisi Perpres 35 Tahun 2018 adalah sebagai berikut.
1. Take or pay 3 pihak hanya menguntungkan swasta, sedangkan supply sampah dan listrik belum pasti tersedia dan risiko operasional dibebankan ke Pemda dan PLN.
2. Kekuatan anggaran Pemda belum ada dan anggaran dalam APBN belum tentu tersedia, sehingga selisih tarif listrik PLTSa dibebankan ke PLN.
ADVERTISEMENT
3. Belum ada kasus teknologi PLTSa yang sudah terbukti terimplementasi, sebaiknya dibuka opsi teknologi waste to energy.