Kami Mencari Tahu Lebih Dalam soal Reklamasi, Pulau atau Pantai?

24 Juni 2019 15:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasan proyek pembangunan di kawasan Pulau D hasil reklamasi, di kawasan pesisir Jakarta. Foto: Deshana/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasan proyek pembangunan di kawasan Pulau D hasil reklamasi, di kawasan pesisir Jakarta. Foto: Deshana/kumparan
ADVERTISEMENT
Reklamasi Teluk Jakarta kembali menuai perhatian publik. Itu karena, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di atas Pulau D. Kebijakan tersebut pun tak lepas dari kritik. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mempertanyakan komitmen Anies dalam menghentikan reklamasi.
ADVERTISEMENT
Mulai dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) hingga Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) lantang menolak reklamasi. Bagi mereka, diterbitkannya IMB hanya akan memperburuk nasib nelayan dan merusak ekologi.
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menggelar aksi menolak reklamasi di depan Balai Kota DKI Jakarta, Senin (24/6). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Di tengah polemik tersebut, Anies mengatakan, kawasan reklamasi bukanlah pulau. Ia bahkan menyayangkan sikap masyarakat yang terlanjur menyebut kawasan reklamasi sebagai pulau. Menurutnya, reklamasi di Teluk Jakarta adalah bagian dari Pulau Jawa, bukan pulau tersendiri.
“Reklamasi, disebutnya pulau reklamasi, tidak ada pulau. Yang disebut pulau itu adalah daratan yang terbentuk karena proses alami. Kalau daratan yang dibuat manusia itu namanya pantai, bukan pulau,” kata Anies di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Minggu, (23/6).
Anies Baswedan di proyek reklamasi pulau D. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Nah, sebetulnya apa sih yang disebut reklamasi itu? kumparan akan memberikan panduan untuk memahami apa itu reklamasi.
ADVERTISEMENT
Mendefinisikan Reklamasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), reklamasi merupakan usaha memperluas tanah (pertanian) dengan memanfaatkan daerah yang semula tidak berguna (misalnya dengan cara menguruk daerah rawa-rawa). Kata itu juga bisa diterjemahkan sebagai pengurukan (tanah), atau bahkan dapat diartikan lain sebagai bantahan atau sanggahan (dengan nada keras).
Persoalannya, ada ketidakcukupan definisi dari apa yang disodorkan KBBI. Sebagai sebuah terminologi sains, reklamasi memiliki arti yang lebih luas dari itu. J.L Stauber, A Chariton, dan S.Apte dalam Marine Ecotoxicology: Current Knowledge and Future Issues (2016) menerjemahkan reklamasi (Land Reclamation) sebagai penciptaan tanah baru dari laut.
Suasan proyek pembangunan di kawasan Pulau D hasil reklamasi, di kawasan pesisir Jakarta. Foto: Deshana/kumparan
Ketiganya sepakat bahwa metode reklamasi yang paling sederhana adalah mengisi suatu wilayah dengan batu dan/atau semen dalam jumlah besar. Dilanjutkan dengan mengisinya dengan tanah liat dan tanah sampai ketinggian yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Jejak reklamasi yang paling awal dapat dilihat di Belanda. Pada tahun 1970, Pemerintah Belanda memutuskan untuk mengawali proyek perpanjangan pelabuhan.
Caranya dengan menyulap air laut menjadi daratan. Proyek bernama Port of Rotterdam itu pun terbilang sukses, bahkan menjadi pelabuhan terbesar di Eropa.
Pelabuhan Rotterdam. Foto: Wikimedia commons
Pada tahun 1975, Singapura juga melaksanakan proyek reklamasi. Kala itu, Pemerintah Singapura membangun Bandara Changi di ujung timur Singapura. Lebih dari 40 juta meter kubik pasir direklamasi dari dasar laut.
Edyta Pijet-Migoń dan Piotr Migoń dalam Urban Geomorphology (2018) mengemukakan bahwa reklamasi merupakan perluasan daratan ke laut. Dilakukan sebagai satu-satunya pilihan lantaran problem topografi (bentuk permukaan tanah) dan penggunaan lahan.
Suasana bandara Changi di Singapura. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Berkaca pada Kasus di Dubai
ADVERTISEMENT
Di Belanda dan Singapura, reklamasi menyebabkan perubahan bentuk lahan pantai. Dari yang mulanya terbatas, kini menjadi lebih luas akibat intervensi manusia.
Lain dari itu, salah satu proyek reklamasi menarik perhatian dunia adalah Palm Islands di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA). Di sana, proyek reklamasi dilakukan guna membentuk sebuah pulau buatan yang ditargetkan sebagai tempat wisata baru.
Palm Island di Dubai. Foto: Wikimedia commons
Proyek tersebut dimulai pada tahun 2001. Lima tahun setelahnya, ada 4.000 villa mewah dan apartemen yang didirikan secara bertahap. Sejak saat itu pula, Palm Island yang terdiri dari tiga pulau yakni Palm Jumeirah, Palm Jebel Ali, dan Palm Deira semakin berkembang menjadi objek pariwisata kelas dunia.
Dilihat dari potret satelit, Palm Island memiliki bentuk seperti Pohon Palem. Lengkap dengan daun dan batang yang membentang di lautan. Di Palm Jumeirah misalnya, ada jembatan yang menghubungkan pulau tersebut dengan pusat kota Dubai.
ADVERTISEMENT
Total biaya yang dikeluarkan untuk membangun pulau tersebut sejak 2001 hingga 2006 mencapai USD 6,5 miliar.
Palm Island di Dubai. Foto: Wikimedia commons
Dari segi istilah, dataran reklamasi di Dubai itu memang disebut sebagai pulau. Adalah Perdana Menteri Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum yang membayangkan adanya pulau buatan di Dubai sejak tahun 1991.
Kala itu, ia berpikir bahwa kejayaan minyak di negaranya akan habis. Atas dasar itu, ia membayangkan Dubai akan terus berjaya dengan menjadi kiblat wisata dunia. Maka, proyek raksasa membangun 3 pulau itu pun mulai dia realisasikan.
Dalam uraiannya di Jumeirah Palm Island: Project Risk and Value Management (2014), Karolina Sochacka dan Darek Batko menilai reklamasi di Dubai adalah proyek pulau buatan paling ambisius di dunia. Terlebih, ada beragam kesulitan dalam membangunnya. Seperti cara menempatkan pasir dan batu dalam jumlah yang tepat.
ADVERTISEMENT
Pulau Buatan dalam Hukum Internasional
Pulau buatan (Artifficial Island) memang dimungkinkan dalam sains. New World Encyclopedia mendefinisikan, pulau buatan sebagai pulau yang dibangun manusia, serta bukan dibentuk oleh proses alami.
Pulau buatan di Danau Langabhat, Skotlandia. Foto: F. Sturt/Antiquity
Pulau buatan sendiri biasa diciptakan dengan memperluas pulau-pulau yang ada, membangun terumbu karang yang ada, atau menggabungkan beberapa pulau alam menjadi pulau yang lebih besar. Reklamasi adalah cara membuat pulau buatan tersebut. Persis seperti yang terjadi di Dubai.
Persoalannya, hukum internasional tak mengenal apa yang dinamakan sebagai pulau buatan. Pasal 60 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) alias Konvensi PBB tentang Hukum Laut menyebut, pulau buatan tidak dianggap sebagai pulau.
Apalagi, pulau yang dibuat untuk memiliki perairan teritorial (12 mil dari garis pantai terluar) atau zona ekonomi eksklusif (ZEE). Yakni 200 mil dari pulau terluar saat air surut.
Foto udara kawasan pulau reklamasi Pantai Utara Jakarta, Kamis (28/2). Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Aturan ini diciptakan untuk mencegah potensi penambahan teritorial suatu negara dengan sengaja. Pada tahun 2003, Singapura dan Malaysia sempat memanas lantaran proyek reklamasi. Malaysia menyebut bahwa Singapura melanggar batas wilayah dengan melakukan proyek reklamasi di Selat Johor.
ADVERTISEMENT
UNCLOS sendiri mendefinisikan pulau sebagai area daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air, serta berada di atas air saat pasang.
Pemerintah Dubai pun tak menggunakan istilah ‘pulau buatan’ dalam pergaulan internasional. Misalnya, saat konferensi Asia ke-15 pada 2016 silam.
Ilustrasi Kapal Laut. Foto: Pixabay
Insinyur Geoteknik Pemerintah Dubai Marwan Alzaylaie serta Manajer Teknis Aly Abdelaziz memilih menggunakan istilah lain. Yakni artifficial offshore land formation (pembentukan tanah lepas pantai buatan), ketimbang istilah pulau untuk mendefinisikan daratan baru itu. Istilah tersebut mereka ungkapkan dalam jurnal berjudul Pearl Jumeira project: a case study of land reclamation in Dubai, UAE.
Meski demikian, pemerintah Dubai menggunakan istilah pulau sebagai promosi wisata. Sehingga, secara teknis itu memang pulau. Namun secara hukum internasional tidak diakui sebagai pulau.
ADVERTISEMENT