Kasus Ibu 15 Tahun Bunuh Bayi Ungkap Kesenjangan Perlakuan Perempuan di Malaysia

11 Mei 2022 17:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang wanita mengenakan masker dan sarung tangan di dalam kereta Mass Rapid Transit, Kuala Lumpur, Malaysia. Foto: REUTERS / Lim Huey
zoom-in-whitePerbesar
Seorang wanita mengenakan masker dan sarung tangan di dalam kereta Mass Rapid Transit, Kuala Lumpur, Malaysia. Foto: REUTERS / Lim Huey
ADVERTISEMENT
Februari lalu, seorang gadis berusia 15 tahun di Terengganu, Malaysia ditangkap polisi akibat membunuh bayi yang baru saja ia lahirkan di rumah.
ADVERTISEMENT
Polisi menemukan bukti beberapa bekas luka, termasuk luka tusukan, di tubuh bayi tersebut. Ketika gadis itu ditangkap, ia mengaku telah diperkosa oleh seorang pria berusia dua puluh tahunan hingga hamil.
Gadis itu tetap ditahan. Ia dipindahkan ke kantor polisi setelah menerima perawatan singkat pasca-melahirkan di rumah sakit. Seminggu kemudian, ia didakwa dengan kasus pembunuhan.
Ilustrasi peradilan terhadap perempuan di Malaysia. Foto: AP
Komisioner Anak Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia (SUHAKAM), Noor Aziah Mohd Awal, mengecam penanganan kasus ini.
Noor menilai gadis itu seharusnya diberikan perawatan pasca-persalinan yang tepat termasuk perawatan psikologis sebelum diadili. Pengadilan pun perlu menugaskan petugas kesejahteraan sosial untuk melindunginya sepanjang proses hukum.
“Ketika seorang anak ditangkap, ini sering terjadi: anak itu ditahan di kantor polisi dan menghabiskan malam di penjara polisi. Polisi akan menanyai mereka tanpa memberi tahu orang tua mereka atau petugas kesejahteraan sosial, dan tidak ada perwakilan hukum, ” jelasnya, dikutip dari Al Jazeera.
ADVERTISEMENT
Gadis itu baru memperoleh perwakilan hukum ketika sejumlah pengacara turun tangan untuk mewakilinya setelah membaca laporan media tentang kasus tersebut.
Seorang wanita yang mengenakan masker berjalan melewati rak-rak kosong di sebuah supermarket, di Kuala Lumpur, Malaysia, Senin (16/3). Foto: REUTERS/Lim Huey Teng
Pengacara yang mewakilinya telah berusaha untuk mengajukan jaminan penangguhan penahanan atas dasar usia terdakwa yang masih muda dan kondisinya yang tidak sehat. Namun, permohonan tersebut ditolak tanpa alasan pada 15 Februari lalu.
Gadis itu justru diharuskan untuk mengikuti evaluasi kejiwaan di rumah sakit pemerintah oleh Pengadilan Tinggi Kuala Terengganu. Di bawah hukum Malaysia, pengadilan harus merujuk seorang terdakwa untuk evaluasi kejiwaan jika mencurigai mereka mungkin tidak waras.
Jaksa Agung telah menerbitkan sebuah pernyataan yang mengatakan tuduhan itu dapat ditinjau sambil menunggu perkembangan kasus, termasuk hasil penyelidikan atas tuduhan pemerkosaan gadis itu.
ADVERTISEMENT
Namun pelaku, yang telah diidentifikasi oleh polisi dan diminta untuk menyerahkan diri untuk membantu penyelidikan, masih belum ditangkap.
Banyak pakar yang prihatin dengan penanganan kasus gadis ini.
“Saya melihat kesenjangan dalam sistem, adanya pendekatan hukum yang tidak memperhatikan kepentingan terbaik anak,” ungkap aktivis hak anak, Hartini Zainudin.
“Ada banyak kegagalan dalam sistem dalam mendukung kesejahteraannya selama ini, termasuk selama kehamilannya,” tutur seorang pekerja sosial di Women’s Aid Organization, Alyssa Wan Azhar.
SUHAKAM mengungkap, orang tua dari gadis itu ternyata tidak mengetahui ia dalam kondisi hamil selama sembilan bulan penuh. Saat itu sang gadis sedang tidak berada di rumah dan putus sekolah akibat tidak dapat mengikuti pembelajaran daring di tengah pandemi.
ADVERTISEMENT

Mengungkap kesenjangan perlakuan terhadap perempuan di Malaysia

Sifat mengerikan dari kasus ini mengejutkan banyak orang di Malaysia dan sekali lagi membawa perhatian publik terhadap kesenjangan perlakukan terhadap perempuan di sana.
Masalah kehamilan remaja dan isu-isu terkait—undang-undang reproduksi, pemerkosaan, pernikahan anak, pembunuhan dan penelantaran bayi—merupakan PR besar bagi pemerintah Malaysia.
Dalam lima tahun terakhir, Kementerian Kesehatan mencatat 41.083 kehamilan di kalangan remaja.
Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Keluarga, dan Masyarakat melaporkan, sekitar 830 remaja hamil mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan pemerintah setiap bulannya.
Keadaan ini menimbulkan maraknya kasus penelantaran dan pembunuhan bayi di Malaysia.
Selain itu, perempuan muda di Malaysia sering menghadapi tekanan untuk mengikuti budaya konservatif dan patriarki. Kebanyakan dari mereka menerima pendidikan seks yang sangat minim.
ADVERTISEMENT
Aborsi atas dasar pemerkosaan, atau bahkan inses, juga dilarang di Malaysia. Aborsi hanya akan diizinkan jika dokter menganggap kehamilan membahayakan kesehatan fisik atau mental ibu.
Jika anak perempuan mereka hamil, beberapa orang tua memandang pernikahan sebagai cara terbaik untuk menghindari rasa malu keluarga. Akibatnya, angka kasus pernikahan anak di Malaysia tak kunjung membaik.
Menurut UNICEF, ada 14.999 kasus pernikahan anak di Malaysia antara 2007 dan 2017, 10.000 di antaranya melibatkan keluarga Muslim.
“Sayangnya, di Malaysia, pernikahan anak telah dimanfaatkan sebagai jalan keluar bagi pelaku pemerkosaan yang berharap untuk menghindari penuntutan dengan menikahi korbannya,” menurut laporan UNICEF tahun 2020 tentang pernikahan anak di negara tersebut.
Meskipun ada seruan untuk melarang pernikahan anak, pemerintah Malaysia baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka tidak akan melakukannya. Pemerintah mengatakan mereka justru akan mengatasi masalah ini dengan menerapkan pendidikan publik dan program sosial ekonomi.
ADVERTISEMENT
Malaysia memiliki sistem hukum ganda, dengan hukum sipil dan hukum Islam yang digunakan berdampingan. Kasus-kasus yang melibatkan isu pernikahan dan keluarga Muslim berada di bawah naungan hukum Islam, yang merupakan tanggung jawab masing-masing negara bagian.
Hal ini berarti, walaupun usia minimum untuk menikah adalah 18, pernikahan di bawah umur tersebut dapat dilakukan apabila disetujui pengadilan agama.
Penulis: Airin Sukono.