Kasus UNJ Disetop, ICW Nilai Publik Harus Turunkan Ekspektasi pada KPK

10 Juli 2020 13:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Pada akhir Mei 2020, KPK menangkap seorang pejabat Universitas Negeri Jakarta (UNJ). OTT dilakukan karena diduga ada tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Namun, kasus itu kemudian dilimpahkan ke Polda Metro Jaya dengan dalih KPK tak menemukan bukti keterlibatan penyelenggara negara. Belakangan, kasus itu dihentikan polisi karena dinilai tidak menemukan unsur tindak pidana.
ICW menilai hal ini menunjukkan bahwa KPK terlihat tak profesional saat pertama menangani kasus ini.
"Sejak awal ICW sudah menduga bahwa kasus suap dengan dalih THR yang diduga melibatkan Rektor UNJ ini akan menguap begitu saja. Sebab, sedari awal KPK sudah terlihat tidak profesional dan terkesan takut untuk menindak Rektor UNJ," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, kepada wartawan, Jumat (10/7).
Kurnia Ramadhan, peneliti ICW. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ICW menilai sedari awal KPK seharusnya bisa menangani sendiri perkara tersebut. Kurnia pun merujuk pernyataan KPK melalui Deputi Penindakan Karyoto saat menerangkan perihal OTT ini.
ADVERTISEMENT
"Berdasarkan rilis yang disampaikan oleh Deputi Penindakan KPK, Karyoto, sebenarnya sudah terang benderang menyebutkan bahwa Rektor UNJ mempunyai inisiatif melalui Kepala Bagian Kepegawaian UNJ untuk mengumpulkan uang Tunjangan Hari Raya (THR) kepada Dekan Fakultas dan lembaga di UNJ agar nantinya bisa diserahkan ke pegawai Kemendikbud. Pada bagian ini saja setidaknya sudah ada dua dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi, yakni praktik pemerasan dan suap," papar Kurnia.
Merujuk keterangan itu, ICW menilai bahwa KPK bisa menangani perkara itu karena ada dugaan keterlibatan Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri. Kurnia menyebut Pasal 2 angka 7 UU Nomor 28 Tahun 1999 menyatakan bahwa Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Ilustrasi kasus KPK Foto: Basith Subastian/kumparan
ICW berpandangan, alasan polisi menghentikan penyelidikan kasus ini justru berbanding terbalik dengan argumen KPK sebelumnya. Polisi menilai kasus ini tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Sementara KPK beralasan tidak ada keterlibatan penyelenggara negara.
ADVERTISEMENT
"Padahal, ICW sedari awal meyakini kasus ini telah memenuhi seluruh unsur dalam ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni perbuatan berupa pemerasan dan suap yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Bahkan, tidak menutup kemungkinan pemberian uang kepada pegawai Kemendikbud tersebut memiliki motif tertentu, bukan sebatas pemberian THR semata sebagaimana disampaikan oleh KPK," kata Kurnia.
Pimpinan KPK saat acara serah terima jabatan dan pisah sambut Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Namun kini, kasus yang berasal dari OTT KPK itu sudah dihentikan. ICW pun menilai publik harus mulai menurunkan ekspektasi terhadap KPK
"Memang harus dikatakan bahwa semenjak KPK dipimpin oleh Komjen Firli Bahuri lembaga anti rasuah ini telah mengalami banyak perubahan yang berorientasi pada penurunan kinerja dalam pemberantasan korupsi. Untuk itu, publik rasanya memang harus menurunkan ekspektasi pada KPK. Sebab, jika untuk menindak pejabat universitas saja takut, bagaimana mungkin masyarakat berharap KPK akan berani memproses elite kekuasaan yang terlibat praktik korupsi? Tentu mustahil," papar Kurnia.
ADVERTISEMENT
Polda Metro Jaya menghentikan penyelidikan kasus ini karena dinilai tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Menurut polisi, hal itu diputuskan berdasarkan keterangan ahli dan dibahas dalam gelar perkara yang turut dihadiri KPK. Namun, KPK menyebut kasus ini bisa dibuka kembali bila ditemukan bukti baru.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)