news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kata Busyro Muqoddas dan Feri Amsari soal Pelemahan KPK

20 Juni 2021 8:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Pelemahan KPK terus berlangsung. Setidaknya hal itu dibuktikan dengan tidak lulusnya 75 pegawai KPK dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Bahkan 51 pegawai di antaranya dicap 'merah' dan tidak bisa dibina.
ADVERTISEMENT
TWK yang diduga merupakan alat menyingkirkan pegawai berintegritas merupakan dampak revisi UU KPK. Setelah amandemen UU, pegawai KPK wajib alih status menjadi ASN.
Eks pimpinan KPK, Busyro Muqoddas, menilai kondisi KPK saat ini bukan hanya dilemahkan, tapi dilumpuhkan.

4 Sumber Pelemahan KPK

Busyro mengungkap 4 poin yang menjadi sumber petaka dari permasalahan yang dihadapi KPK. Mulai dari revisi UU KPK hingga hal terkait penyelenggaraan Pemilu 2024.
"Sumber petaka pelumpuhan KPK? Satu, konsensus DPR bersama Presiden Jokowi melalui revisi Undang-undang KPK. Itu pelumpuhan KPK yang sempurna, inilah success story yang real dari Presiden Jokowi bersama Ketua Umum Parpol-parpol dan pimpinan DPR,” jelas Busyro dalam seminar virtual yang digelar Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY pada Sabtu (19/6).
ADVERTISEMENT
Poin kedua, kata Busyro, adalah dominasi kuasa oligarki bisnis. Kemudian sumber pelemahan ketiga adalah Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK, yang ia sebut “akrobat politik kumuh.”
Eks Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas. Foto: Fanny Octavianus/ANTARA
Terakhir yakni kuatnya elite politik dan bisnis di Indonesia dalam kepentingan pemenangan di Pemilu 2024.
Menurut Busyro, jika KPK tetap menjadi lembaga independen, posisi orang-orang yang memiliki kepentingan tersebut menjadi terancam. Sehingga banyak pihak yang mencoba “menundukkan” KPK.
“Sesungguhnya yang paling ditakuti dengan adanya KPK yang independen itu adalah apabila mengganggu proses-proses mengeksploitasi kekayaan perekonomian dalam rangka pemilu-pemilu, sejak Pemilu 2014, 2019, dan nanti 2024. Maka dalam rangka poin 4 ini, KPK harus dilumpuhkan,” ucapnya.
Presiden Joko Widodo. Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden

Jokowi Tak Bisa Diharapkan Jika Tidak Batalkan TWK

Dalam kesempatan itu, Busyro menilai di tengah pelumpuhan KPK, penguatan harus terus diusahakan. Tetapi, ia meminta masyarakat tidak sepenuhnya berharap pada birokrasi negara. Hal ini disebabkan oleh komisioner KPK yang jelas-jelas membangkang amanat Jokowi mengenai TWK.
ADVERTISEMENT
Pembiaran itu membuat Busyro hampir kehilangan kepercayaan pada Jokowi, baik dalam hal penanganan polemik KPK ini maupun harapan secara umum. Sehingga ia berharap Jokowi segera membatalkan TWK sebelum 51 pegawai didepak pada November 2021.
“Kita berharap sampai pada akhir bulan November atau September ini, jika Presiden membatalkan hasil TWK itu, maka kita punya harapan pada negara ini,” ujar Busyro.
“Jika Presiden sampai saat itu tidak segera membatalkan TWK dan memulihkan 75 pegawai itu sebagaimana status awalnya, maka itulah saat yang terang benderang, kita tak bisa berharap lagi pada Presiden Ir Joko Widodo,” tegasnya.
Pengamat Feri Amsari. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan

Jokowi Tak Mau Dianggap Terlibat Pelemahan KPK via Revisi UU

Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menyatakan sosok krusial dalam episode pelemahan KPK adalah Presiden Jokowi. Tetapi Jokowi, kata Feri, seakan tidak mau dianggap publik sebagai pihak yang menggagas revisi UU KPK.
ADVERTISEMENT
“Saya mau garis bawahi, Presiden terlibat, kok, dalam 5 prosedur pembentukan UU KPK. Presiden itu paling bertanggung jawab. Jadi Presiden sudah merancang bahwa ia terlibat dalam pembahasan, tapi tak mau dinyatakan publik adalah orang yang menggagas perubahan UU KPK yang berisi pelemahan KPK,” jelas Feri.
Feri menilai, peran Jokowi dalam revisi UU KPK bahkan lebih besar dibandingkan DPR.
“Kalau DPR itu sampai 4 tahapan: usul, merancang, membahas, mengesahkan. Sampai di sana. DPR tidak berwenang mengundangkan. Saking hebatnya Presiden sampai lima-limanya, padahal legislasi itu kewenangan DPR,” jelasnya.
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Personel TNI-Polri Tak Perlu TWK Jika Duduk di Jabatan ASN

Ia pun mempertanyakan syarat TWK bagi pegawai KPK untuk menjadi ASN. Ia membandingkan dengan personel TNI-Polri yang bisa menduduki jabatan ASN tapi tak mensyaratkan TWK.
ADVERTISEMENT
“Kenapa TNI dan Kepolisian sebelum era Pak Presiden tidak ada TWK, dan setelah Jokowi melalui PP Nomor 17 tidak ada TWK, dan bahkan didwifungsikan? Tetapi kenapa kemudian, khusus untuk pegawai KPK, harus ada TWK?” ujar Feri.
Feri menyatakan ketentuan TNI-Polri bisa menduduki jabatan ASN tertentu termaktub di PP 11 Nomor 2017 tentang Manajemen PNS.
Dalam PP itu, personel TNI-Polri yang menduduki jabatan ASN tak perlu mundur. Sehingga bisa kembali lagi sebagai personel TNI-Polri apabila masa jabatan usai. Sedangkan bagi pegawai KPK, diwajibkan alih status sebagai ASN.
“Jadi TNI dan Kepolisian aktif bisa mengisi jabatan PNS. Maka kita bisa lihat ada Dirjen ini itu, dia TNI aktif, polisi aktif, termasuk jadi Ketua KPK aktif (Komjen Pol Firli Bahuri). Nah, jadi ada dwifungsi, dahsyatnya rezim ini,” paparnya.
Ketua KPK, Firli Bahuri. Foto: Humas KPK

KPK Berisi Orang-orang Baik Sampai Firli Bahuri Masuk

Feri menilai upaya pelemahan yang menerpa KPK mulai dari peristiwa cicak vs buaya, kriminalisasi pimpinan, penyiraman air keras kepada penyidik, hingga TWK sebagai cerminan bahwa KPK bekerja dengan baik.
ADVERTISEMENT
Namun semua pudar saat Firli Bahuri menjadi Ketua KPK sejak Desember 2019.
Ada suatu sinyal yang menarik bagi saya, ya, sampai hari ini. Lembaga KPK itu menurut saya bisa dipastikan berisi orang-orang baik sampai Pak Firli masuk ya," kata Feri.
Feri mengatakan serangan-serangan yang diterima KPK itu menandakan bahwa lembaga itu berisi orang-orang baik.
Namun kini KPK terlihat mesra dengan lembaga negara yang selama ini kerap bersitegang, seperti DPR. Ia melihat akrabnya KPK dengan DPR baru terjadi di era Firli Bahuri.
"Yang aneh itu adalah kalau KPK dan orang-orangnya kemudian akur dengan lembaga-lembaga koruptif, orang bermasalah, ini jadi aneh," kata dia.