Kecewa dengan Vonis, Apakah Novel Baswedan Bisa Banding?

20 Juli 2020 10:50 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cover Story Novel Baswedan.  Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Cover Story Novel Baswedan. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Vonis terhadap dua polisi penyerang Novel Baswedan sudah dijatuhkan. Rahmat Kadir dihukum 2 tahun penjara. Sementara Ronny Bugis dihukum 1,5 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Meski vonis lebih berat dari tuntutan jaksa yakni 1 tahun penjara, kedua terdakwa langsung menerimanya. Sedangkan jaksa masih menyatakan pikir-pikir.
Sementara, Novel Baswedan selaku korban mengaku masih kecewa dengan putusan itu. Vonis jauh dari harapannya.
Lalu apakah Novel Baswedan bisa banding atas putusan itu?
Pakar Hukum Pidana sekaligus Dosen Fakultas Hukum dari Universitas Indonesia (UI), Gandjar Laksmana Bonaprapta, menyatakan hal itu tak bisa dilakukan.
Menurut Gandjar, dalam proses persidangan, jaksa merupakan perwakilan dari korban. Namun, tidak ada kewajiban pula dari jaksa untuk berkoordinasi dengan korban, termasuk soal banding.
"Enggak bisa dan enggak ada ketentuan kayak begitu. Itulah kelemahan sistem peradilan pidana kita. Padahal hukum pidana modern udah berubah dari retributive justice ke restorative justice, di mana keadilan bagi korban jadi salah satu ukuran," kata Pakar Hukum Pidana sekaligus Dosen Fakultas Hukum dari Universitas Indonesia (UI), Gandjar Laksmana Bonaprapta, kepada wartawan, Senin (20/7).
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksamana Bonaprapta mengikuti Focus Group Discussion membahas masa depan KPK dan Revisi UU KPK di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Selasa (17/9). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Perihal perkara air keras Novel, Gandjar mengaku paham bila kemudian ada yang merasa kecewa. Baik saat tuntutan 1 tahun penjara, maupun ketika vonis dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
ADVERTISEMENT
"Dalam kasus Novel, ukuran adil atau tidak bukan sekadar kurang atau lebih dari tuntutan JPU, tapi dibandingkan dengan kasus sejenis lainnya. Itu sebabnya masyarakat bereaksi ketika tuntutan JPU hanya 1 tahun. Bahkan masyarakat juga bereaksi meski putusan hakim melampaui tuntutan JPU. Kenapa? Karena masyarakat membandingkan dengan kasus siram air keras lain. Begitulah cara kerja hukum pidana. Setiap kasus punya karakter tersendiri, tapi ketentuan pidana punya alat ukur keadilan," papar dia.
Ia tidak sependapat bahwa vonis hakim disebut ultra petita lantaran lebih berat dari tuntutan. Menurut dia, istilah ultra petita merupakan istilah dalam perkara perdata, bukan pidana.
"Dalam gugatan perdata ada yang namanya posita yaitu duduk perkara atau kronologis, dan ada petitum yaitu hal-hal yang menjadi gugatan/permintaan penggugat. Nah, hakim tidak boleh memutus melampaui apa yang diminta penggugat. Makanya dilarang ultra petita," ungkap Gandjar.
Suasana sidang vonis kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan di Pengadilan Jakarta Utara, Kamis (16/7). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Menurut dia, hakim boleh memutus melebihi tuntutan jaksa. Lantaran, hakim bersikap independen dalam mengukur rasa keadilan masyarakat dan bukan cuma korban. Sebab, kalau masyarakat merasa terlindungi/adil, maka korban juga.
ADVERTISEMENT
"Permasalahan mendasar kenapa pidana tidak kenal ultra petita adalah karena dalam proses hukum pidana tidak ada permintaan tertentu dari korban mengingat proses hukum pidana diambil alih oleh negara demi melindungi kepentingan masyarakat termasuk korban," imbuh dia.
Novel Baswedan, penyidik KPK disiram air keras. Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Gandjar menambahkan, terdapat alasan kenapa jaksa selaku representasi negara mewakili korban. Ia menyebut yang menjadi titik pentingnya ialah keseimbangan di masyarakat.
"Yang tampak jadi korban memang 1 orang, tapi korban sesungguhnya adalah keseimbangan/ketenangan masyarakat yang terusil oleh perilaku tercela. Makanya negara mengambil alih, karena tugas negara adalah memelihara ketertiban. Lucu kan, alat negara yang harusnya menjaga ketertiban malah membuat ketidaktertiban," kata dia.
Ia kembali menekankan bahwa ukuran keadilan dalam proses hukum pidana tidak mengacu ke kepentingan korban semata, tapi juga mengacu ke masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Kalau hakim tidak mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, minimal harus bisa penuhi rasa keadilan bagi korban. Atau sebaliknya. Yang terjadi: masyarakat dan korban merasa tidak adil. Lalu untuk apa proses hukum bila hasilnya begitu?" pungkas dia.

Akhir Kasus Air Keras Novel?

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara sudah menyatakan dua polisi penyerang Novel Baswedan bersalah. Keduanya dinilai terbukti melakukan penyerangan dengan menyiramkan air keras.
Meski demikian, sejumlah pihak masih merasa kecewa dengan vonis, termasuk Novel Baswedan. Tim Advokasi Novel Baswedan bahkan mendesak penyelidikan kasus ini untuk diulang.
Rahmat Kadir, pelaku penyiraman air keras terhadap Penyidik KPK Novel Baswedan dibawa petugas saat tiba di Bareskrim Mabes Polri di Jakarta, Sabtu (28/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Perkara ini memang menjadi sorotan publik. Sorotan tajam terjadi saat jaksa membacakan tuntutan 1 tahun penjara terhadap kedua terdakwa. Padahal, jaksa menggunakan Pasal 353 ayat 2 KUHP dengan ancaman maksimal 7 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Sorotan lain ialah alasan jaksa tidak menerapkan Pasal 355 ayat 1 KUHP yang ancaman maksimalnya 12 tahun penjara. Jaksa menilai kedua terdakwa tak bermaksud menyiram air keras ke mata Novel Baswedan. Jaksa meyakini penyiraman dimaksudkan ke badan, tapi cipratannya turut mengenai mata.
Ronny Bugis, pelaku penyiraman air keras terhadap Penyidik KPK Novel Baswedan dibawa petugas saat tiba di Bareskrim Mabes Polri di Jakarta, Sabtu (28/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Vonis hakim pun tak berbeda jauh dari tuntutan jaksa. Hakim sepakat dengan jaksa soal pasal yang dijerat untuk kedua terdakwa. Perihal maksud penyiraman ke badan, bukan ke mata, pun diamini hakim.
Kini, vonis sudah dijatuhkan. Memang masih ada upaya hukum lanjutan, yakni banding.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Gandjar sempat memprediksi bagaimana vonis hakim dan sikap yang akan diambil jaksa. Ia menduga bila vonis tidak jauh dari tuntutan, baik lebih berat atau lebih ringan, maka tidak akan ada yang banding.
ADVERTISEMENT
Kini, usai vonis, pihak terdakwa sudah menyatakan menerima. Sementara jaksa masih pikir-pikir. Bila dalam waktu 7 hari setelah putusan, jaksa tidak bersikap atau tidak banding, maka vonis ini akan berkekuatan hukum tetap alias inkrah.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)