Kedokteran, Jurusan Magnet di Pusaran Bimbel Berbiaya Tinggi

21 Februari 2019 10:50 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rania, Alumni Bimbel Lavender Depok. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rania, Alumni Bimbel Lavender Depok. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang dokter menyembuhkan, dan alamlah yang menciptakan kesehatan. Begitu, kata filsuf Yunani Aristoteles.
ADVERTISEMENT
Tindakan mulia ‘menyelamatkan nyawa’ adalah magi yang membuat banyak orang berlomba menjadi dokter. Di Indonesia, bila berhasil diterima di jurusan kedokteran, apalagi di kampus ternama, maka kebanggaan tak terhingga akan menyelimuti si mahasiswa dan keluarganya.
Seperti yang dirasakan oleh Raania Amaani (22). Calon dokter asal Lombok Timur itu masih ingat betul wasiat neneknya, agar dia menjadi dokter pertama di garis keturunan keluarganya.
“Nenek itu sangat berharap sebelum beliau meninggal harus ada dulu keluarga yang jadi dokter gitu kan penginnya. Dan sebelumnya harapannya itu ke tante tapi enggak tercapai. Akhirnya sangat berharap di aku,” cerita Raania saat berbincang dengan kumparan, Minggu (17/2).
Rania, Alumni Bimbel Lavender Depok. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
Raania sebetulnya kurang tertarik dengan pelajaran biologi. Dia lebih berminat pelajaran eksak lain seperti matematika, fisika, dan kimia. Tetapi, momen saat dia bergabung dengan Palang Merah Remaja (PMR) di SMP membuat dirinya terpanggil untuk menjadi dokter. Tersimpan sebuah kepuasan ketika tangan-tangan dan tenaga yang dimiliki bisa digunakan untuk menolong orang lain.
ADVERTISEMENT
Bertolak pada pengalaman tersebut, Raania akhirnya mantap ingin menjadi dokter. Dia pun mulai mencari fakultas kedokteran terbaik di negeri ini. Metodenya sederhana. Ditiklah frasa “fakultas kedokteran terbaik di Indonesia” lalu dihitunglah kampus mana yang menduduki puncak peringkat di segala macam situs web. Dan, hasil yang didapat Raania, UI memperoleh suara terbanyak.
Universitas Indonesia. Foto: Wikimedia Commons
Raania mulanya sangsi bisa tembus ke Fakultas Kedokteran UI. Pasalnya, FKUI punya passing grade paling tinggi dibanding jurusan yang sama di perguruan tinggi lain.
“Nah aku kan agak ketar ketir sendiri kan. Kayak waduh gimana ya. Aku yakin enggak mungkin masuk lewat undangan. Karena sekolahnya (pesantren di Banten) baru berdiri aku angkatan ke-10,” Raania mengungkapkan.
Dari situ, sedari SMA Raania selalu membuat mading dan menuliskan cara-cara yang harus dia tempuh supaya berhasil masuk UI. Perempuan berkerudung itu juga membuat daftar materi yang harus dikuasai tiap pekan.
ADVERTISEMENT
Raania mengaku lebih menekankan belajar tentang teori dasar daripada latihan soal. Menurutnya, soal akan terus berubah dan berkembang. Bisa jadi soal yang keluar saat tes akan berbeda.
“Jadi kita harus kuat di teori dasarnya dulu baru kita putar putarlah istilahnya angkanya buat dapat berapa hasilnya jawabannya,” Raania menjelaskan.
Bimbel puluhan juta di seberang UI
Untuk memuluskan langkahnya masuk FK UI, Raania mendaftar di bimbel karantina, Lavender, di Depok.
Lokasi bimbel yang terletak di seberang Kampus UI membuat Raania termotivasi. Terlebih, ia tak punya tempat tinggal di sekitar Jabodetabek. Bimbel pilihannya itu dibanderol cukup mahal, yakni sekitar Rp 40 juta.
Suasana di Bimbel Lavender. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
“Emang fasilitasnya itu bagus. Jadi maksudnya kan kamarnya, kamar hotel, makanannya emang makanan hotel. Terus ada snack pagi, snack malam terus tutornya itu benar-benar yang sampai malam banget. Maksudnya kita bisa nanya apapun sampai malam banget,” sebut Raania.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Bimbel Lavender juga menyediakan fasilitas asuransi kesehatan bagi peserta selama periode dua bulan belajar.
“Kebetulan saat itu aku sempat sakit deh terus ya sudahlah enak dibantuin sama kakak-kakaknya,” Raania mengingat.
Walaupun bimbel yang diikuti ditunjang dengan fasilitas yang wah nan megah, ada kalanya rasa bosan tiba. Raania mengaku sempat beberapa kali membolos kelas.
Di tengah periode itu, Raania memilih duduk menyendiri dan mendalami materi yang belum dikuasainya. Dia akan masuk kelas tiba-tiba dan bertanya kepada pengajar ketika ada materi yang tak dipahami.
Suasana belajar di Bimbel Lavender. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Ia berprinsip tidak terpaku dengan program bimbel dan fokus pada kebutuhan materinya sendiri.
“Karena kalau kita terlalu terpaku sama program bimbel kan waktu kita dikit. Terus ujung-ujungnya enggak efektif. Aku list dulu kebutuhan aku, aku bingungnya di mana, segala macem jadi aku lebih mantepin di sana,” papar Raania.
ADVERTISEMENT
Peliknya ujian SBMPTN
Dua bulan masa karantina berlalu. Raania menatap SBMPTN yang dilangsungkan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dia berangkat diantar oleh kakak pendamping di bimbel. Namun, dia sempat terlambat masuk ke ruang tes sekirar 15 menit karena ada miskomunikasi dengan panitia.
“Sehari sebelumnya kita sudah cek tempat di mana tempat untuk besok. Tapi pas besoknya pindah karena kelayakannya enggak baik jadi pindah. Sedangkan UNJ itu gede banget. Dan bingung di mana sebenarnya tempatnya,” kisah Raania.
Raania pun lari ke sana ke mari bersama kakak pendampingnya. Dari satu gedung di ujung ke gedung di ujung lainnya, dia tetap tak menemukan lokasi ujiannya. Raania bertanya ke panitia, tapi mereka pun tak tahu.
Suasana di Bimbel Lavender. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Ternyata, kelas yang menjadi lokasi ujiannya berada di lantai atas. Sesampainya di sana napas Raania terengah-engah dan sempat sesak napas.
ADVERTISEMENT
“Aku menenangkan dalam diri aku kalau misalnya kalau karena kecapean doang terus aku buyar masa depan aku gimana. Kalau karena kecapekan itu buyar, aku ngedown. Toh tesnya belum mulai jadi kenapa harus ngedown,” Raania mengenang.
Saat lembar soal dibagikan perasaan deg-degan sempat datang melanda. Tetapi, saat mulai mengerjakan Raania menikmati soal yang ada. Dia lebih dulu mengerjakan soal Bahasa Indonesia dan Inggris, yang menurutnya punya jawaban relatif. Raania menuntaskannya dengan cepat.
Bimbel karantina di Indonesia Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
Barulah setelah dua jenis soal itu selesai, perempuan kelahiran 1996 itu mengerjakan soal eksak. Setelah semua rampung dan waktu ujian masih tersisa, dia kemudian menghitung peluang nilainya nanti. Raania saat itu mengaku setengah puas.
“Setengah puas tapi enggak yang yakin banget. Karena aku berpikir yang bisa itu enggak cuma aku doang banyak banget orang yang bisa di seluruh Indonesia ini. Apalagi yang keterima yang reguler itu 100 kalau dari SBMPTN itu 75 atau 70 yang daftar itu 5.000 kalau enggak salah itu FK UI,” papar Raania.
ADVERTISEMENT
Selesai ujian SBMPTN Raania terbang ke kampung halamannya di Lombok. Beberapa hari berselang, pengumuman SBMPTN pun tiba. Di hari itu Raania sejak Subuh hingga Magrib sengaja berdiam diri di masjid untuk menenangkan diri.
“Pas aku salat Magrib ini ada yang teriak-teriak, ibu aku itu enggak aku kasih nomor peserta. Aku kaget. Ternyata kakak bimbelnya yang telepon orang tuaku. Ibu selamat Raania keterima. Sudah abis itu heboh setengah mati, sujud semua, nangis-nangis,” Raania mengenang.
Mahasiswi Fakultas Kedokteran UI, Raania Amaani Foto: Dok. Raania Amaani
Fokus pada kebutuhan dan impian diri sendiri adalah kunci keberhasilan Raania menembus FK UI. Baginya, menjadi dokter bukan lagi soal gengsi, sebagai mana yang dikisahkan dalam drama Korea populer, Sky Castle.
Drama yang berkisah tentang kompetisi sengit menempuh pendidikan menjadi dokter itu, terselip pesan bahwa mati-matian berkompetisi dengan menghalalkan berbagai cara justru akan mendatangkan sengsara.
ADVERTISEMENT
“Kamu hanya perlu berkompetisi dengan dirimu sendiri. Berkompetisi dengan orang lain hanya akan membuat dirimu kesepian. Aku percaya, kesuksesan yang sebenarnya dalam menjalani hidup adalah ketika kamu tidak kesepian,” kata seorang pemeran utama, No Seung Hye, dalam Sky Castle.
Simak ulasan lengkap 'Bimbel Mewah demi Kampus Ternama' di topik Konten Spesial kumparan.