Kejagung Nilai Banyak Kesalahan Hakim dalam Vonis PTUN soal Kasus Semanggi I-II

5 November 2020 19:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jaksa Agung ST Burhanuddin. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jaksa Agung ST Burhanuddin. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan akan menempuh banding terhadap putusan PTUN Jakarta yang menyatakan Jaksa Agung, ST Burhanuddin, melawan hukum terkait pernyataannya dalam rapat kerja Komisi III DPR RI. Saat itu, Burhanuddin menyatakan tragedi Semanggi I-II bukan merupakan pelanggaran HAM Berat.
ADVERTISEMENT
Berikut pernyataannya:
"... Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM".
Hakim dalam putusannya menilai Burhanuddin melawan hukum atas pernyataan itu. Hakim pun memerintahkan Burhanuddin untuk memaparkan perkembangan terkini terkait penyelidikan kasus Semanggi I-II di depan Komisi III DPR RI.
Menanggapi itu, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung (Kejagung), Ferry Wibisono, menilai putusan hakim PTUN Jakarta tak benar. Ia kemudian membeberkan alasannya.
ADVERTISEMENT
"Melihat banyaknya kesalahan dari PTUN Jakarta dalam memeriksa dan mengadili kasus tersebut. Dan banyaknya kesimpulan yang dibuat tak berdasarkan alat bukti yang ada maka kami mempersiapkan diri bawa putusan ini ke putusan tak benar dan kami harus lakukan banding," kata Ferry dalam konpers di Kejaksaan Agung, Kamis (5/11).
Pertama, putusan hakim dinilai tak sesuai fakta dan perundang-undangan. PTUN Jakarta dinilai keliru dalam memberikan pertimbangan hukum.
Ferry mengatakan, tindakan Burhanuddin dalam forum rapat kerja di Komisi III DPR sebagai bentuk menyampaikan informasi. Hal ini belum masuk dalam perbuatan konkret penyelenggaraan pemerintahan.
Sehingga, Ferry merujuk Perma 2/2019, yang menyatakan bahwa informasi yang diberikan Burhanuddin dalam rapat tersebut tidak dapat dikategorikan perbuatan konkret penyelenggaraan pemerintahan.
ADVERTISEMENT
"Pengertian spesifik yang menjadi kewajiban menentukan gugatan tersebut merupakan objek perbuatan TUN, adalah perbuatan dalam melakukan perbuatan konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan," kata Ferry.
"Sedangkan dalam pernyataan Jaksa Agung di rapat Komisi III tersebut adalah pemberian informasi, bukan tindakan penyelenggaraan pemerintahan," sambungnya.
Ferry menyatakan, jika pernyataan dan jawaban pada rapat kerja DPR dikategorikan sebagai penyelengaraan pemerintahan, akan banyak pernyataan atau jawaban yang merupakan objek sengketa di TUN.
Kedua, Ferry mempermasalahkan kepentingan penggugat dalam perkara ini. Sebab unsur ada atau tidaknya kepentingan menjadi hal krusial dalam hakim menentukan apakah perkara ini bisa ditindaklanjuti atau tidak.
Ferry mengatakan, penggugat dalam hal ini dua orang tua korban, tak memiliki kepentingan dalam gugatan tersebut. Ferry menjelaskan, kepentingan kedua orang tua korban adalah terkait memastikan kasus Semanggi I-II jalan atau tidak, bukan terkait dengan pernyataan Burhanuddin di DPR.
ADVERTISEMENT
"Kepentingan dari pada 2 penggugat, orang tua atas korban yang di nyatakan pelanggaran HAM itu berkaitan dengan penanganan perkaranya. Ditangani atau tidak, maka itu jadi kepentingan 2 orang tua korban ini. Sementara, yang jadi objek sengketa bukan penanganan perkara. Yang jadi objek sengketa adalah ucapan penjelasan Jaksa Agung di rapat kerja Komisi III DPR RI," ujarnya,
"Sehingga di sini, Hakim PTUN Jakarta mencampuradukan ini, padahal ini spesifik faktor kepentingan jadi sarat pemeriksaan suatu perkara. Jadi terkait jawaban di DPR ini yang bersangkutan tak memiliki kepentingan," sambungnya.
Ketiga, dalam pertimbangan hakim, kata Ferry, disebutkan pernyataan Burhanuddin mengandung kebohongan. Sebab hakim menilai apa yang disampaikan Burhanuddin tak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya dan tak menguraikan proses penyelidikan secara lengkap.
ADVERTISEMENT
Ferry membantah itu. Menurut dia, hakim mengabaikan sejumlah bukti di persidangan berupa video rekaman rapat kerja beserta keterangan-keterangan aksi yang diajukan tergugat.
Dalam video, kata Ferry, Burhanuddin telah menguraikan atau menjelaskan proses penyelidikan, kendala, dan penyebab bolak balik berkas perkara antara Komnas HAM dengan Kejaksaan RI.
Selain itu, Ferry juga menjelaskan, dalam video rekaman tidak ada penyampaian Jaksa Agung yang menyatakan sebagai berikut:
"Seharusnya KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc, berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM"
Hal ini kontras dengan pokok perkara yang digugat dalam pengadilan yang menyatakan bahwa kalimat tersebut ada dalam kejadian di rapat kerja Komisi III.
ADVERTISEMENT
"Hakim PTUN Jakarta telah mengabaikan alat bukti yang penting yaitu video rekaman rapat kerja. Dalam video rekaman rapat kerja, pak Jaksa Agung tidak pernah menyatakan kalimat 'Seharusnya komnas HAM tidak menindaklanjuti dst dst'," kata dia.
Keempat, Ferry menjelaskan bahwa untuk mengajukan gugatan ke PTUN harus melalui sejumlah tahapan. Ini yang dinilai oleh Kejaksaan Agung tak dilakukan oleh penggugat.
"Pertama adalah harus adanya keberatan lebih lanjut, kemudian harus melakukan banding administrasi. Jangka waktu lakukan gugatan ada batasnya ditentukan beberapa hari misalnya dari banding administrasi," kata dia.
"Penggugat mendalilkan bahwa penggugat dalam pernyataan Jaksa Agung, penggugat menyatakan keberatan ke Kejaksaan dan JAMPidsus, dan dijawab oleh JAMPidsus," sambungnya.
Setelah menyatakan keberatan, penggugat menyatakan surat terbuka ke Presiden Jokowi sebagai atasan Burhanuddin. Hal ini sebagai bentuk banding administratif yang diajukan usai keberatan ditolak Kejaksaan Agung.
Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta. Foto: Kejaksaan Agung RI
Substansi surat terbuka inilah yang menurut Ferry, bukan bentuk banding administratif yang seharusnya. Sebab isinya bukan terkait dengan ucapan Burhanuddin di rapat dengar pendapat DPR.
ADVERTISEMENT
"Atas keberatan tersebut penggugat membuat surat terbuka ke presiden yang intinya menyatakan bahwa meminta presiden menangani melanjutkan penanganan perkara HAM berat kasus ini," kata dia.
"Kemudian yang disampaikan adalah surat terbuka kepada presiden untuk menindaklanjuti penangan kasus HAM Berat, bukan berkaitan dengan ucapan Jaksa Agung pada saat di Rapat Komisi III DPR. sehingga kami melihat hakim sudah campur adukan dan langgar ketentuan," sambungnya.
Kelima, PTUN Jakarta memutuskan memberikan putusan Burhanuddin melanggar ketentuan hukum. Ferry juga menyoroti ini, dan mempertanyakan aturan mana yang dilanggar. Sebab, tak tertera dalam putusan.
Hal tersebut dijelaskan oleh Ferry ada di putusan halaman 115 yang pokoknya menyatakan sebagai berikut:
"Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, pengadilan berkesimpulan bahwa tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh Tergugat tersebut adalah cacat substansi karena pernyataan Tergugat tidak sesuai dengan fakta sebenarnya, sehingga perbuatan Tergugat tersebut haruslah dinyatakan perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan."
ADVERTISEMENT
"PTUN Jakarta lalai tidak dapat menjelaskan peraturan mana yang dilanggar sehingga mengkualifikasikan sebagai cacat substansi," pungkasnya.