Kemungkinan Darurat Sipil Dinilai Tak Relevan dengan Upaya Berantas Corona

30 Maret 2020 17:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo menyampaikan keterangan pers terkait penangangan COVID-19 di Istana Bogor, Jawa Barat. Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo menyampaikan keterangan pers terkait penangangan COVID-19 di Istana Bogor, Jawa Barat. Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi mengambil langkah Pembatasan Sosial Berskala Besar(PSBB) dalam menekan upaya penyebaran corona. Namun, Jokowi pun mempertimbangkan kebijakan Darurat Sipil untuk mendampingi upaya tersebut.
ADVERTISEMENT
Langkah Jokowi itu menuai kritik. Sebab, Darurat Sipil dinilai lebih mengedepankan pendekatan keamanan, dibanding pendekatan kesehatan.
"Iya tidak relevan karena seharusnya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kesehatan, bukan pendekatan keamanan," kata Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, kepada wartawan, Senin (30/3).
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, status darurat sipil termaktub dalam UU Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Dalam Keadaan Darurat, Presiden atau Panglima Tertinggi Angkatan Perang bisa menetapkan seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam beberapa tingkatan, yakni Darurat sipil, Darurat Militer, dan Keadaan Perang.
Fajri menilai aturan tersebut sudah tak relevan dengan keadaan kini. Sehingga dinilai tak tepat untuk diterapkan.
"Itu kesalahan besar menurut saya. UU Keadaan Bahaya yang dibentuk tahun 1959, yang mencantumkan keadaan darurat sipil itu, tidak disusun untuk kondisi saat ini. Tidak ada masalah di masyarakat sipil, minimal tidak ada situasi yang mendesak Presiden untuk menggunakan kondisi dalam keadaan bahaya untuk menggunakan UU itu," kata Fajri.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, tak ada alasan untuk pemerintah menerapkan Darurat Sipil. "Yang ada hari ini justru masyarakat sedang sama-sama punya semangat untuk melawan virus COVID 19, jangan sampai Pemerintah mengartikan itu sebagai keadaan bahaya," ujarnya.
Presiden Joko Widodo. Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Senada, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila Universitas Jember (Puskapsi), Bayu Dwi Anggono, juga mempertanyakan dasar hukum pemerintah terkait Darurat Sipil itu.
Menurut dia, seharusnya pemerintah mengoptimalkan ketentuan yang ada di UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
"Dua ketentuan UU tersebut sejatinya belum dilaksanakan optimal oleh pemerintah, bahkan PP-nya saja belum terbentuk," kata Bayu.
Menurut dia, seharusnya pemerintah fokus menyelesaikan PP sebagai aturan teknis dari UU Kekarantinaan Kesehatan. Dalam UU tersebut, termuat 4 upaya mitigasi risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Yakni Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, serta Pembatasan Sosial Berskala Besar.
ADVERTISEMENT